38. Mencoba Memperbaiki

22 4 0
                                    

"Ternyata benar ya, hidup itu penuh rintangan. Entah jalan mana yang kita lewati, berduri atau tanah._Diki.

Diki sudah kembali. Namun, masih ada yang kurang. Mereka belum sepenuhnya utuh. Waktu telah berjalan dengan begitu cepat, Minggu ini mereka melaksanakan ujian. Rencana awal yang Ema bayangkan, hal itu bahkan tak terjadi.

Ema ingin, saat keluar ruangan, mereka saling merangkul pundak masing-masing. Menceritakan betapa sulitnya soal-soal ujian itu. Tapi, kenyataan nya tak seperti itu.

Ema keluar seorang diri, tersenyum penuh kecewa. Ternyata apa yang dia rencanakan tak sesuai dengan rencana Tuhan. Ia pun tak bisa menuntutnya, ini sudah jalan takdirnya.

"Gue sendiri, huf. Oke gak papa Ema, lo emang terlahir untuk jadi orang yang tangguh. Kalau lo gak kuat, Tuhan gak akan ngasih semua ujian hidup ini sama lo, harusnya lo lebih bersyukur. Karena, Tuhan sayang sama lo, sampai dia mau ngasih ujian untuk lo. Biar lo tahu, artinya bersyukur," ia menyemangati dirinya. Bahwa hidup bukan sia-sia. Meskipun ia harus kehilangan keluarganya. Ia masih dikasih rumah untuk berkeluh-kesah. Seperti Arul teman yang selalu ada untuknya.

Tanpa Ema sadari, sedari tadi. Arul berdiri dibelakangnya. "Lo cuman butuh ikhlas Ma, lagi pula. Dari semua kejadian ini. Lo bisa mandiri kan? Lo bisa berdiri dikali lo sendiri, tanpa bantuan orang lain. Dan, gue salut sama hobi lo yang menghasilkan."

Ema berbalik badan menatap sosok laki-laki itu. "Arul, sejak kapan lo di sini?"

"Sejak awal lo komat-kamit kayak Mbah dukun. Omong-omong, gue udah lama gak liat perkarangan rumah lo. Gimana? Bunga-bunga yang lo tanam berkembang biak gak?"

Ema merasa bingung dengan sikap Arul yang tiba-tiba aneh.

"Masih kok, bahkan gue nanem bunga baru. Semenjak kita mutusin buat tutup angkringan sementara. Gue fokus ke media tanaman gue lagi. Bentar, tumben lo bahas soal tanaman, kenapa? Gak biasanya," curiga Ema.

"Gak papa, nanya aja. Soalnya gue punya satu tempat yang selalu gue datangin kalau lagi sedih. Gue mau ajak lo ke sana, gue yakin sih. Lo pasti suka sama tempatnya," yakin Arul.

Ema terkekeh. "Astaga Rul, lo kalau mau ngajak main. Ngomong aja kali, gak usah sok nanya tanaman segala," ujar Ema.

"Biar ada pembahasan Ma, biasa gue ke sana sama Diki." Mata Ema menatap Arul berbeda seperti biasanya. Seperti ada pertanyaan yang butuh penjelasan.

"Gak usah mikir aneh-aneh ya. Gue masih doyan cewek walaupun gue sering disakitin. Gue di sana ngeluangin waktu aja, sedangkan Diki. Meneliti banyak tanaman yang bisa dihasilkan. Parah kan otak bisnisnya," jelas Arul. Karena lelaki itu tahu ke mana arah pikiran Ema.

"Oh, ya udah. Kalau gitu. Ayo ke sana!" ajak Ema. Keduanya pun langsung berjalan.

Ditengah perjalanan menuju parkiran. Ema bertemu dengan Galen, Roby, dan Diki.

"Hai," sapa Ema.

"Hai Ma, mau pulang bareng gak?" tawar Diki.

"Gak usah Dik, gue ada urusan. Oh ya, gimana kalau kalian aja yang ikut. Seru kan," Ema sangat berharap ajakannya mendapatkan respon baik. Karena ia ingin kembali bersama, memperbaiki segalanya.

"Gue gak bisa, gue pulang duluan ya." Galen pergi begitu saja. Tanpa meninggalkan penjelasan. Ema semakin dibuat kalut oleh sikapnya, ia binggung. Tidak tahu juga di mana letak kesalahannya.

Semesta Kita Season 1 (End) Segera Terbit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang