Auri menatap wajah tampan Anggara dari jarak dekat. Saat ini keduanya berada di teras rumah, dengan Anggara yang tengah sibuk mengedit video. Sedangkan Auri, sibuk dengan pikirannya sendiri sambil memperhatikan Anggara yang sibuk dengan perkerjaannya.
"Kalau nggak ada kerjaan, mending pulang aja," ucapnya membuat Auri tergagap. Gadis itu kembali menegakkan punggungnya sambil menghela napas kasar.
"Kamu ngusir?" tanyanya memasang wajah garang, tetapi sang empu hanya membalas dengan gumaman. Sebenarnya ia juga merasa tidak enak, karena hampir semua praktikum dilakukan oleh Anggara.
Bosan menunggu, Auri memutuskan untuk melihat-lihat halaman rumah itu. Ada beberapa bunga yang mulai layu karena tidak disiram. Untuk itu, Auri memutuskan untuk menyiram semua tanaman di sana, sembari mencabut rumput-rumput liar.
Hal itu tak luput dari pandangan Anggara. Senyumnya terulas tipis, melihat Auri mengajak ikan-ikan di kolam berbicara menjelek-jelekkannya. "Ikan-ikan, kenapa mau jadi peliharaannya Anggara, sih. Dia 'kan cuek, galak, dingin. Pasti kalian tersiksa banget," katanya.
Anggara memejamkan mata tatkala rasa yang familiar kembali menggerogoti dirinya. Tubuhnya bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan tubuhnya di sela-sela kursi, agar Auri tidak melihat keadaannya yang seperti ini.
Perlahan, kesadaran Anggara mulai menipis. Pandangannya mulai menggelap, tepat saat Auri meneriakkan namanya. Dia pingsan.
♛♛♛
Kelopak mata itu terbuka perlahan, menampakkan iris mata berwarna cokelat tua yang masih menyesuaikan cahaya matahari di retinanya. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Ia berada di kamarnya.
Terakhir yang diingat, ia pingsan di teras rumah, saat mencoba bersembunyi dari Auri. Lalu, siapa yang membawanya ke kamar? Anggara menyapu pandang ke seluruh ruangan. Tidak ada Auri di sana. Mungkin gadis itu sudah pulang, pikirnya.
Dengan sekuat tenaga, Anggara mencoba duduk bersandar di kepala ranjang. Tepat saat itu, pintu kamar terbuka menampakkan wajah cantik Auri yang tersenyum menatapnya dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air putih.
"Selamat sore, Anggara," sapanya sambil meletakkan nampan di atas nakas. Gadis itu duduk di pinggir ranjang, lalu mengambil mangkuk itu.
"Mari makan. Pasti kamu pingsan karena belum makan, 'kan?" ucapnya menyodorkan sesendok bubur ke depan mulutnya. Anggara yang memang sudah lemas, langsung melahap bubur hangat itu.
"Enak, 'kan? Jelas, dong. Masakan buatan Auri tidak pernah gagal." Anggara tersenyum tipis dan mengangguk. Auri menyimpulkan, cowok itu mengangguk karena tidak ingin berdebat dengannya. Padahal, rasa bubur itu memang enak. Bubur terenak yang pernah Anggara makan.
"Enak banget, ya?" tanyanya saat melihat sisa bubur di mangkuk tinggal satu sendok. Anggara mengangguk membuat Auri ingin mencicipinya. Saat sendok hampir sampai di depan mulutnya, Anggara menarik tangan Auri, memakan semua sisa bubur.
"Ih, Angga! Aku juga pengen coba," rengeknya menatap prihatin mangkuk bubur yang telah kosong.
"Kamu masak buat aku, 'kan? Berarti itu bubur punya aku," jawab Anggara tersenyum kecil, lalu mengacak gemas rambut Auri yang tergerai.
Auri terdiam kaku. Jantungnya beredebar, sebuah rasa aneh menyusup di hatinya. Anggara terlihat lebih hangat dari biasanya, dan Auri menyukainya.
"Anggara, kamu tinggal sendirian di rumah emang orang tua kamu mana?"
♛♛♛
Auri melangkah gontai di trotoar. Gadis itu sedang malas untuk pulang ke rumah. Jadilah ia berjalan menuju ke halte selanjutnya. Ia memutuskan untuk pulang karena setelah pertanyaannya tadi tidak dijawab oleh Anggara. Laki-laki itu mendiamkannya, sehingga Auri merasa tidak enak. Jadilah ia pulang setelah membuatkan makan malam.
Apakah pertanyaannya salah? Auri hanya ingin tahu mengapa Anggara tinggal sendirian di rumah besar itu, sedangkan ia masih memiliki tante jika kedua orang tuanya sudah tiada.
Auri merasa Anggara kesepian, tetapi cowok itu enggan berbaur dengan orang lain di sekitarnya. Padahal, teman-teman lainnya yang juga kesepian sering melampiaskannya dengan teman sepantaran, menjadi badboy.
Auri menduga jika sebenarnya banyak yang mendekati Anggara untuk menjadi temannya. Namun, sikapnya yang terlalu cuek membuat orang lain enggan. Memangnya siapa yang ingin berteman dengan orang apatis?
Karena sedari tadi melamun, tidak terasa kini Auri telah berada di halte selanjutnya. Gadis itu memilih menaiki bus dari sana karena rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Beberapa orang yang masih berlalulalang berlarian menepi ke halte menghindari air hujan.
Semakin lama, hujan turun semakin deras dengan suara petir yang menggelegar di langit. Auri kembali teringat dengan Anggara yang berada sendirian di dalam rumah.
Terakhir yang ia lihat, wajah cowok itu semakin pucat dan tubuh yang menggigil. Baik-baik kah laki-laki itu di rumahnya? Bagaimana jika Angga ingin minum air hangat, sedangkan tadi ia hanya menyiapkan satu teko air putih dingin di atas nakas.
Tapi Auri yakin, Anggara adalah orang yang kuat. Buktinya laki-laki itu bisa hidup sendiri selama ini. Mungkin, ia hanya butuh teman. Teman yang selalu ada di sisinya dalam situasi apa pun.
Tekadnya sudah bulat. Auri ingin membantu Anggara mendapatkan teman, minimal membantunya merubah sikap agar lebih hangat seperti tadi saat bersamanya. Anggara yang hangat membuat jantungnya berdebar. Kalaupun tidak ada yang ingin berteman dengan laki-laki itu, ia mau saja menjadi temannya.
"Masa iya aku suka sama Anggara? Ah, enggak. Mungkin cuma rasa simpati aja. Tipeku 'kan cowok humoris, bukan dingin," ujarnya mantap. Pikirannya memang seperti itu, tetapi hatinya tidak sejalan dengan apa yang ia pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Auristella's Wish [ TAMAT]
Fiksi Remaja🥉Juara 3 Event Menulis Novellet 30 Hari with Bougenvillea publisher cabang Bekasi Auristella Danuarta, memiliki seratus keinginan yang ia tuangkan dalam 'whistlist' dan ia tempel di dinding-dinding kamar. Gadis penuh ambisi itu selalu memiliki sera...