"Saket!" jerit gua sambil nampol Oplah. Tuh manusia kerdil sampe emosi dan banting washlap karena udah dua kali gua tampol. "Sakit, Oplah! Denger, gak sih?"
"Mbak! Ibu anda ini dulu mengidam peluit, ya?"
Gua mengernyit. "Kenapa emang?"
"Suaranya berisik banget. Mana bikin telinga berdengung."
Gua tertawa. Oplah beneran nyaman banget ada sama gua, sampai dia gak lagi ragu buat ngejek. Ya gak apa, sih. Gua sendiri malas sama sikap formal orang di sekeliling gua.
"Meong." Abang muncul dengan washlap baru di mulutnya yang dia berikan pada Oplah sebelum akhirnya rebah di pangkuan gua. "Lu berantem sama sapa, Jel? Anak cewek kok hobinya gelut!"
"Eh, gua bukan anaklu, ya!" Pengen gua tampol tuh Abang. Dia mah enak, idup bisa di mana aja jadi asal dikasih makan. Lah gua. Membayangkan bakal ditampol tiap hari gara-gara musuhan sama Selir aja udah gedeg banget. "Gua pengen pulang, tapi ...."
Abang melirik. "Iya juga. Lu katanya mau pulang, kok gak jadi?"
Gua menjentikkan jari. "Tahu gak, sih Bang. Portalnya ilang, coba. Gua udah jalan malem sampe digebukin orang, tapi portalnya malah lenyap."
Semua saling pandang. Sepertinya mereka mencoba mencerna apa maksud ucapan gua.
"Dan juga ... " gua teringat sesuatu. "Gua ketemu nenek tua berbaju hitam yang bawa satu keranjang apel."
PYAR!
Tiba-tiba suara berisik terdengar saat Oplah menjatuhkan cawan dari tangannya. Membuat semua memandang wajah pucatnya dengan khawatir.
"Apa hidungnya panjang dan penuh kutil?" Pertanyaan Oplah bikin gua tercenung. Mana dia pake adegan gemeteran. Masa sih cerita beginian bisa mancing penyakit tremor? "Lalu ... " Oplah meneruskan. "Apa Apel yang dia bawa berwarna ungu?"
"Kok lu tahu, Oplah?"
Oplah gemetar. "Bagaimana bisa aku tak tahu. Dia itu Ahli Sihir Istana."
Gua terdiam. Otak gua gak nangkep sih kenapa harus panik. Kecuali kalau alasannya adalah si nenek aneh itu sejenis kolong wewe, baru gua panik.
"Terus?" tanya gua tanpa minat.
"Kau harus mulai hati-hati, Mbak. Kalau Ahlis Sihir mendekatimu, itu artinya dia mencoba melakukan sesuatu padamu."
"Terus?"
Srak!
Abang yang kesel, nyakar muka gua. Bikin gua gelagapan dan mencengkeweng leher dia dengan niatan mau gua lempar.
"Ya elu! Orang lagi serius, lu malah teras terus teras terus. Tukang parkir, lu?" jeritnya saat gua sudah bersiap mengeksekusi binatang laknat itu. "Makanya dengerin!"
"Bang, gua itu dengerin. Emang salah kalau gua nimpalin cuma pake kata terus?"
Oplah lalu menatap gua. Terlihat banget kalau dia khawatir. Sampai seseorang membuka pintu kamar gua dan masuk.
"I-itu orangnya! Dia yang gua temuin di hutan!" jerit gua sampe gedablukan gara-gara jatuh dari kursi.
Lalu tawa terdengar dari sosok nenek itu. Dia tanpa ragu duduk di ranjang gua dan memberi kode agar gua mendekat.
Serem banget, Gusti. Gua takut banget ama nenek modelan begini. Nenek-nenek tipikal yang suka kelayapan malem hari dan ngilang sambil ketawa bengis. Berasa lihat setan, lah.
"Kau mau cepat duduk, atau aku harus menyeret lehermu kemari?" Ucapan Nenek itu membuat gua meneguk liur. Gua bahkan berhayal muka gua nyungsep jadi satu ama lantai gara-gara dia sihir.
"Biar kubaca ... " Nenek yang disebut Ahli Sihir itu menggenggam tangan gua. Dia menatap bagian telapak tangan dan mengusapnya sebelum memperlihatkan senyum. "Kau ini manusia yang unik. Kau lahir di saat gugus bintang timur terlihat. Saat itu bulan bahkan masih bersinar dan cahaya mentari terlihat di cakrawala."
Gua diem aja. Mumet aslinya mencerna semua ucapan aneh itu. "Aku lahir Kamis Kliwon, Nek. Cocoknya kerja di air atau malah jadi ibu rumah tangga?"
"Kau cocok di mana saja," ucap Nenek itu dengan ceria. "Kau mau kubacakan mantra? Aku bisa mengabulkan apa pun yang kau mau."
Gua terdiam. Sampai saat ini, yang gua mau hanya kembali ke rumah. Udah muak gua di tempat ini.
"Akan kukabulkan apa pun kecuali permintaan kembali ke duniamu.
Gua mendelik. "Kok gitu?"
"Itu ketetapan istana. Raja sudah mengamanatkan padaku untuk tak membiarkanmu kembali sampai hari pernikahanku."
Bagossss!
Gua tarik napas gua dalem-dalem. Berusaha banget biar gua gak sepaneng gara-gara manusia kerajaan yang ngontrol gua ini.
"Akan kuberikan kucingku kalau kamu mau membawaku kembali," ujar gua yang segera merasakan lagi cakaran Abang di muka gua. "Kucing hitam Ini satu dan dua orang kerdil itu."
Oplah dan Omlah melirik tajam. Gua pengen banget nutup muka mereka pake seprei biar gak merinding kalau tatapan mata.
Eh si Ahli Sihir ketawa. "Buat apa? Semua yang kau tukarkan itu tak ada artinya."
"Aku tahu. Makanya lebih baik ditukar."
Terus si Abang nyakar lagi. Kalau terus dicakarin, ini treatmen istana gak bakal ngaruh walau gua dirawat setiap hari.
Gua akhirnya menarik napas, sembari membayangkan kalau gua akan berakhir seperti yang Pangeran mau. Menjadi istrinya sampai seratus tahun dan tak mungkin kembali ke dunia nyata, karena tahu umur segitu di dunia gua sama dengan encok setiap hari plus keriput tanpa obat.
Terus gua menatap ke arah luar jendela. Bagian hunian warga sudah mulai beres sore tadi. Oplah dan Omplah berkata bahwa mereka memang terbiasa membereskan pekerjaan dan mengesampingkan makan dan minum walau sudah tak lagi ditekan pihak istana. Bikin gua sedih aja dengernya.
"Andai ada hiburan agar mereka tak setertekan itu," ucap gua dengan mata lembab. Tiba-tiba gua teringat sesuatu. "Mbah?" Gua menatap Si Ahli Sihir yang seperti bingung dengan panggilan barunya. "Bisa buat bola, gak?"
__**__
Pagi hari tiba. Selir membuka mata dan merasakan hal aneh memenuhi dirinya."Apa ini? Perasaan ceria apa yang tiba-tiba sampai ke kamarku?"
Selir bangkit. Dia membuka jendelanya dan takjub dengan warna-warni tak biasa di seluruh penjuru negeri. Bahkan ada burung-burung yang ekornya diikat dengan kalimat manis seperti, "Cinta datang karena luka hati. Kalau tak mau terluka, jangan jatuh cinta."
"Apa itu? Apa yang terjadi di sini?" Selir memanggil para dayangnya. Dengan tergopoh mereka datang dan memberi hormat tanpa berani menatap majikannya itu. "Warna apa yang kalian pakai di gaun kalian? Kebodohan macam apa yang terjadi? Siapa yang menciptakan semua warna-warni memuakkan ini?"
Para dayang saling tatap. "Calon istri Pangeran yang membuatnya. Dia pagi sekali memberi perintah agar kami menyiapkan sebuah acara besar."
Selir tentu geram. Dia bahkan mulai membuat kulit wajahnya berkerut yang kalau ketemu gua, udah pasti gua ketawain.
"Bawa orang yang memerintahkan kalian kemari."
Para dayang tampak ragu. "Tapi, Selir ...."
"KENAPA MASIH PAKAI TAPI? BAWA DIA KE SINI! CEPAT!"
Gugup lah mereka. Ngeri banget pasti ngebayangi Selir bawa kapak besar yang bisa mancung leher mereka kapan pun.
"Calon istri Pangeran sudah pergi ke pusat kota sejak pagi. Dia bahkan tak bisa dicegah hanya untuk mandi atau pun berdandan."
Emosi dong tuh Selir. Dia bahkan meneriakkan nama gua yang tentu aja gak kedengeran sama gua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Elah! Nyasar!!!
FantasyDuh, bingung banget, gua. Niat cari kopi tengah malem, eh malah nyasar. Gua ada di mana, sih?