Tulung!

2 0 0
                                    

“Aku ingin begini, aku ingin begitu, ingin ini ingin itu banyak sekali ....”

Gak tahu dah kenapa gua malah nyanyiin Thema Song-nya Doraemon. Mungkin karena gua lagi panik paska kejadian beberapa saat lalu, dan kalo gak nyanyi lagu yang agak ceria, kayanya gua bisa ngompol di celana.

Gua lirik kanan, kiri, ke kanan lagi, abis itu nyari jalan lain gara-gara perboden, akhirnya gua sadar kalau hutan ini serem banget. Mana gelap, terus lampion gua kelap-kelip gara-gara sumber cahayanya mau abis.

Di saat seperti ini, biasanya genre cerita bakal jadi horor. Entah ada pocong push up, atau kuntil anak warna-warni yang bisa aja menyerang gua yang muda belia dan berhati lembut ini.

Srak ....

Baru aja gua mikirin hal gak jelas, tiba-tiba gua ngedenger suara bergemeresak di belakang gua. Suara yang seperti langkah kaki yang cukup banyak, hingga membuat gua merinding.

Dan gua merasakan sebuah karung nutupin muka gua dan membuat gua panik.

“Apaan, nih? Gak bisa nih gua diginiin. Tulung! Siapa aja, tulung!”

Gua mencoba melepaskan diri, tapi sulit banget. Kayanya yang bawa badan gua ini sejenis Hulk versi bar-bar yang bau sangitnya nembus ke dalem karung.

“Ya Allah! Cobain apa lagi, sih ini? Masa iya gua mau diculik?”

Gua gak denger sekata pun dari para penculik gua. Mungkin mereka gak mau banyak bicara dan mulai mikirin gua ini enaknya dimasak rica apa opor?

Sampai gua didudukkan di sebelah pohon dan dibuka karungnya.

Mereka semua natap gua. Membuat gua merasa jengah sendiri.

“Jangan macam-macam!” jerit gua saat salah satu dari penculik mulai mengangkat tangan. “Gua calonnya Pangeran, loh. Kalau sampai lecet, make kartu garansi pun udah gak guna.”

Bug!

“Ufh!”

Baru aja selesai ngomong, salah satu dari penculik memukul gua. Niat banget mukulnya, sampe ujung bibir gua robek.

“Apa yang kalian ....”

Bug!

Satu lagi pukulan dan bikin kepala gua berasa berat banget.

Kayanya pandangan gua juga mulai buram. Curiganya sih, karena mata gua yang ketutupan ama darah.

“Kita harus habisi dia.” Salah satu dari mereka berkata pada temannya.

“Jangan! Kita hanya diamanatkan untuk menyiksanya.”

“Apa kau yakin?”

“Seratus persen.”

Setelah itu, tendang dan tinju jadi satu. Seumur hidup, baru kali ini gua ngerasain bogem yang lebih pedih dari bogem emak gua. Rasanya gua gak lagi bisa bergerak karena bogem itu mengenai gua tanpa henti.

Tiba-tiba, dari kejauhan, suara derap langkah kuda terdengar. Dari mata gua yang mulai buram, gua melihat banyak cahaya obor yang mendekat. Herannya, para penculik seperti tak peduli. Mereka justru pasrah saja saat banyak pasukan kerajaan mengepung dan mulai menggiring mereka.

Di kereta kuda, sosok Selir muncul dengan anggun. Dia mendekati gua dan memaksa gua mendongak.

“Cukup parah. Bawa dia masuk ke kereta. Kita butuh tabib istana untuk menyembuhkan semua luka ini.”

Pasukan kerajaan dan kereta istana berjalan kembali ke istana. Hening terasa dan membuat gua bertanya, sebenarnya ada apa malam ini.

“Kau bingung?” Selir mengusap darah di bibir gua dengan jarinya yang dipenuhi permata. “Kau harus terbiasa seperti ini, jika berniat jadi keluarga istana.”

Gua menatap Selir dan melihat seringai di sana. Jelas ada hal yang coba dia tahan untuk tak diceritakan.

“Para penculik itu, apa mereka orang suruhanmu?”

Pertanyaan dari gua membuat Selir terdiam. Dia menatap gua tajam tanpa sedikit pun ekspresi.

“Mereka tidak melawan atau pun kabur. Jelas mereka sudah tahu kalau kalian akan datang.”

Selir mendesis dan menoyor kening gua dengan jarinya. “Cerdas,” ucapnya saat itu. “Bagus lah kamu paham semua ini. Aku tak harus kerepotan menjelaskannya padamu.”

Selir lalu membuka gorden kereta dan mendorong kepala gua ke sisi jendela. “Lihat pria berjanggut putih itu? Dia adalah salah satu dari penduduk kota. Tanpa pekerjaan dan hanya makan yang haram. Di belakangnya juga penduduk kota yang masih merupakan saudara si janggut putih. Semua bekerja untukku apa pun perintahnya.”

Selir menarik napas dan mengeluarkan pipa rokoknya. Mengisinya dengan lintingan tembakau dan membakarnya.

“Orang-orang yang kau kasihani itu tak mengenal kesetiaan. Mereka akan melakukan apa pun demi uang. Kau pikir, yang seperti itu harus diselamatkan? Aku justru lebih merasa mereka berguna jika menjual diri mereka sebagai budak.”

Entah latah atau emang kesel, gua jambak lagi tuh konde si Selir. Gua biarin dia jejeritan sambil mencoba melepaskan diri.

“Gua tanya ama elu, Sel. Mereka begini gara-gara sapa? Gara-gara orang kaya elu, lah. Bisanya ngatur sana sini tanpa belas kasih. Lu pikir, kalau mereka makmur, mereka bakal repot-repot jadi penjahat?”

“Sakit! Sakit!” Selir menangis dan gua yakin dia bakal makin kesel ama gua.

Sedang gua? Gua ketawa ngakak dong. “Lihat aja. Nanti, kalau gua udah ada di posisi tertinggi, gua bakal kasih tahu kalau yang gak guna di negeri ini hanya orang kaya elu!”

Si Selir tambah kejer. Kasihan sih, makanya gua lepas jambakan gua dan memilih mandangin muka kasihan dia yang belepotan air mata.

“Sel, di dunia ini, gak ada namanya hitam dan putih. Semua makhluk itu sifatnya abu-abu. Cuma abu-abunya terang, apa gelep. Dan warna itu selalu berubah, karena manusia itu bukan batu yang keras dan gak tersentuh.”

Selir mendesis. “Dulu, aku punya teman yang sepertimu.” Dia mengusap rambutnya dan mencoba menata kembali ke bentuk semula. “Temanku yang baik hati itu tak tahu kalau hidup harus kejam jika mau berada di atas. Dan teorimu itu sangat bodoh bagiku. Teori yang membuat semua penjahat ingin memanfaatkanmu.”

“Bodo amat, sih. Kalau gua jadi elu, gua gak bakal cuma mikirin diri gua sendiri. Mau dimanfaatkan atau mau dijatuhkan, gua tetep percaya kalau orang itu bisa berubah jadi lebih baik dengan perlakuan yang baik.”

Gua lalu tatap mata si Selir. Gua tersenyum menyeringai dan mengalungkan tangan gua ke lehernya. “Sel. Lu tuh juga abu-abu. Lu bakal berubah jadi abu-abu terang kalau saatnya datang.”

Gua lalu membuka pintu kereta. Gua lompat ke luar, lari-lari kaya orang gila dan nyeruduk penjaga gerbang buat bisa masuk lebih dulu.

Perbuatan gokil itu membuat semua orang melongo. Termasuk Selir yang mulai menggeleng bingung dengan tingkah gua.

Mungkin mereka menganggap gua terlalh ekstra ordinary. Entah lah.

Para penjahat sendiri di bawa ke tengah kota. Mereka menunduk karena membayangkan akan nasib kepala mereka yang bisa saja putus malam ini.

Sampai Selir memerintahkan semua prajurit yang bersamanya untuk melepaskan mereka.

“Tapi, Selir ... “

“Jangan bantah aku!” Selir membuka kipasnya dan memukul kepala sang prajurit. “Beri juga mereka emas yang sudah kita janjikan. Toh semua yang aku perintahkan sudah mereka kerjakan.”

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang