KG. 9

713 74 5
                                    

Taruna menatap Devan yang duduk di pinggir danau. Jika ia dimanfaatkan, lebih menyakitkan Devan. Lihat saja dia memegang kotak berisi cincin lamaran pernikahan itu. Cinta pria itu tak di balas. Taruna pikir ia dan Devan sama-sama dalam suasana yang buruk. Ia terjebak dalam lingkaran pertemanan para orang kaya itu. Harusnya ia tak datang atau menerima ajakan Karen.

Taruna ikut duduk di samping Devan, ia tak ingin menganggu Devan, tapi kasihan juga, kalau Devan bunuh diri di danau ini bisa berabe.

"Cikss. Padahal gue udah tahu hati dia buat siapa. Tapi, masih gue paksa."

Taruna menoleh ke arah Devan yang terkekeh, di mata Taruna kekehan itu menyakitkan. Jika ia di posisi Devan, sekarang sudah terjun ke danau, memilih mati saja. Mencintai sebelah pihak saja itu sangat menyakitkan.

"Gue suka sama Karen udah lama. Gak peduli masa lalu dia sama Tula. Gue bahkan sampai ngomong ke Tula bakal nikahin Karen." Devan terkekeh pelan.

Lebih baik Devan menangis daripada tertawa seperti ini. Taruna membuang nafas berat. Secinta itu Devan pada Karen.

"Kata Yura Yunita, cinta tak bisa disalahkan Kak."

Devan terkekeh menatap Taruna. Menurutnya Taruna ini sangat lucu dan menggemaskan.

"Oh ya, soal kamu yang dimanfaatkan saya minta maaf ya. Tula pasti ngelakuin itu karena saya. Dia tak ingin Karen kembali mendekatinya."

Taruna mengerutkan keningnya. "Kenapa kak Devan minta maaf? Harusnya si Tulang itu yang minta maaf. Untung ya dia bos saya, kalau enggak-" cepat-cepat Taruna menutup mulutnya, ia hampir saja keceplosan. Bagaimana jika Devan ember bocor ke Tula? Bagaimanapun keduanya bestai.

"Kenapa berhenti?" Devan masih tersenyum menatap Taruna yang menggeleng pelan.

"Saya gak mau cari masalah Kak."

Devan lagi-lagi tertawa. Ia mengacak rambut Taruna gemas. Rasanya dapat hiburan baru.

"Dari pada cincin ini saya buang, buat kamu saja."

"Ini bukan lamarankan?!" Canda Taruna sambil tertawa kecil.

"Lucu banget sih." Devan mencubit pipi Taruna gemas. Taruna seperti anak kecil di matanya.

Taruna merasa pipihnya bersemu merah. Kenapa juga Devan sebaik ini. Hatinyakan bisa baperan.

"Tapi saya serius ngasih kamu."

Taruna menggeleng pelan. Ia kembali mendorong kotak cincin itu ke arah Devan.

"Saya gak mau kak. Cincin itu mahal, saya gak pantas nerima. Lagian sebaiknya simpan buat lamar ulang Karen. Kejar sampai halal Kak. Atau lamar perempuan yang pantas dapetin orang sebaik kak Devan."

Taruna lagi-lagi tersenyum. Devan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan dan tersenyum lebar.

"Bisa aja kamu." Devan lagi-lagi mengacak rambut Taruna. Rambut yang diacak-acak, hatinya juga teracak-acak. Tapi ia cukup sadar diri, paham akan posisinya.

Seandainya Tuhan berkehendak, ia ingin juga menjadi orang spesial di hati Devan. Hanya saja ia cukup sadar diri. Ia terlalu pisang bakar buat Devan yang roti tabur keju.

"Van bisa bicara sebentar."

Taruna dan Devan sontak berbalik menatap Tula yang sudah berdiri di belakang mereka. Sejak kapan dia di sini? Taruna panik, jangan sampai Tula mendengar ia hampir mengata-ngatai hal buruk tadi. Sejenak ia merasa sebal, merusak suasana saja si Tulang.

"Run, tidur gih. Ini udah larut, gak baik buat kesehatan anak mini kayak lo."

Taruna sama sekali tak marah dikatai mini oleh Devan. Senyum di bibirnya terbit, bahkan gigi gingsulnya menonjol keluar. Kalimat Devan begitu lembut di telinganya. Astaga ia benar-benar mudah baper.

Kelebihan Garam (LENGKAP SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang