KG. 8

724 63 10
                                    

Taruna menatap kosong ke arah pintu yang kembali tertutup. Tula pergi begitu saja tanpa meminta maaf atau menjelaskan sesuatu. Walaupun ini bukan ciuman pertamanya, tetap saja ini pertama kalinya ia dicium sebringas itu tanpa alasan.

Kesal? Tentu saja Taruna menahan kekesalannya. Harusnya Tula menjelaskan dan meminta maaf, ia seakan seperti perempuan murahan yang mau-mau saja disentuh.

**

Taruna mengacak-acak rambut. Kepalanya pening karena susah tidur semalaman. Tula entah kemana pria itu pergi. Ia merasa Tula sepertinya jijik setelah menciumnya. Jika tahu begitu, kenapa juga harus menarik dan menciumnya secara bringas? Lalu apakah ia yang salah?

Setelah mandi dan bersiap-siap Taruna turun ke lantai bawah. Tumben Karen tak datang menemuinya seperti kemarin-kemarin.

"Wah Taruna kusut banget wajahnya. Semalam berapa ronde sama si Tula dingin?" Nada Cintia yang mulanya tinggi merendah diakhir saat menyebut nama Tula.

Taruna tak menjawab, ia memilih berlari kecil menuju Karen yang sudah keluar dahulu. Beberapa kali memanggil nama Karen akhirnya berhenti berjalan.

"Ren, gue mau jelasin soal semalam. Gue gak tahu tiba-tiba Pak Tula nyium gue. Setelah lo sama Devan pergi, dia juga pergi. Kenapa sih sebenarnya?"

Semalaman Taruna tak bisa tidur. Ia terus memikirkan masalah ciumanya dengan Tula.

"Dengar Ta, gue kenal Tula begitu lama. Dia mungkin horni karena suara percintaan Queen dan Bari."

Kalimat menusuk dari Karen seakan menjelaskan jika Tula sama sekali tak terarik dengannya, kejadian semalam hanya kecelakaan saja. Taruna mengangguk paham.

"Gue tahu, makanya gue kesal. Harusnya dia minta maafkan?"

"Ngapain dia minta maaf sama lo? Gak usah naif Taruna. Harga dirinya tinggi tau gak. Lagian siapapun yang ada di kamar malam itu, pasti bakal diciumnya." Karen begitu nyolot saat berbicara dengannya. Dia pergi begitu saja.

Taruna jadi kesal, harusnya Karen membelanya, kenapa seakan-akan menyalahkannya? Memang Karen pikir ia perempuan apaan? Dulu juga ia pernah pacaran, tapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Saat usia 18 tahun ia juga pernah berciuman biasa, tapi semua sudah berlalu.

"Jangan lupa habiskan." Taruna mengerutkan keningnya saat Devan menyodorkan pelastik kresek berwarna putih, berisi sebotol air mineral dan dua bungkus roti cokelat.

"Makasih kak." Taruna tak ingin memikirkan apapun lagi. Kepalanya pening karena menahan amarah. Kekesalan Taruna semakin memuncak saat Tula melewatinya begitu saja seakan ia makhluk tak kasat mata.

💤💤

Kelima motor KLX berwarna hitam melaju nenuju bukit Gragas. Menyampingkan kemarahannya pada Tula, Taruna tetap saja satu motor bersama Tula. Percuma ia menunggu kalimat maaf dari Tula. Pria ini tak berperasaan.

Di kaki bukit ada perumahan warga.
Seorang pria paru baya bernama Joko keluar dari pos depan menyapa mereka. Beliau yang bertanggung jawab.

Kata pak Joko untuk saat ini motor tak bisa naik ke atas karena kemarin hujan dan jalanan lumpur. Bukan hanya motor kelimanya, ada juga beberapa mobil dan motor lainnya.

"Hati-hati ya jalanan licin."

Pak Joko memandu jalanan, di susul Bari, Queen, Bala, Dalia, Cintia, Kara, Taruna, Devan, Karen dan Tula paling belakang.

"Kalian datang tepat waktu, malam ini ada pasar malam."

Pak Joko terus saja bicara. Sampai Karen memekik hampir terjatuh jika saja tidak ditahan Tula.

Kelebihan Garam (LENGKAP SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang