Epilog

49 5 2
                                    

Embusan angin meniup dedaunan di ranting-ranting pohon. Beberapa tetes air dari daun-daun di pohon terlihat menetes di atas tanah yang basah, pertanda wilayah itu baru saja terguyur hujan. Beberapa bunga kamboja yang telah kuyu pun terjatuh di atas tanah dan makam.

Tanah yang becek tak menyurutkan niat seorang gadis berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya itu untuk tetap menginjakkan kaki di sana. Dengan penuh hati-hati, ia berjalan mendekati salah satu makam yang selalu mendapat bunga baru setiap harinya.

Gadis itu berjongkok, mengusap nisan dengan tulisan 'Anggara Raffasya' di sana. Gadis itu diam, tersenyum menikmati rasa rindunya. Air mata tiba-tiba lolos saat kisah singkat mereka selalu hinggap dalam memorinya.

Lima tahun sudah Auri lewati dengan suasana berbeda dari sebelumnya. Auri yang dulunya ceria, aktif dan ambisius berubah menjadi gadis pendiam, pasif dan kehilangan gairah hidupnya. Banyak hal dilakukan oleh orang tuanya agar gadis itu kembali seperti dulu, tetapi semua sia-sia. Hanya satu hal yang sungguh-sungguh gadis itu lakukan, yakni menjadi dokter.

Profesi yang mengingatkannya kepada Anggara, si penderita AIDS yang ingin bahagia di ujung waktunya. Ia tidak ingin ada Anggara-Anggara lain yang bernasib sama seperti sang kekasih. Hidup dalam kesakitan, tanpa support sistem yang menjadi penopang ketika lelah dan ingin menyerah.

"Hari ini aku datang lagi, Ngga. Lima tahun aku hidup dalam kenangan singkat kamu, tidak ada satu hari pun aku lewati tanpa merindukan kamu. Tak bisa kah kamu datang sekali aja, Ngga? Walaupun cuma mimpi, aku pasti bahagia."

Auri mati-matian menahan isakan tangisnya. Ia tidak boleh menjatuhkan air matanya di atas pusara Anggara. Gadis itu ingin menunjukkan bahwa selama ini ia bahagia, seperti keinginan laki-laki itu.

"Sekarang aku udah jadi dokter, Ngga. Andai aja kamu masih hidup, pasti kamu akan menjadi pasien favorit aku. Selain itu, kita bisa bareng-bareng bikin wishlist dan wujudin lagi." Auri mengulum bibir, sambil mengusap matanya menggunakan punggung tangan.

"Kamu tahu? Mommy kamu sekarang udah sembuh dari depresinya, meskipun AIDS-nya juga belum bisa sembuh. Setiap hari, Mommy kamu selalu minta aku ceritain tentang kamu, tapi aku bingung karena kamu cuma sekejap mampir di hidup aku."

Auri menutup wajah menggunakan kedua tangannya. Bahunya bergetar hebat dan isakan bibirnya semakin terdengar pilu, ketika seseorang memeluknya dari samping.

"Ikhlasin, ya. Biarkan dia tenang di sana," ucapnya membawa Auri ke dalam pelukannya. Laki-laki itu mengusap lembut punggung Auri untuk menenangkannya.

"Aku kangen sama Anggara, Farhan. Aku cuma bisa natap foto-foto kita yang nggak seberapa. Andai waktu bisa diulang, aku akan Mengabadikan setiap detik kebersamaan kami."

Dan Andai waktu bisa diulang, aku nggak akan bujuk Anggara untuk mendekati kamu, Auri, batin Farhan menyesali keputusannya dulu mendesak Anggara untuk mengungkapkan perasaannya.

"Aku ikhlasin kamu pergi, Ngga. Tenang-tenang di sana, ya. Tunggu aku, suatu saat nanti kita pasti bertemu, dan bahagia seperti yang kamu inginkan."

Pada akhirnya, Tuhan mengizinkan keduanya pernah mengecap manisnya kebahagiaan, meskipun sekejap. Auri juga selalu menikmati kenangan tiap detik yang ia lalui bersama Anggara dulu.

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang