Kabulkan, Pang!

11 1 18
                                    

Tahu gak apa yang gua lakuin ama tuh Selir? Gua tarik juga rambutnya. Gua Jambak lebih keras sampai dia jejeritan dengan panik.

"Lepas, gak? Lepas, gak rambut gua? Gua pastiin cepol palsulu lepas, nih!"

Si Selir panik sih. Dia gak tahu kalau gua ini hobi dilabrak, jadi khatam namanya jambak-jambakan.

"Wanita gila! Tolong! Raja! Pangeran! Tolong!"

Gua ngakak kaya setan. "Panik, gak lu? Ha? Sakit gak dijambak gini? Masih mau Jambak gua? Gua cabut nih kondelu!"

"Ya Dewa! Apa yang kalian lakukan?" Raja tergopoh memisahkan kami. Dia yang tua keropos itu langsung narik tangan gua yang seketika membuyarkan semua tatanan indah rambut Selir.

"Ku-kurang ajar! Rambut yang bahkan tak kubiarkan rusak saat tidur, kau buat seberantakan ini?"

Di tengah kericuhan itu, di saat gua mikirin bakal bales apa kalau kena tabok, pangeran menarik tangan gua dan membawa gua berlari ke luar penjara.

Dia sepertinya gak takut dimarahin ortunya. Dia justru lebih mengasihani gua yang engap banget woy disuruh lari.

"Ya Allah, Pang! Gak bisa naek motor aja! Capek banget aku!"

Pangeran tertawa. Membuat gua semakin terpesona dengan garis lengkung cantik di bibirnya itu. Kok bisa gitu ada seseorang yang ganteng dan cantik di waktu yang sama. Gak kaya gua yang cuma ada buruk dan udik.

Lalu sampai lah kami di sebuah tanah lapang. Dengan langit ungu terang dan juga guguran daun berwarna sama, gua merasa hari itu sangat spesial.

Gua lihat tuh pangeran yang matanya terpejam. Astagfirullah. Maafin aku ya Allah. Dosa banget ini menikmati indahnya pangeran sampe ngedip berkali-kali.

"Kau hebat," ujarnya. Dia menengok dan memberikan efek slow motion yang cakep banget. Ya Allah. Jantung gua gak kuat. "Tak pernah ada satu manusia pun yang sanggup menjambak rambut Selir. Apa yang membuat manusia dari dunia lain bisa seberani ini?"

Gua bingung mau jawab apa. Jujur, gua anaknya rebel emang. Kalau disulut dikit aja, bawanya ngajak perang.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

"Lah buset! Kirain udah tahu nama gu- ehem, kirain udah tahu nama aku."

Pangeran tertawa renyah. Berasa pengen gua jambalin pake saos. "Aku bukan orang sehebat itu. Yang aku tahu hanya bertahan hidup. Jadi siapa namamu?"

"Anjeli. Tapi biasanya dipanggil Jeli. Khusus buat kamu, panggil Sayang juga boleh."

Lagi-lagi si pangeran tertawa. Ya Allah, kok dicobainnya bagus banget, si?

"Baik Jeli. Sekarang, coba tebak namaku."

Gua melongo. Lah dia main tebak-tebakan ama gua. Disangka gua peramal.

"Kalau tebakan bener, aku dapat apa, Pang?"

"Apa pun yang kamu mau."

Gua mengangguk pelan. "Apa ya bagusnya?" Kan, gua jadi mikir nih.

"Para penyihir kepercayaan istana berkata, hanya jodohku yang tahu namaku. Jadi, cobalah berhati-hati saat menebak."

Ini anceman bukan sih? Gua pengen bener ngejawab secara tepat.

Gua pandangin mukanya. Dia anteng, tapi bisa bar-bar ketika menyangkut sesuatu yang dia suka. Lemah, tapi gak tinggal diam buat melindungi. Dianggap satu warna, tapi sebenarnya bisa berbaur dengan warna apa pun.

"Cameleon?"

Tiba-tiba Pangeran menengok. Matanya seketika berkaca-kaca.

"Ke-kenapa? Salah, ya?" Aduh. Masa iya gua nyamain dia Ama bunglon, sih. Kasar banget gua.

Dan tiba-tiba ...

Tangan Pangeran meraih wajah gua, mendekatkan ke wajahnya dan mengecupnya dengan sangat hangat.

Gua bingung ni. Lepas apa engga? Tabok apa enggak nih? Duh. Mana jantung gua berdetak. Lemes banget sampe gua merasa melayang. Ciuman macam apa ini? Kenapa begitu candu.

Di menit ke lima, dia melepas peluk dan ciumnya.

"Kok dilepas?" Deuh! Mulut lancang gua kumat nih.

Dia tersenyum. "Seorang jodoh tetap lah jodoh. Walau penuh penyangkalan, tapi memang kau orangnya."

"Ap ... "

Dia meneyerang gua lagi dengan ciuman. Membawa gua dalam pelukannya dan membuat gua mabuk. Kepala gua geliyengan dan yang terakhir gua lihat adalah cahaya bagai halo yang menerangi kepalanya.

Lalu gua pingsan.

Baru kali ini gua pingan abis disun. Herannya gua gak marah. Malah kalau bisa, di putar ulang lagi, lah.

Pas gua buka mata, gua udah ada di sebuah kamar, tanpa pangeran ada di sisi gua.

Kejadian semalem masih ngebekas. Gua bahkan bisa merasakan jejak bibir itu di bibir gua.

"Gua, jatuh cinta kah?" tanya gua dengan gak percaya. Wajah gua juga merah banget. Gua gak nyangka bisa dapet pengalaman seasoy itu.

Tapi ...

"Kalau tebakan bener, aku dapat apa, Pang?"

"Apa pun yang kamu mau."

Lekas gua bangkit dari tidur gua. Ada prioritas yang lebih penting dari ciuman pangeran. Gua harus buat pangeran buat nepatin janjinya. Apa lagi kalau bukan soal mengabulkan permintaan gua.

Gua mau pulang. Itu yang gua ucapkan berulang dari mulut gua.

Bukan masalah emak lagi, nih. Lebih ke masalah soal feeling gua. Ni kerajaan kayanya banyak pertikaian. Tipikal kerajaan yang bakal dibumbui pemberontakan dan kematian.

Gak. Gua gak mau mati dengan berada di antah berantah. Terus ni kerajaan kayanya kagak tahu cara ngurus mayat. Gua gak mau ya, kalau mati tanpa dipocong. Apa lagi sampai gua dibakar, terus diolesin bumbu Padang. Males banget.

"Di mana pangeran?" tanya gua pada penjaga pintu singgasana.

Dia melirik dan kaya terusik.

"Jawab, atau gua tusuk pake peniti."

Si penjaga narik napas. Bete banget dia tuh.

"Pangeran sedang bertemu Raja. Anda jangan ... Hey!"

Gua menerobos aja pintu masuk area singgasana. Sang pangeran tampak duduk di sebelah raja dan mengutarakan sesuatu yang gua gak tahu.

"Pangeran! Aku mau kau kabulkan satu pintaku!" jerit gua yang gak kenal sopan banget.

Para penjaga masuk dan hendak menyingkirkan gua, tapi Raja memberi kode dengan jarinya agar para penjaga mundur.

"Apa yang membuat dirimu ingin sekali dikabulkan pintanya, wahaii wanita dunia lain?"

Gua menarik napas. Masih engap sisa lari tadi. "Pertama ... Uhuk." Gua seret banget jalan napasnya. Jadi gua dateng ke sisi kanan pintu masuk, ambil vas bunga dan minum airnya. "Sorry, seret!" Lalu mata gua beralih pada pangeran. "Aku dengar pangeran berkata padaku akan mengabulkan apa pun yang aku mau jika bisa menebak namamu."

Mendengar itu, raja pun menengok ke arah putranya. "Benarkah yang dia katakan, anakku?" Pangeran dengan ragu mengangguk dan bikin gua semakin bersemangat.

"Aku mau pulang, Ja! Pang! Aku mau kalian kembalikan lagi diriku ke rumah asalku."

Kedua pria itu saling tatap. Ada kode di pikiran mereka yang gua gak tahu. Kode yang membuat pangeran bangkit dan berjalan ke arah gua.

"Kau boleh saja pergi dari sini," ujarnya. Udah mau kasih jempol dua aja karena seneng, sampe dia bilang, "asal kau mau menikah denganku, hidup selama seratus tahun, dan memberiku banyak anak, banyak cucu, banyak cicit."

"Bentar ... " Gua kaget banget sama yang satu ini. Dari pertama aja udah gak bener. Masa idup seratus tahun. Itu idup apa mau dimumiin gua. "Pang, kamu gak lagi ngerjain aku, kan?"

Pangeran tersenyum. "Aku hanya menurtui permintaanmu. Dan begitu caraku memilikimu."

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang