22. Drop

16 5 0
                                    

Decitan dari gesekan roda brankar dan lantai yang didorong oleh tenaga medis, nyaring terdengar di lorong rumah sakit magrib itu. Orang-orang yang berada di sana menyingkir, mempersilakan pasien yang butuh penanganan dokter untuk lewat. Raut panik para suster yang mendorong brankar ikut menambah suasana tegang.

Fara yang tadi menemukan Anggara tak sadarkan diri, langsung menghubungi ambulans, tidak lupa ia mengabari Farhan dan Zac——mantan suaminya yang menjadi wali Anggara saat ini. Wanita itu terisak, berlari kecil mengikuti brankar yang membawa Anggara ke IGD. Tangan dan kakinya bergetar, mengingat terakhir menyentuh tubuh sang keponakan yang sedingin es.

Tepat di depan pintu IGD, tenaga medis melarang Fara ikut masuk agar pasien dapat segera ditangani oleh dokter. Wanita itu hanya bisa melihat Anggara dari kaca yang ada di pintu. Rasa penyesalan di hati Fara bercampur ketika melihat rapuhnya Anggara saat ini. Ia gagal membalas jasa mendiang kakaknya yang dulu saat kecil telah merawatnya dengan sangat baik.

"Maafin aku, Ko." Fara mengusap kasar air matanya saat melihat Farhan berlari kecil ke arahnya. Putra semata wayangnya itu langsung memberikan pelukan singkat di tubuhnya.

"Anggara, Han." Ia ingin menceritakan semua yang terjadi kepada Farhan, tetapi lidahnya kelu. Mulutnya tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Farhan yang paham pun menganggukkan kepala dan mengusap punggung sang ibu, menenangkan.

Tidak lama kemudian, Zac datang dengan wajah khawatir. Laki-laki itu mengepalkan kuat jari-jarinya. Ia menyesali keputusannya untuk membiarkan Anggara tinggal sendiri di rumah. Seharusnya, ia selalu ada di sisi Anggara karena dialah wali Anggara setelah ibunya direhabilitasi.

Dengan semangatnya, dulu ia mengiyakan permintaan Anggara. Dulu menurutnya Anggara memang harus belajar hidup mandiri mengurus keperluannya sendiri. Awalnya, Zac sering mengunjungi Anggara, memastikan anak itu hidup dengan baik bersama pengasuhnya. Lama kelamaan, Zac mulai lepas tangan kepada Anggara. Bahkan biaya pendidikan, Zac tidak mengeluarkan sepeser pun karena dulu semasa hidupnya, Rafi telah membuat asuransi pendidikan untuk anak-anaknya kelak. Hanya biaya makan, itu pun ia serahkan semuanya kepada Fara.

"Bagaimana kondisi Anggara?" Fara dan Farhan menatap sekilas, lalu kembali menundukkan pandangannya dan menggeleng. Laki-laki itu menghela napas, melihat di dalam sana dokter tengah memasang cairan infus dan selang oksigen di mulut Anggara.

Keluarga kecil yang kurang harmonis itu hanyut dalam keterdiaman masing-masing. Tidak ada satu pun yang membuka obrolan, merasa tidak sedekat itu untuk akrab. Meskipun tidak dapat dipungkiri dalam tubuh mereka mengalir DNA dan darah yang sama. Orang-orang yang memiliki ikatan batin kuat, saling terdiam seolah asing, sebelum akhirnya dokter keluar ruangan.

Mereka buru-buru menghampiri sang dokter, memastikan kondisi terkini keadaan Anggara. Dokter itu menghela napas, merasa putus asa. "Kondisi pasien semakin memburuk. Hal ini dikarenakan Anggara yang terlalu apatis terhadap tubuhnya. Sudah sejak lama ia berhenti mengonsumsi obat, hal itu membuat virus itu menyerang perlahan, sehingga sakitnya tidak terlalu terasa olehnya. Namun, akhir-akhir ini Anggara kembali mengonsumsi obatnya. Hal ini memicu virus yang sudah menyebar menggerogoti kekebalan tubuhnya semakin menggila."

"Harapan hidup Anggara, sudah sangat kecil."

♛♛♛

Auri datang ke sekolah pagi-pagi buta sebelum gerbang sekolah dibuka. Alhasil, gadis itu harus berteriak di depan gerbang agar satpam yang jaga malam segera bangun dan membukakan gerbang untuknya. Gadis itu berniat menunggu Anggara di sekolah, meminta penjelasan kenapa laki-laki itu tidak datang.

Gara-gara Anggara, pagi ini matanya bengkak karena menangis dan Auri akan membalas rasa kecewanya. Dengan napas memburu karena amarah, gadis itu mengelilingi sekolah, mencoba mencari keberadaan Anggara yang memang selalu datang paling awal.

Semua bangunan di sana sudah Auri telusuri, tetapi tak juga menemukan sang kekasih. Akhirnya, Auri memutuskan untuk kembali ke kelas, karena bel masuk akan segera berbunyi. Sesampainya di kelas, gadis itu terpaku pada bangku yang biasa diduduki oleh Anggara. Kosong, laki-laki itu belum berada di sana, mendengarkan musik menggunakan earphone seperti yang sering ia lihat.

"Selamat pagi, Auri!" Suara sapaan Melody terdengar nyaring di telinganya. Auri menghela napas berat. Jarak antara mereka berdua tidak sampai dua meter, tetapi sahabatnya itu menyapa seolah ia berada jauh beratus meter darinya.

"Pagi," jawabnya lirih.

"Ih, kok lemes, sih. Belum disemangatin ayang, ya."

Boro-boro disemangatin, ayangnya aja nggak tau di mana, batinnya sambil menatap Melody datar. Auri mendudukkan tubuhnya di bangku, meletakkan kepala di atas meja dengan tas menjadi bantalannya.

"Udah, sih. Cuma nonton doang, kan?" Melody mengusap halus punggung Auri. Semalam, gadis itu meneleponnya sambil menangis, menceritakan tentang Anggara yang tidak datang ke bioskop malam tadi. Melody merasa kasihan dengan Auri, bukan karena Anggara tidak datang, tetapi karena membayangkan Auri seperti orang hilang di tengah keramaian.

Meskipun bercerita dengan suara yang tidak jelas karena terisak, tetapi Melody tetap mendengarkan sebagai sahabat yang baik. Beberapa kali pula gadis itu menyeka ingusnya menggunakan tisu dengan suara nyaring, padahal posisi saat itu ia sedang makan. Jadilah Melody tidak meneruskan makannya, memilih mendengar curhatan Auri.

"Bukan soal nontonnya, Mel. Tapi dia udah janji dan nyuruh aku langsung nunggu di bioskop. Kalau seandainya dia nggak bisa, setidaknya dia kasih kabar, bukannya malah ngilang nggak jelas gini." Melody paham. Ia juga tidak bisa membenarkan sikap Anggara yang seenaknya.

"Loh, si Anggara nggak sekolah?" tanya Melody melirik bangku Anggara yang kosong.

"Farhan juga nggak masuk. Jangan-jangan terjadi apa-apa."

"Nggak peduli, ah!" Bohong. Sebenarnya hal itu juga telah bercokol di pikirannya. Ia takut Anggara tidak baik-baik saja, mengingat terakhir mereka bertemu, wajah Anggara terlihat semakin pucat.

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang