Murka

10 1 8
                                    

"Dua puluh hari lagi, bulan baru akan muncul." Raja menatap gua yang bertanya-tanya, emang ada apaan? Mau liat hilal Ramadhan apa gimana? "Saat itu, umur pangeran akan menginjak usia tiga puluh tahun. Waktu yang sangat singkat untuk melihat maut kembali pada pangeran."

Raja tiba-tiba bersujud. Dia tanpa malu merengkuh kaki gua dan menangis.

"Jangan gitu, dong Ja. Saya ini bukan stupa yang kudu disembah kaya begini." Risi banget gua kalo sampai ada yang bersujud gini. Jatuhnya musrik, gak sih?

"Tolong selamatkan pangeran. Nikahi dia. Buat kutuk pangeran putus hingga dia tak harus mati." Raja menangis semakin deras. Dia bahkan mulai kehilangan kewibawaannya karena air mata itu.

Dan gua yang bijaksana ini memapah Raja agar bangkit. Gua tahu kalau seharusnya gua menolong keluarga Raja, tapi bukan dengan cara seperti ini.

"Maaf, Ja. Saya harus menolak permintaan Raja."

Raja menghisap ingusnya dan mulai menampilkan raut tegang. "Apa alasannya? Apa kau butuh harta? Atau kau butuh kedigdayaan hidup?"

Ya kalo boleh jujur, butuh banget sama semua itu. Tapi gak. Gua harus fokus. "Ja. Saya punya dunia saya. Keluarga saya mungkin menunggu saya di rumah. Beliau mungkin menangis, saat tahu anak semata wayangnya sedang terjebak di suatu tempat dan tak bisa kembali." Gua perhatiin muka Raja semakin suram. Firasat buruk ni. "Saya dengan berat hati menolak permintaan Raja. Maaf. Saya tidak bisa menikahi pangeran."

Firasat gua bener. Tepat setelah gua mengatakan kalimat terakhir, Raja menjerit begitu melengking dan memanggil para penjaga.

"Bawa wanita ini ke penjara! Sudah selayaknya, seseorang yang tak menuruti titah Raja harus dibungkam di dasar penjara tanpa boleh diselamatkan."

Para penjaga mengerumuni gua. Bikin gua panik setengah mati. "Ja! Apa gunanya HAM kalau Raja semena-mena? Ta'aruf aja boleh nolak, lah kok Raja maksa? Ja! Saya mau pulang, Ja! Hwaaa ... Mamak! Gua mau pulang! Tulung! Hadooooh!"

Buset nih tangan para pengawal. Kenceng banget megangin gua. Gak usah diremet gini aja gua gak akan bisa kabur. Kenapa pada tega bener, dah? Emang gua gak boleh apa menolak hal yang gua gak suka? Kan ini hidup gua.

Gua pun dijebloskan ke dasar penjara. Mana muka duluan yang nyusruk pulak. Dan ini penjara gelep banget. Terus di pojokannya itu ada tengkorak yang diborgol. Lah kocak. Ngapain ngeborgol tengkorak? Gak cuma itu. Ada tikus juga yang ngendok di pojokan. Curiga mau nungguin daging gua ngelopek dia. Dih! Coba Abang ada di sini. Udah dibantai tuh tikus.

***

"Selir ...." Seorang penjaga istana datang dan menunduk di depan Selir.

"Kalau kau hanya membawa berita soal wanita itu, maaf saja, kau harus segera membungkam mulutmu." Selir lagi dipakein masker, tuh. Ngomongnya gak bisa lebar-lebar. Takut banget urat mukanya ketarik.

"Tapi Selir. Ini penting."

Selir menarik napas. Dia melirik ke arah penjaga istana dan tampak mulai pasrah. "Katakan. Sepenting apa wanita dari dunia lain itu, hingga kau bisa dengan tak sopan merusak acara rutinku malam ini?"

"Wanita itu dipenjara, Selir."

Selir sontak mendelik. Maskernya sampe sobek dan bikin mukanya seserem dekorasi ugly cake.

"Kalau kau berdusta untuk menyenangkanku, aku akan membuangmu ke hutan kematian." Selir bangkit dan mendekati anak buahnya.

"Tidak, Selir. Aku berkata jujur."

Entah kenapa, Selir yang jahat mulutnya ini mulai tertawa. Berasa nasib buruk orang itu, ajang komedi buat dia.

"Aku harus merayakan ini. Penjaga, beri aku sebotol anggur dan juga keju. Aku akan minum sampai aku mabuk malam ini."

***

Sementara itu, di penjara, gua mulai menggigil. Beneran nih baju bagus yang gua pake gak nyaman di situasi sedingin ini. Ketipisan kayanya. Duh. Kalau udah gini, gua pengen banget minum bandrek gak pake susu. Pasti anget banget. Sambil nyemilnya jagung bakar, lagi.

Kriet ...

Tap, tap, tap, tap.

Waduh. Suara apa itu? Jangan-jangan demit. Emang situasi suram penjara bisa bikin demit betah keluar masuk tempat ini.

Eh tapi, ada nyala obor. Masa sih demitnya ghost rider? Gak, kan?

"Sayangku!"

"Eh? Gimane? Sayangnya sape?"

Gua menengok ke arah jeruji. Rupanya si pangeran tampan yang datang. Dia tampak khawatir dan mencoba membuka kunci penjara.

Tepat saat pintu itu terbuka, dia memeluk gua dengan sangat erat.

Ya Allah. Jantung gua deg-degan banget. Terus si Pangeran wanginya enak banget lagi. Bikin gua ngerasa campur aduk dan bayangin yang enggak-enggak. Kalian vote, dong. Baiknya gua lepas apa gua biarin aja si Pangeran meluk gua sampe subuh? Gua risi, tapi seneng banget ini dipeluk dia.

"Kau tak apa-apa?" Yah, kok pelukannya di lepas. Ya walau dia malah megang wajah gua dan mandang dengan mata bergetar kaya takut kehilangan gua, sih. "Maafkan Raja. Dia hanya terlalu mencintaiku hingga tak suka jika ada yang menolak permintaannya."

Gua terdiam. Gak pas kayaknya kalau gua ngehujat Raja di saat kaya gini. Entar gua disangka kompor.

"Aku akan membiarkanmu pulang. Aku akan membawamu ke jalan keluar dan mengirimmu kembali ke duniamu."

"Siapa yang memberimu ijin, Pangeran?"

Sebuah suara membuat kami melonjak. Selir datang dengan botol anggur di tangannya dan tampak mabuk.

"Selir? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Pangeran.

"Karena aku punya kunci." Selir melambaikan renteng kuncinya yang kuncinya segede jari manusia. Dia kayanya bahagia banget pas tahu gua kudu ada di penjara sampe mati. "Kau berniat melawan keputusan Raja, Pangeran?" tanya Selir sembari menyesap lagi anggurnya. "Tak akan kubiarkan. Keputusan suamiku adalah titah tertinggi di negara ini. Kalau ada satu atau dua orang yang berusaha melanggar titah itu, akan kupastikan dia sengsara."

Pangeran melompat dan mencuri kunci itu dari genggaman Selir. Dia bahkan membuang kunci itu lewat celah jendela kecil di penjara agar Selir tidak bisa menggunakannya.

"Percuma, Pangeran. Aku akan terus membuatmu kesusahan dengan wanita dunia lainmu ini."

"Coba saja kalau kau berani!"

"Kau menentangku?"

"Hentikan!" Tiba-tiba ada suara lain. Sebuah suara dengan derap langkah di belakangnya yang mencoba melindungi pemilik suara itu dari segala bahaya.

Ternyata sosok bersuara berat itu Sang Raja. Dia berjalan tegap dan mendekati kedua anggota keluarganya yang sedang berselisih.

"Selir. Apa pantas untuk mabuk dan berjalan-jalan di penjara seperti ini?" Raja memberi kode agar anak buahnya memapah Selir, tapi Selir justru menolak dengan menepis tangan-tangan penjaga istana itu.

"Aku harus menikmati siksaan si wanita dunia lain ini. Aku harus melihatnya membusuk setiap hari di penjara."

"Gak akan gua busuk di sini!" jerit gua.

"Kenapa? Karena kau yakin bisa keluar dari sini."

"Gak juga. Tapi emang gua gak bisa membusuk gitu aja, apa lagi kalau bolak-balik diangetin." Ya Allah, mulut gua kenapa ngelawak lagi, sih? Kan lagi serius!

Lalu Selir maju dan menjambak rambut gua. "Kau menantangku? Mau lihat bagaimana kekuasaanku bisa membuatmu abadi di sini?"

Gua mendecih dan memandang si Selir tanpa rasa takut. "Tadi katanya gua bakal busuk, terus bakal abadi. Yang bener yang mana?"

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang