1. Halte Bus

49 6 0
                                    

Mentari hampir meninggalkan peraduannya digantikan oleh rembulan. Sinarnya yang kuning keemasan menyilaukan mata gadis berambut sepunggung, hingga ia menyipitkan mata. Terkadang, buku lebar yang berada di tangannya ia gunakan untuk menghalangi sinar senja itu.

Auristella Danuarta——nama yang tertera di name tag seragamnya——menggerakkan kecil kakinya tak tentu arah, sesekali matanya melirik ke arah jalan raya untuk memastikan sesuatu. Ia gelisah. Seharusnya bus terakhir hari ini datang lima belas menit yang lalu. Namun, hingga saat ini angkutan umum itu tak kunjung menampakkan diri.

Auri mendesah pelan. Ia menyesal mengikuti pelajaran tambahan hari ini. Selain karena pulangnya kesorean, pelajaran tambahan yang ia ambil adalah hal pelajaran yang tidak ia sukai.

"Auri, bimbingan konseling itu bagus buat mental anak-anak muda seperti kamu," ucapan ibunya brulang kali ketika Kamis sore Auri pulang cepat. Biarlah ia memaksakan diri mengikuti bimbingan konseling daripada mendengar ocehan sang ibu yang tak selesai satu atau dua menit.

Sebenarnya, bimbingan konseling tidak seburuk itu bagi Auri. Guru pembimbingnya kreatif dalam menyampaikan pelajaran. Materi yang disampaikannya pun tidak membosankan. Hanya saja, Auri merasa bimbingan konseling tidak perlu untuknya. Toh, selama ini ia bahagia menjalani kehidupannya sehari-hari yang penuh ambisi.

Dampak mengikuti tambahan pelajaran pun berimbas pada tertinggalnya ia dari dua bus terakhir. Ia berharap, semoga bus terakhir hari ini segera sampai.

"Bus-nya pasti datang," ucap seseorang yang baru saja datang dan duduk santai di sebelahnya. Anggara, laki-laki itu tampak duduk santai sambil mendengarkan musik menggunakan earphone.  Auri heran, mengapa laki-laki itu terlihat santai padahal bus terakhir belum juga terlihat. Apakah ia tidak takut jika tak bisa pulang?

"Yakin banget? Udah lima belas menit tapi bus belum datang juga." Auri menunggu jawaban Anggara, siapa tahu laki-laki itu memiliki inspirasi atau setidaknya kata-kata yang menenangkan kegundahannya, seperti 'palingan macet di jalan' atau 'molor kayak gini udah biasa, ditunggu aja'. Namun, laki-laki itu hanya mengangkat bahunya acuh dan dengan santainya berucap, "Nggak dateng pulang jalan kaki atau nginep di sekolahan."

Auri tidak terlalu terkejut, karena sejak dulu Anggara memang dingin dan cuek. Laki-laki itu tampak santai dalam menghadapi sesuatu, terlihat tanpa beban.

"Kamu ikut bimbingan konseling juga?" tanya Auri setelah keduanya dilanda hening selama tiga menit.

"Hm."

"Kenapa? Padhaal gue lihat lo fine aja. Cuma lo terlalu judes. Kalau gue, karena paksaan dari orang tua buat ikutan bimbingan konseling, sih. "

"Oh." Auri hampir menyemburkan minuman yang berada di mulutnya. Anggara terlihat sangat tidak peduli dan tidak mau tahu alasan Auri mengikuti bimbingan konseling. menyebalkan. Andai memukul kepala orang tidak dipidanakan, Auri ingin sekali memukul Anggara menggunakan tongkat kasti.

Auri memasang wajah jutek. Bibirnya yang tipis ia majukan beberapa senti dengan mencebik kasar. Mungkin, akan lebih baik jika Auri tidak menjawab ucapan Anggara tadi. Sangat tidak ramah untuk tekanan darah.

Tak terasa, bus seharusnya telah datang dua puluh menit yang lalu. Mata Auri bahkan mulai berkaca-kaca memikirkan bagaimana caranya ia akan pulang, sementara langit sudah mulai menggelap.

"Angga, gimana kalau nanti bus-nya nggak datang? Kita pulangnya gimana?" tanya Auri yang kini tengah menatap Anggara gelisah. Sedangkan yang ditatap hanya menghela berat napasnya. Ia terlalu malas untuk menyuarakan suaranya. Namun, gadis di sampingnya itu sangat cerewet jika tidak dijawab.

"Tunggu sepuluh menit, bus itu akan datang."

"Kalau nggak datang?"

Anggara menggeram tertahan. Auri bagai dikasih hati minta jantung. Apa susahnya jika gadis itu diam setelah pertanyaannya di jawab. Dua tahun berada di ruangan kelas yang sama, baru kali ini Anggara berinteraksi dengan Auri, dan itu sangat menyebalkan.

"Tidur di sekolah!" Bentakan kecil Anggara sukses membuat Auri terdiam. Harusnya sejak tadi saja gadis itu dibentak, pikirnya.

Auri memasang wajah manyun, tetapi hatinya bersorak gembira. Kapan lagi bisa berada sedekat ini dengan laki-laki yang susah di dekati itu. Meskipun cuek dan galak, Anggara terlihat menarik. Wajahnya tampan, apalagi saat dilihat dari samping. Garis rahangnya yang tegas menjadi poin plus bagi Anggara.

Melihat Anggara, Auri teringat dengan wishlist-nya nomor 10, 'memiliki pasangan'. Konyol memang, ia membuat wishlist itu dalam keadaan tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Gadis itu menggeleng. Tidak mungkin juga ia berharap kepada Anggara yang cueknya di atas rata-rata.

Auri bosan. Ia yang biasanya cerewet mendadak diam karena hanya ada Anggara di sana. Bukan takut tidak direspon, tetapi takut dibentak lagi. Gadis itu tidak mau kesan pertamanya dekat dengan Anggara terkesan agresif. Kata melody——sahabatnya—— "Perempuan itu harus keep calm di depan laki-laki, tidak boleh bar-bar!"

Matahari mulai menenggelamkan diri. Auri melirik jam ditangannya. Waktu hampir menunjukkan pukul 6. Bagaimana jika bus itu tidak datang? Di tengah kegelisahannya, Auri bagai tertimpa air hujan di tandusnya gurun pasir. Bus itu datang, tepat sepuluh menit seperti ucapan Anggara tadi.

Auri berdiri dengan riang sambil melompat kecil. Bahkan, tak sadar ia bergumam tak jelas. Hal itu tidak luput dari pandangan Anggara yang menatapnya aneh. Seperti tidak pernah menaiki bus saja, pikirnya.

Ucapan Anggara sebelum ia masuk ke dalam bus membuat Auri terdiam. Meskipun lirih, tetapi telinganya berfungsi dengan baik.

"Nggak semua orang yang terlihat sedang baik itu baik-baik saja," ucapnya seolah menjawab pertanyaannya tentang alasan ia mengikuti bimbingan konseling.

Apa Anggara sakit jiwa? batin Auri.

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang