"Apa Raja tahu semuanya?"
Selir masuk ke dalam ruang singgasana dan menatap sang suami. Jelas dia kesel banget kali itu dan mau kejelasan informasi dari Sang Raja.
"Katakan, Raja. Apa kau tahu apa yang wanita dunia lain itu lakukan di kerajaan kita?"
Raja tak menjawab. Dia justru tampak memandang lukisan almarhumah ratu di tangannya.
"Sekarang aku tahu kalau keluarga kerajaan akan terus terikat dengan manusia dari dunia lain." Raja bicara dan memberikan ekspresi sendu. "Ratu juga datang ke dunia ini lewat portal yang sam, saat dunia ini butuh seseorang yang punya hati."
Selir tampak tak nyaman. Dia berjalan mendekati Sang Raja dan memandang wajah pria tua itu. "Kau selalu menatap lukisan itu dengan pandangan patah hati. Katakan, Raja. Apa aku tak bisa menjadi pengganti Sang Ratu? Apa aku tak bisa sedikit pun menjadi yang terkasih bagimu?"
Flashback.
Lintasan ruang dan waktu berubah menjadi imaji di dalam isi kepala Selir. Menceritakan tentang bagaimana hidup selir sebelum dia menempati posisinya sekarang.
Selir terlahir dengan nama Jasmine. Sebuah bunga dari dunia lain yang sampai saat ini menjadi simbol bagi keluarga kerajaan.
Sejak awal, Selir adalah sosok yang diamanatkan untuk menjadi Ratu dan menikahi Raja. Semua berjalan mulus, sampai satu hari sebelum pernikahannya, Raja membawa Sang Ratu yang merupakan perempuan asing dari dunia lain.
Keputusan sepihak Raja untuk menggagalkan Jasmine sebagai Ratunya menuai banyak kontroversi. Jasmine sampai harus menahan malu sepanjang tahun karena dirinya yang didepak tanpa sempat merasakan jadi istri sang Raja.
Dan karena hal itu, keluarga Jasmine yang tak menerima perlakuan sang Raja, mendatangi Ahli Sihir kerajaan yang tinggal di hutan kematian. Mereka merencanakan sebuah kematian Sang Ratu yang disebabkan oleh kutuk yang tak mungkin bisa disembuhkan hanya dengan bantuan tabib.
Kutuk itu tak disadari Sang Raja. Membuat Ratu terlihat semakin tak sehat dan hal itu semakin buruk saat kehamilan terjadi.
Selir pikir, kutuk yang dia kirim pasti juga akan mengenai anak dalam kandungan Ratu. Selir pikir, kematian kedua makhluk itu akan terjadi sekejap kilat dan membawanya kembali ke pelukan Raja.
Tapi Selir salah. Ratu mungkin tak bisa diselamatkan, tapi Raja masih punya satu harapan terhadap putranya. Dia membawa jasad sang putra pada ahli sihir yang juga mengutuknya dan meminta agar sang putra kembali dihidupkan.
Bukan karena jabatan hingga sang ahli sihir membantu Raja memenuhi keinginannya, tapi karena pandangan penuh kerendahan diri dan rasa cinta sang rajalah Pangeran dapat hidup sampai saat ini.
Flash back off.
Selir tak lagi bisa berkata-kata pada sang Raja. Percuma saja untuk bicara kalau Raja tak menggubrisnya. Jadilah Sang Selir pergi meninggalkan singgasana dan membiarkan Raja terus tenggelam dalam imaji.
"Kau ... " Raja tampaknya menyadari satu sosok tak diundang yang sejak tadi memperhatikan mereka. "Apa kau hanya akan diam di sana?"
Sosok itu muncul ke arah cahaya. Memperlihatkan raut berhidung mancung dan bengkok saat menunduk patuh pada Raja.
"Kau mendengarkan semua ocehan Selir, kan?"
Sosok yang ternyata ahli sihir itu mengangguk.
"Apa kau menyesal karena selama ini ada di kubunya?"
Ahli Sihir tampak tercekat. "Bagaimana Raja bisa tahu?"
Raja tersenyum. "Istana ini ajaib, wahai Ahli Sihir. Setiap tembok punya mata dan telinga. Aku bahkan tahu kalau kau adalah sosok yang selama ini mengutuk Ratu dan anakku."
Ahli Sihir gemetar. Padahal dia sudah merasa cukup aman saat tahu bahwa Raja tak pernah mengungkit semua dosanya. Sepatutnya dia sadar diri bahwa memang kuasa dan juga jiwa seorang Raja lebih sakti dari pada kutuk yang dia kirimkan.
Lalu Raja menatap Sang Ahli Sihir. "Katakan, kapan aku bisa menikahkan anakku dan Si Wanita Dunia lain?"
__**__
Pembicaraan Raja dan Ahli Sihir menjadi rahasia di antara mereka. Sementara itu, gua, Anjeli, berusaha menerangkan aturan main basket dengan susah payah.
Demi apa pun, kenapa warga kerajaan cengok hanya dengan memikirkan sepuluh orang rebutan bola? Gua udah bilang kalau ini permainan mudah, tapi mereka kayanya bahkan gak tahu apa itu yang disebut permainan.
"Gini, deh!" Gua maju ke bagian tengah lapangan basket yang dibuat dalam waktu satu jam. Gua berusaha gak jejeritan karena kesel. Bakal rusak bekas skin care gua kalo sampe gua emosi. "Kalian akan dibagi dengan dua kelompok. Satu kelompok lima orang. Kalian bawa bola ini ke arah lubang di tiang lawan. Satu kali masuk, itu skornya dua. Kalau di luar garis lengkung, skornya jadi tiga. Yang paling banyak dapet skor, dia bebas minta apa pun yang dia mau."
Semua tampak mengangguk. Tapi tetep aja kaga ada niatan bergerak. "Bagaimana kalau kami minta jadi raja?" salah satu dari mereka bicara dan bikin gua mendelik.
"Ada gila-gilanya, ya lu pada? Lu pikir enak jadi Raja? Raja itu tidurnya tiap jam dua pagi, bangunnya jam lima biar bisa nyapuin istana. Lu pada mau begitu?"
Becanda, sumpah! Ya kali Raja nyapu istana seharian. Encok entar.
"Tapi, kalau kita jadi Raja, kita bisa dapatkan apa yang kita mau." Seorang bapak-bapak berkumis melinting bersuara. Sesekali dia garukib puser dia yang menjedul kaya kelereng jumbo. "Selain jadi Raja, aku tak mau yang lain."
Semua sepertinya satu pemikiran. Mau diakalin kayak gimana pun, jawabannya tetep sama. Mereka gak bakal mengubah keinginan itu.
Wal hasil, gua emosi dan banting bola basket yang gua dapat dari ahli sihir. Padahal gua udah bayangin adanya pertandingan seru, tapi tetep aja manusia di sini rada setengah ons.
"Bagaimana kalau kita berdua beri contoh sesuatu yang kau sebut permainan ini." Pangeran yang mencuat dari keramaian, mendekati gua. Dia meletakkan kembali bola basket yang sempat gua lempar ke tangan gua. "Beri satu gerakan inti yang harus kulakukan. Nanti aku akan melakukan hal yang sama."
Gua menggerutu tentang kenapa sih ni Pangeran muncul dengan begitu dekat sama wajah gua? Mana dia ganteng banget.
"Oplah!" Gua menjerit dan membisikkan peraturan pada Oplah. Setelah itu, gua berdiri di tengah lapangan dengan berhadapan dengan pangeran.
Bola dilempar ke angkasa. Gua ambil bola itu dan dribel ke arah ring lawan. Herannya lagi kok gak di cegah dan Pangeran malah cuma diem pas gua masukin bola dan cetak skor.
Gua gak seneng. Aneh banget maenan ini. Gua kaya topeng monyet yang ngapa-ngapain sendirian.
"Ngerti gak cara maennya?" tanya gua sama Pangeran.
"Ngerti. Cuma harus memasukkan bola saja, kan?"
Gua menarik napas. "Kalau gua lagi giring ni bola, elunya nahan biar bola ini gak masuk ring lu, Pang. Gak cuma diem aja kaya lagi kena cacingan."
Pangeran ber-o ria. Rasanya pengen gua penyet tuh muka cakep.
Lalu pertandingan kedua dimulai. Sekarang gua melihat pangeran yang punya kecepatan melebihi kilat memukul setiap kali bola gua bawa. Dia bahkan tahu cara mendrible dan mencetak two point secepat game dimulai.
Lalu dia tersenyum dan menyeka keringatnya. Ya Allah, kok keringetan aja bisa secakep itu, sih?
Gua tepuk muka gua. Gua harus tetap menjaga diri biar gak luluh sama Si Pangeran Bunglon. Secakep apa pun dia.
Sampai akhirnya Pangeran mendekatkan wajahnya ke gua, berbisik di telinga gua dengan kalimat, "kalau kau kalah, mari menikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Elah! Nyasar!!!
FantasyDuh, bingung banget, gua. Niat cari kopi tengah malem, eh malah nyasar. Gua ada di mana, sih?