Menemukan Jalan Kembali

5 1 1
                                    

Gua gak tahu kalau efek ciuman itu bisa bertahan sampai dua puluh empat jam. Bahkan efeknya bikin gua megangin bibir. Ngecek aja, bibir gua ilang gak?
Gua tarik napas dalam-dalam. Kagak pernah-pernahnya jatuh cinta sampai seedan ini. Mana tuh cowok yang menyerang gua dengan cinta kasihnya masih ada di kamar yang sama. Dia mandangin gua di sudut ranjang dan membuat gua gak berani balas tatap dia.
Lagian, ini kenapa sih gua dijadiin satu kamar? Kan bukan muhrim. Entar kalau dosa, gimana?
Gua gak bisa biarin semua ini berlanjut. Seenggaknya, gua mau ada di kamar terpisah, di mana gua gak melulu lihat muka Si Cakep Cameleon.
Tapi baru aja gua bangun, Pangeran Cameleon juga bangun dan membuka pakaiannya.
"Ap-ap-ben-eh?" Gua gugup dan menutup mata gua. Ya Rab, zina lagi ini mata!
"Kenapa menutup mata?" Suara Pangeran Cameleon terasa jauh, tapi hati gua meledak seketika cuma dengan bayangin keadaan pria itu. "Mau ikut mandi?"
"Ya Engg-iy-em ... " baiknya gua jawab apa? "Mandi sendiri aja sana! Aku juga bisa mandi tanpa dibantu, kok!" Pangeran Cameleon tertawa. Bahkan tawanya terkesan damai dan bikin ati adem.
Gua lunglai pas suara kamar mandi ditutup. Sampai kapan cobain yang indah ini berlanjut, Gusti?
Tiba-tiba.
"Aku kaki tangan putri alam lain, sekarang. Dan kau tak akan bisa menahanku untuk mencuri lagi!”
"Omplah! Itu tidak sopan. Bilang saja kalau kita akan mendapatkan suplai makanan gratis, karena kita kini bagian dari kerajaan."
Aku menengok ke arah pintu. Oplah dan Omplah datang dengan begitu bersemangat. Syukurlah mereka tak lagi gusar soal perut. Mereka bahkan mulai mengenakan baju berjahit benang emas di tubuh mereka.
"Hei! Wajah apa itu? Kenapa murung saat kau adalah calon istri pangeran?" Oplah dengan sangat riang berdiri di meja kerja. Dia mengeluarkan sisirnya dan mulai membenahi letak satu lembar rambut gua yang terburai.
"Katakan, putri ... "
"Jangan sebut gua begitu, gua mohon." Gua menutup wajah. Mempertanyakan kenapa sampai gua yang harus jadi calon putri di negara aneh ini, sih?
"Baik, lah. Jadi harus kupanggil apa dirimu ini?"
Gua menarik napas. "Panggil aja Jeli. Atau kalau kau merasa sungkan, panggil aku mbak juga gak masalah."
"Mbak. Apa pangeran memperlakukanmu dengan baik?" Omplah mendekat dan berbisik di telingaku. "Kalau kau merasa pangeran tak mencintaimu, aku punya sebotol love poition yang akan membantu asmaramu."
Gua mengernyit. Sebagai penulis fantasi, gua tahu banget apa itu love poition. Gua tahu ramuan yang harumnya bisa bikin Hermione berdebar saat mengingat Ron Weasley.
"Gak butuh," gua meletakkan kembali ramuan itu dan menopang dagu.
"Aih. Kau tentu butuh barang ini. Keluarga Kerajaan itu susah ditaklukkan. Kalau kau meminumkan ini padanya, dia akan ... "
"Cairan apa ini?"
"??!!!"
Semua terdiam karena kemunculan Pangeran. Bahkan Omplah dan Oplah menutup mulut mereka yang sejak tadi berusaha nyuci otak gua biar mempengaruhi otak pangeran secara magic.
Gua mendesis. "Itu love poition. Mereka pikir kau tak akan mau ada di dekatku."
Pangeran mengangguk seakan mengerti. "Fungsinya apa?"
"Biar kamu jatuh cinta sama aku, lah Pang."
Pangeran mengangguk dan menatap Oplah dan Omplah. Pasti kedua kerdil itu tengah membayangkan kepala mereka terbebas dari raganya.
Sampai Pangeran Cameleon membuka tutup ramuan itu dan menenggak isinya sampai habis.
Gua terdiam. Begitu juga Oplah dan Omplah. Mereka bahkan dengan sigap memutar jam pasir di meja dan menunggu saat-saat pangeran terstimulasi dengan ramuan itu.
"Tak ada efeknya," ujar Pangeran yang segera melempar botol kosong di tangannya. "Aku pikir aku hanya menambah rasa sayangku pada calon istriku saja. Pun tanpa love poition ini, aku sudah tentu akan mencintainya.
Lalu ia mengedip padaku dan membuatku melihat sisi Sang Pangeran yang sedang berubah warna.
**__**
Aku, Omplah dan Oplah berjalan bersisian. Kami berjanji untuk bertemu di gudang makanan demi saat ini.
Kedua kembar kerdil itu melambai saat aku datang. Mereka membawa lentera di tangan mereka dan terlihat begitu bersyukur.
"Sebagai ucapan terima kasih kami, akan kami beritahu portal menuju ke dunia lain," ujar Oplah dengan nada bijaknya.
Gua bahagia banget. Gua bahkan tanpa ragu berjalan sangat cepat di antara dua kerdil itu.
Kami melewati pemukiman kumuh yang di awal cerita sudah kulewati sebelum sampai ke istana. Pemukiman itu berbau busuk dan hampir tak ada cahaya kecuali ketika para penjaga lewat membawa kereta persediaan.
Kami lalu keluar dari gerbang, dan tentu saja melewati jalan rahasia yang Oplah dan Omplah buat.
"Kita tak akan diizinkan keluar kalau melewati gerbang. Yang ada kita bisa dilempar ke siring penuh buaya."
Gua nurut aja. Secara mereka yang lebih tahu kondisi dunianya.
Gua lalu menyusuri hutan dan berhenti di suatu tempat yang gua ingat. Tempat dengan tebing tinggi dan sepertinya sangat sulit dipanjat.
"Di atas ada sebuah lubang portal menuju dunia lain. Lubang itu akan tertutup setelah purnama datang. Dan kalau kau tak segera ke sana, kau akan selamanya terkurung di negara ini."
Gua mengetuk dagu. Agak panjang jalan ke sana. Kalau pun bisa, gua harus merayap di dinding tebing dan mempersiapkan banyak alat biar gak jatuh.
"Ya Allah!" Gua menjerit. Membuat Oplah dan Omplah melonjak terkejut. "Gua lupa bawa Abang, dong! Waduh! Kalau pulang tanpa Abang, Emak bakal ngamuk!"
Oplah dan Omplah saling pandang. "Siapa itu Abang?" tanya mereka bersamaan.
Dan gua tersenyum lucu. "Kucing gua. Belahan hati gua terdalam."
Kami pun memutuskan kembali. Toh persiapan pulang juga kurang matang. Senggaknya gua harus bawa tali tambang buat manjat. Mana gua ini bagian bemper belakang suka tertarik sama gravitasi. Kalau gak manjat dengan bener, ya bisa gedablukan nanti.
Kami lalu melewati tempat yang sama. Kali ini, bahkan tanpa cahaya sempurna, gua bisa melihat bagaimana hidup para warga di negara ini.
Seorang bayi di salah satu tenda penuh tambal sulam menangis keras dengan tulang rusuk yang mencuat. Dia terlihat kesakitan dan kesusahan bernapas.
"Dia Imran. Anak itu lahir dalam kemalangan. Air susu ibunya tak mengalir dan dia bisa mati kapan saja." Oplah menjelaskan saat tahu tujuan mata gua memandang.
"Apa tak ada susu sapi atau hewan ternak lain?"
Oplah tersenyum pahit. "Sapi dan susu hanya barang mahal yang tak sanggup kami beli. Kalau mau, kami hanya bisa mendapat yoghurt dari susu basi sisa makanan kerajaan."
Gua terdiam. Gua tahu yoghurt gak akan baik buat bayi. Dan pantas saja para ibu menyusui tak bisa lagi mengeluarkan ASI. Bagaimana pun, gizi mereka tak akan cukup hanya dengan yoghurt basi.
Gua menggigit bibir. Entah kenapa gua merasakan penderitaan Oplah dan Omplah selama ini. Mungkin bagi mereka, bisa hidup saja di negara ini sudah syukur.

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang