Pertemuan Dengan Oplah dan Omplah

6 1 0
                                    



Tampang pangeran memang seperti tanpa dosa. Senyumnya hangat dan bahkan dia berani membela orang lain dengan jadi tameng hidup.

Tapi tetep aja gua kesel.

Ya kali gua bisa ditipu. Gua udah berharap bisa pulang, loh. Gua udah berharap pangeran baik hati itu membantu gua buat keluar.

Tapi ... Ternyata dia sama aja Ama semua petinggi kerajaan. Tukang bo’ong!

Lagi pengen misuh, pangeran malah deketin gua dan raih wajah gua. Dia tatap lama-lama mata gua yang bikin gua bimbang, mau marah apa jatuh cinta?

"Kamu ingin menangis?" tanya tuh pangeran sambil meluk gua dan lagi-lagi ngeraih wajah gua buat dia pandangin. "Apa yang bisa membuat air matamu hilang, wanitaku? Apa harus kucium?"

Entah kenapa, ucapan Pangeran Cameleon gak lagi buat gua bergetar. Yang ada gua bete banget. Kok bisa dia pede banget ngomong gitu? Seakan semua masalah bisa dia selesaikan dengan segala peluk, cium dan pesonanya.

Bisa, sih. Tapi kan sekarang gak tepat waktunya.

Gua tepis tangan kokoh dan ramping itu. Melarikan diri adalah pilihan terbaik saat hati gua sedang kacau.

Entah ke mana kaki gua bergerak. Yang jelas, gua berhenti di sebuah tempat yang sepi dan hanya berisi beberapa peti dan juga bahan makanan.

Gua nangis, Mak. Nangis kejer sampe dada ini sakit rasanya.

Gua gak suka ada di tempat ini. Gua gak bisa asal nerima pinangan pangeran di negara gak jelas. Dan juga, gua kangen emak.

Lagi asik nangis, tiba-tiba gua denger suara obrolan di area gak jauh dari gua. Ganggu, tapi gua juga gak tahu kudu ngapain kalau diganggu gitu.

"Ambil yang banyak Oplah!" Gua menyipit seakan tak percaya. Seorang kerdil dengan telinga runcing muncul dan tampak kesusahan dengan satu peti roti. Dia mengoper roti itu pada sosok kerdil lain yang wajahnya tak jauh berbeda. Dari apa yang gua lihat, kayanya mereka bukan orang istana dan kayanya sih mereka lagi ngutil barang di istana ini.

Tadinya pengen gua labrak. Ya ngapain nyolong makanan? Nyolong permata dan emas kan gede labanya.

"Kita istirahat dulu, Omplah!" Manusia kerdil itu duduk di sudut pagar dan menyeka keringatnya. Saudarinya mengikuti hal yang sama setelah meletakkan beberapa peti di luar pagar.

"Oplah! Makanlah dulu rotinya. Ini bisa membuatmu berenergi!"

Tapi sosok yang dipanggil Oplah justru mendorong makanan itu. "Tidak. Aku hanya butuh istirahat."

"Tapi, Oplah ... "

"Omplah! Kalau kita makan dan minum pada saat bekerja, nanti kita akan mengantuk dan malas. Kita bisa minum dan makan nanti malam, sebelum tidur."

Wanita kerdil itu tampak kecewa. Dia mengantungkan lagi roti curiannya dan memutuskan menyeka wajahnya yang berkeringat dengan topi kerucutnya.

"Raja kita tak adil. Semenjak anaknya Pangeran Cameleon lahir, Raja tak pernah lagi memperhatikan rakyatnya."

"Jaga mulutmu, Omplah. Bagaimana kalau ada yang tahu kau berkata seperti itu?" Oplah tampaknya takut sekali dengan pihak kerajaan. Padahal pihak itu yang membuat mereka terpaksa mencuri.

"Oplah! Kita akan mati di tempat ini, dengan atau tanpa bicara. Mari pindah saja, Oplah. Mari pergi dari kerajaan yang kejam ini."

"Eh, monyet! MasyaAllah! Ini kenapa ada batu sih di mari! Untung gak keseleo, gua!"

"Siapa?"

Omplah dan Oplan melompat. Mereka hanya bersenjata pisau kecil, tapi begitu berani melawan sosok yang bahkan tiga kali lipat lebih tinggi dari mereka.

"Em! Hay!" Ya. Gua cuma bisa bilang Hay.

"Gawat, Oplah. Dia pasti pegawai istana!" Salah satu dari orang pendek itu bergetar. Dari sikap gugupnya, sepertinya dia gak biasa bertarung.

Gua sendiri senyum. Bayangin ditusuk sama pisau sekecil cucuk gigi aja udah merasa lucu. Sakit, tapi pasti lucu.

Gua lepas anting gua, menyorongkannya ke dua orang pendek itu tanpa ragu. "Jual saja antingku. Pasti kalian akan dapat banyak uang dari sana."

Si Omplah tampak berbinar. Dia sudah hendak menjulurkan tangannya, tapi Oplah menahan pergerakan wanita pendek itu.

"Dia pasti berusaha menipu kita," ujar Oplah dengan penuh curiga.

"Enggak, tuh. Cuma, kalau kalian gak mau dilaporin atas tidak pencurian, boleh gak kalian bantu aku?"

"Jangan tergiur, Omplah. Ini pasti hanya trik setan ini!"

Bajiguuuur ... Masa gua dibilang setan? Kurang cantik apa gua?

"No, no, no. Aku anak baik. Tak pernah telat sembahyang dan mengaji. Kalau kalian bersedia membantuku, aku juga bisa mencari cara membantu kalian."

Oplah tampak mengeraskan wajahnya. Kentara banget otak di kepala dia itu lagi mikir.

Sampai ....

"Ada kecoa joget!"

"Mana?" jerit gua yang langsung belingsatan ke segela arah. "Mana, sih? Dih, kagak ada. Lu boong, ya?"

Dan pas gua nengok, tuh manusia pendek udah ilang. Sialnya lagi, perhiasan gua juga diambil.

"Hade ...." Kesel, tapi mau gimana lagi?

Padahal gua udah mikir buat minta tolong mereka nyari jalan keluar. Dari cara mereka masuk buat nyuri, kayanya mereka tahu banyak soal lika-liku di seputar kerajaan. Pasti cocok lah buat gua andelin.

Tiba-tiba ....

Srak!

Srak!

"Meonggg!"

"Waks! Adow! Apaan, nih?"

"Jeli! Lu dari mana? Kenapa ninggalin gua? Jahat! Jahat! Jahat!"

Oalah. Si Abang toh?

"Gua kira lu betah di kerajaan. Lu kan kerjaannya cuma makan dan tidur di sini. Gua tinggal juga gak bakal paham."

"Meong! Jeli! Gua gak suka disentuh sama orang istana! Kalau gua tidur tanpa elu, nanti siapa yang nyedot kutu gua?"

Eits! Lancang ni piaraan!

"Jadi gua buat elu ini hanya seharga penyedot debu?"

Abang cuma ketawa kecut. "Yuk balik! Tadi udah ada orang istana yang nyediain makanan. Lu belum makan, kan?"

Wajah gua tiba-tiba muram. "Mau nafsu makan gimana, Bang? Otak gua cuma mikirin rumah. Gak sekali pun gua ngerasa lapar. Bayangin ...."

"Menunya oseng pucuk labu sama daging rusa."

Gua mendelik. "Yuk, Bang. Langsung aja kita ke tempat makan! Lama banget gak makan pucuk labu. Katanya daging rusa juga enak banget!"

Gua dan Abang ngoceh sepanjang jalan. Kami ngobrol panjang lebar sampai tiba di dalam kamar yang dikhususkan buat gua, Abang dan Pangeran.

Ya Rab. Gua baru sadar. Selama ini gua gak dipisah kamar sama tuh Pangeran. Gua dibiarin tidur seranjang sama dia seakan kita udah suami istri.

Dosanya dipaksa banget di sini, beb!

Saat pintu terbuka, gua lihat Pangeran udah rebah. Curiga stok energinya udah abis gara-gara jalan doang ke singgasana.

"Kagak dibangunin tuh laki?" tanya gua dengan nada sinis. Masih kesel gua sama sikap semena-mena dia dalam mengabulkan harapan gua.

"Kasihan dia, Jel." Abang duduk di tengah meja dan ngegeret satu kerat daging dengan mulutnya. "Gua rasa, dia sekarat, tuh. Mungkin umurnya gak akan lama."

"Tau dari mana?" tanya gua yang masih dengan nada sinis.

"Ya bayangin. Badan sekurus itu, ampir gak makan seharian, kerjanya cuma tidur. Kalau gak gejala mau mati, apa lagi?"

Gua melirik ke pangeran. Mungkin itu sebabnya dia pengen banget nikah. Itu sebabnya dia bahagia banget pas ciri-ciri jodohnya ada sama gua. Mungkin dia cuma berharap bisa hidup lebih lama dengan sehat seperti manusia pada umumnya.

Kalau udah gini, gua jadi menganggap diri gua egois dengan gak melihat dari sudut pandang Pangeran Cameleon.

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang