KG 26

732 57 10
                                    

"Dasar play boy cap kadal buntung." Sewot Taruna dalam hatinya. Memalukan, tapi Taruna masa bodoh dan mulai menikmati makanan yang baru saja diantar pelayan ke meja mereka. Ia sadar diri wajahnya yang tidak secantik perempuan-perempuan di sisi Tula, seperti Queen, Karen, Dali, Cintia, Sabana, Melana dan sebagainya. Ia sampai tidak bisa menghitung. Intinya jika ada seribu gadis cantik d mata Tula, ia sama sekali tidak ada di dalam angka seribu itu.

Taruna menoleh ke arah meja sebelah yang sejak tadi berisik. Empat wanita cantik sedang curi-curi pandang ke arah meja mereka. Taruna menatap Tula yang sedang menikmati makanannya, lalu kembali menatap meja seberang, mereka sedang memperhatikan Tula sejak tadi. Begini ya ternyata jika duduk bareng cogan, selalu jadi pusat perhatian. Merasa diperhatikan olehnya, Tula mengangkat wajahnya menatap Taruna.

"Lihat wajah saya gak bakal buat kamu kenyang. Saya memang ganteng."

Taruna menahan nafasnya, lalu terkekeh dengan paksa.

"Benar-benar songong." Ujar Taruna di dalam hati. Tentu saja di dalam hati, jika ia berani mengeluarkan perkataan itu secara langsung, Tula pasti akan melempar tubuh mungilnya ke laut.

"Pak, apa saya boleh pulang dahulu?"
Tula berhenti memotong daging di atas piringnya. Dia menatap Taruna dengan wajah dinginnya. Suasana yang ramai terasa mencekam bagi Taruna. Tatapan tajam Tula benar-benar menakutinya. Tula tidak akan menceburinya sekarangkan? Taruna menyesap jus jeruknya secara perlahan, matanya tidak berani menatap wajah Tula. Wajah itu terlihat sangat menakutkan.

"Nafsu makan saya hilang." Tula melangkah pergi begitu saja menuju kasir. Taruna tersedak sisa jus di mulutnya. Sial, apa mungkin Tula marah padanya? Taruna menatap keempat perempuan itu yang sedang menatap kepergian Tula, lalu menatapnya dengan sinis. Tidak ingin membalas tatapan itu, Taruna cepat-cepat mengambil tasnya lalu melangkah mengikuti Tula keluar dari restoran. Taruna berlari kecil agar menyamai langkah kaki Tula yang panjang. Pria ini selalu saja marah-marah, Taruna merasa dongkol, kenapa mendadak ia merasa bersalah dan harus minta maaf. Padahal ia seperti tidak melakukan kesalahan. Dasar Tula saja yang sensitifan seperti perempuan.

.
.

Di dalam mobil Taruna dan Tula masih sama-sama diam. Pikiran Taruna bercabang kemana-mana. Entah kemana Tula membawa mobilnya pergi, yang pastinya ini bukan jalan menuju hotel. Taruna mematap jalanan yang mereka lewati, intinya ia bisa menikmati pemandangan-pemandangan indah dengan lautan biru sepanjang perjalanan. Mobil Tula berhenti di pantai yang begitu sepih, berbeda dengan pantai di depan hotel tempat mereka inap, tempat ini begitu sepih dikelilingi batu karang yang bisa mereka naiki. Taruna menatap jam tangannya, jam empat sore, pantas saja langit sudah berwarna kemerahan, matahari sudah di bagian barat, sebentar lagi ia bisa menyaksikan sunset.

"Jangan salah paham, saya dan Ingar memang berencana untuk datang ke tempat ini untuk melihat sunset."

"Saya gak nanya pak."

Nyatanya kalimat itu hanya di dalam hatinya.

"Iya pak terima kasih sudah ngajak saya ke sini."

Tula tidak menanggapi ia menarik tangan Taruna menuju batu karang yang lumayan tinggi di ujung sana.

"Biar anak mini kayak kamu gak hilang." Taruna sontak saja menatap punggung Tula. Jantungnya berdetak lebih cepat.

"Tidak mungkinkan,  ia jatuh hati pada Tula?!"

Menggeleng pelan, Taruna mengusir pemikiran konyolnya. Oh, ayolah, Tula itu pria kejam, dingin, play boy, dan suka mengasarinya. Mungkin karena digenggam seorang pria, makanya ia merasa gerogi dan jantungnya berdetak tidak normal.

Kelebihan Garam (LENGKAP SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang