"Apa yang kau pikirkan?"
"Hah?" Gua menjerit kaget saat tiba-tiba pangeran udah ada di lantai dan tidur di samping gua. Padahal gua sengaja tidur di lantai biar gak seranjang Ama dia.
Risi, buset! Kaya, ngapain gua tiap hari seranjang sama cowok yang gantengnya enam dimensi? Mana bisa dijamah, lagi.
Gua akhirnya duduk dan membenahi baju tidur gua yang sedikit melorot. Sampai gua sadar tangan pangeran sudah membelai wajah gua dan matanya menatap dengan sangat hangat. Gua berasa menjerit tapi tanpa suara.
"Katakan, kenapa kau melamun saat kau harusnya tidur?"
Gua menarik napas. Gua pengen banget mengeluarkan isi hati gua, tapi gua gak yakin pangeran paham dengan apa yang gua katakan.
Tapi ....
Tangan gua lalu membelai wajahnya. "Katakan, apa arti hidup rakyat bagimu?"
Pangeran mengedip. Mungkin semacam reaksi bingung dengan cara gua bertanya.
"Rakyat ya rakyat. Mereka membantu keluarga kerajaan karena takdir Tuhan."
"Tepat sekali." Gua membenahi letak duduk gua karena bersiap dengan segala diskusi yang akan terjadi. "Lalu kenapa tak ada timbal balik bagi kerajaan, ketika para rakyat berusaha yang terbaik untukmu?"
"Kenapa harus?"
Eh buset. Kok dia balik nanyanya begitu?
"Keluarga Kerajaan memang harus dilayani. Kami ditakdirkan Tuhan untuk disembah, sementara mereka harus memberikan semua hal bahkan hidup mereka untuk kami."
"What the f ... "
Entah kenapa gua kesel banget. Sesama manusia kok merasa paling tinggi gini, sih? Mana setahu gua, dibanding sebagai utusan Tuhan, para orang kerajaan justru terlihat seperti perampok.
"Ada yang salah?"
Gua menarik napas dengan kalimat tanya tanpa dosa itu.
"Dengar." Gua mencoba untuk menjelaskan, tapi terhenti karena gak yakin Pangeran Cameleon mengerti. "Tak ada cara lain, kau harus ikut aku."
Gua menarik Pangeran Cameleon. Membawanya ke sebuah tempat di mana Omplah dan Oplah pernah membawa gua menuju ke portal dunia gua. Tapi bukan itu tujuan gua, melainkan sebuah tempat di mana seorang ibu dan bayi kurang gizi menangis sepanjang malam karena kelaparan.
"Kau lihat mereka?" tanya gua dengan menunjuk dua sosok menyedihkan itu. "Mereka rakyatmu. Manusia yang sama sepertimu. Kalau kau baik pada mereka, maka mereka akan memberikan pelayanan tertulus yang bahkan tak bisa kau terima dengan kedua tanganmu."
"Tapi kami berbeda." Pangeran berkeras dan tampak bingung.
"Tidak, Pang. Kita sama. Dia punya mulut untuk makan, dia juga punya kaki dan tangan untuk mengerjakan apa pun yang dia bisa. Begitu juga denganmu. Bahkan kalau dia dan anaknya dirawat, mereka akan lebih cantik dari orang kerajaan."
Pangeran terdiam. Tampaknya butuh banyak waktu bagi otaknya untuk memproses.
Gua sendiri menarik napas. Cukup mengerti kenapa orang kerajaan sangat egois. Dari cara mereka melogika anugerah Tuhan aja udah beda sama manusia umum.
"Tuhan akan menyayangi siapa pun yang menyayangi sesamanya. Dia memperlihatkan kekuasaan padamu, untuk membantu manusia lain yang membutuhkan. Bukan memanfaatkannya hanya karena kau punya kuasa."
Gua kemudian melangkah pergi meninggalkan pangeran. Hati dan mata gua panas banget. Kok bisa gitu ada sekumpulan manusia berderajat tinggi, yang gak bisa memanusiakan orang lain.
Yang gua tahu, sekembalinya gua ke istana, gua langsung meringkuk ke dalam selimut. Gua mau tidur aja karena gak tahu kudu melakukan apa lagi abis ini.
Pagi harinya, para dayang membangunkan gua. Padahal gua gak bisa bangun pagi, apa lagi gua tidur larut banget semalem.
"Emang ada apaan, sih? Penting banget, tah?"
Para dayang tampak pucat. "Pangeran dan Raja membutuhkan anda saat ini. Anda harus bergegas."
"Tapi gua belum mandi."
"Tak usah, putri. Anda sudah cantik walau tanpa air mandi."
Gua tersenyum lebar. Ya Rabb, akhirnya ada juga manusia yang buta mata hati dan pikirannya dengan menyebut gua cantik.
"Ya udah, deh. Ayo cabut."
Dengan masih memakai baju tidur, gua berjalan ke ruang singgasana. Memastikan semua orang ada di sana dengan mengintip sebelum masuk dengan kikuk.
"Tidur nyenyak, sayang?"
Teguran Pangeran bikin gua salah tingkah. Alay banget tu orang sampe manggil gua sayang di depan umum.
"Raja, semalam Putri Dunia Lain ini memberikanku pencerahan. Sesuatu tentang hak istimewa rakyat kita yang terlupakan."
Raja terdiam sejenak dengan kening mengernyit. "Apa yang kau dapat?" tanyanya.
"Aku belajar bahwa, kalau kita ingin rakyat melakukan banyak hal pada kita, maka kita harus membuat mereka kenyang, sehat dan kaya raya. Kita harus memberi mereka emas, tempat tinggal, bahkan makanan yang sangat banyak hingga mereka sehat." Lalu Pangeran menatap gua. "Bukan begitu kekasihku?"
Gua menarik napas. Konsepnya sih agak salah, tapi ya gak seratus persen salah juga. Duh, mumet dah neranginnya.
Lalu Raja berdiri dan menatap gua. Bikin gua salting sendiri. Takut aja kalau dia ikutan jatuh hati dan malah membuat gua jadi bininya.
"Dulu sekali, Ratu selalu memberikan semua hal pada Rakyatnya. Dia membagikan makanan gratis, membangun rumah bagi mereka dan mengajari anak-anak para rakyat kita dengan berbagai ilmu yang berguna."
Raja seperti muram. Gua tebak dia keinget mantan bininya yang mukanya gak gua tahu.
"Aku bangga kami diberkati oleh wanita dari alam lain sepertimu. Aku bangga ketika kau mampu mengubah pola pikir anakku tanpa bantuanku."
Raja lalu turun dari Tahta dan mendekati gua. "Mulai saat ini, aku akan memberimu tugas penting."
"Apaan, tuh?" tanya gua dengan berdebar.
"Kamu akan mengurus semua keperluan rakyatku. Mulai dari apa yang mereka makan, rumah yang mereka tinggali, sampai dengan pendidikan mereka." Raja melekatkan tatapnya dan bikin gua meneguk liur karena grogi. "Kau bisa melakukan itu, calon menantuku?"
Tanpa sadar gua mengangguk. Maksud gua, ya kalau buat orang lain, kenapa enggak, kan? Lagian, masa bakal makanan sama hal remeh aja pake perhitungan? Kan keluarga kerajaan kaya. Dan kerajaan ini juga bisa kok maju dengan bantuan pemerintahnya."
Sekeluarnya dari tempat itu, gua gak tahu lagi apa yang Pangeran dan Raja obrolin. Mungkin kah soal mereka yang bangga karena sudah mendapatkan menantu solekhin kaya gua?
Gua sendiri bergerak ke ruang kamar Oplah dan Omplah. Kedua kerdil itu lagi belajar merajut buat bajunya Si Abang dan kaget pas gua dateng dengan bentuk yang seberantakan kandang sapi.
"Ada apa, Mbak Jeli? Apa kamu dikejar kuda prajurit?"
Gua tersenyum. Lelucon Oplah gak lucu, tapi boleh lah.
"Aku ada tugas," ujar gua dengan penuh semangat. "Kita akan pergi lagi ke pemukiman warga. Kita harus masuk ke setiap rumah, tanpa membawa atribut kerajaan."
Semua terdiam dan saling tatap.
"Kalau boleh tahu, untuk apa?" Oplah tampak penasaran dan gua yakin hal selanjutnya yang akan gua jelaskan akan membuat dia dan saudarinya senang.
"Raja memberiku tugas untuk memakmurkan rakyat. Mari kita buat mereka kenyang, membuat tidur mereka tenang, dan menciptakan pendidikan terbaik agar mereka bisa membangun negeri ini dengan tangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Elah! Nyasar!!!
FantasyDuh, bingung banget, gua. Niat cari kopi tengah malem, eh malah nyasar. Gua ada di mana, sih?