4. Misi Pertama

27 8 0
                                    

Angin berembus pelan menerbangkan dedaunan kering. Suara binatang malam pun mulai terdengar syahdu di telinga. Meskipun jam masih menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi suasana sudah terlihat sangat larut karena rembulan tertutup oleh awan mendung.

Auri menatap layar ponsel dengan bimbang. Di sana, terpampang nomor Anggara yang baru saja ia ambil di grup kelas. Antara iya dan tidak untuk menghubungi nomor itu.

"Auri, kenapa di luar, Nak?" tanya Starla——ibunya——menghidangkan segelas susu hangat di depan meja Auri. Wanita itu merasa heran, sebab tak biasanya gadis itu berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Sejak kecil, Auri terkenal aktif dan ambisius. Ia tidak bisa lama-lama diam tanpa melakukan sesuatu, sehingga Starla berpikir pasti putri semata wayangnya itu sedang memiliki masalah.

"Are you okay, Dear?" tanyanya sekali lagi dibalas gelengan. Gadis itu menatap sang ibu dengan pandangan nelangsa. Auri bingung harus bagaimana, sehingga mau tak mau ia menceritakan masalahnya pada wanita yang berjasa melahirkannya. Mulai dari sikap Anggara sehari-hari, pertemuan tidak mengenakkan mereka, juga tentang permintaan Miss Cindai kepadanya. Perkara bisikan liptint tidak ia ceritakan, karena menurutnya hal itu tidak penting.

"Pelan-pelan, Nak. Mommy yakin kamu pasti bisa. Kasihan juga orang-orang di sekitar Anggara kalau dia bersikap seperti itu. Meskipun kehadirannya tidak mengusik, tetapi sikapnya yang cenderung apatis bisa membuat orang di sekitarnya tidak nyaman."

"Masalahnya, Mom, bisa bicara sama Anggara itu hal yang sesuatu banget, gimana caranya Auri ngajarin dia belajar?" Auri benar-benar frustasi saat ini. Lebih baik ia mengerjakan seratus soal sains daripada memikirkan masalah Anggara yang tidak ada jalan keluarnya.

"Mulai dari hal-hal kecil aja, Sayang."

"Maksudnya?"

"Biasakan dia terbiasa sama kehadiran kamu."

♛♛♛

Waktu terus berjalan, mengiringi langkah orang-orang yang menganggap bahwa 'waktu adalah emas', serta meninggalkan orang-orang yang menganggap bahwa 'masih ada hari esok'. Padahal, peribahasa itu seharusnya berlaku untuk orang-orang yang sudah berusaha lalu gagal di hari kemarin, dan ingin berusaha lagi di hari selanjutnya. Bukan untuk orang-orang yang bersantai di hari ini dan menunda sesuatu untuk dikerjakan di hari esok.

Seperti yang dilakukan oleh Auri. Pagi ini, ia kembali bersemangat untuk 'menempel' dengan Anggara, setelah semalam pesannya hanya dibaca dan tidak dibalas. Auri merasa ternistakan. Selama ini tidak ada yang bisa menolak pesona seorang Auristella Danuarta, gadis yang dikenal cantik, pintar, menyenangkan dan penuh ambisi.

Banyak laki-laki yang ingin dekat dengannya, tetapi Anggara yang ia dekati malah bersikap acuh. Harga diri Auri terasa dibanting sekuat-kuatnya dari ketinggian dan hancur tak bersisa.

Tidak apa-apa. Gagal di hari kemarin belum tentu gagal juga di hari ini. Prinsip hidupnya, hari esok harus lebih baik daripada hari kemarin. Seperti kata ibunya, biarkan segalanya mengalir seperti air.

Seperti yang sudah ia rencanakan, gadis yang pagi ini menguncir kuda rambutnya itu tersenyum melihat halte bus. Sudah ada Anggara di sana. Ia korbankan waktu sepuluh menitnya untuk mengagumi dirinya sendiri di depan cermin, agar dapat berinteraksi dengan Anggara di sana.

"Selamat pagi, Anggara," sapa Auri menyunggingkan senyum manis. Namun, senyumannya luntur ketika Angga hanya melirik sebentar ke arahnya lalu kembali fokus pada layar ponsel. Bahkan, sapaannya tidak dijawab.

"Ck, kok diem aja, sih? Bales kek, minimal senyum gitu. Jarang-jarang loh aku nyapa cowok." Kecuekan Anggara sungguh mendongkolkannya. Cowok itu seolah tidak mendengar apa pun yang Auri katakan. Ternyata benar, semua hal harus ia biarkan mengalir seperti air. Buktinya kemarin laki-laki itu mau berbicara dengannya murni karena keadaan, bukan dibuat-buat.

Haruskah ia keluar tanduk dan berdarah-darah dulu sehingga Anggara mau berbicara dengannya? Sungguh, Anggara adalah satu-satunya orang yang keras pendiriannya. Laki-laki itu tampak menutup akses orang lain atas dirinya.

"Sains ada tugas kelompok. Kelompokku kurang satu orang. Kamu mau ya satu kelompok sama aku?"

"Terserah." Auri menjerit tertahan. Akhirnya setelah sekian purnama mengajaknya berbicara, laki-laki itu mau menjawab ucapannya meskipun singkat. Suatu kemajuan yang bagus.

Tidak ingin dicap sebagai gadis cerewet, akhirnya Auri memilih duduk diam di samping Anggara. Mati-matian ia menahan rasa bosannya. Sesekali matanya menatap kendaraan yang berlalu lalang. Meskipun mulutnya diam, tetapi tidak dengan kakinya. Gadis itu bergerak layaknya orang gelisah. Hal itu tidak luput dari pandangan Anggara, hingga cowok itu tersenyum sangat tipis.

Auri menyerah. Gadis itu benar-benar bosan sehingga tanpa sadar, bibirnya bergumam tipis menyanyikan beberapa bait lagu yang diketahuinya. Anggara sudah menduganya. Auri tidak akan bertahan lama diam tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Merasa kasihan, Anggara mengeluarkan permen coklat dari saku jas almamater dan menyodorkannya di depan Auri. Gadis itu terkejut, antara percaya atau tidak. Ini seperti mimpi. Anggara memberinya permen?!

Auri menatap wajah Anggara yang tampan. Bak gayung bersambut, cowok itu pun menatapnya dengan tatapan hangat. Pandangannya teduh saat manik mata keduanya bertemu. Auri merasa dunia berhenti berputar di sekelilingnya. Mereka hanyut menyelami pandangan masing-masing dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Auri, ia melihat Anggara tersenyum. Sangat menawan, membuat jantungnya berdetak dengan tempo cepat.

Apa-apaan ini?!

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang