26. Menjenguk Anggara

12 7 0
                                    

Auri menatap nanar pemuda yang terbujur tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Napas gadis itu tercekat, seolah ada batu besar yang menghimpit dadanya. Air mata perlahan turun membasahi pipi. Dengan tangan genetar, Auri meletakkan telapak tangannya di kaca besar ruang IGD. Seolah memiliki perasaan batin, mata Anggara juga terbuka dan memusatkan atensi tepat di jendela kaca itu.

Pemuda itu tersenyum, meskipun masker oksigen menutupi mulutnya, Auri dapat melihat dengan jelas senyum manis kekasihnya. Tangis Auri tumpah disertai isakan hebat, ketika Anggara kembali menutup matanya. Saat itu juga, dokter masuk untuk memeriksa kondisi Anggara.

Farhan yang tidak tega, membawa Auri ke dalam dekapannya dan menjauh dari sana. Diusapnya lembut punggung gadis itu hingga merasa tenang.

"Anggara sakit apa, Han?" tanyanya saat tangisnya berhenti, hanya isakan kecil yang sesekali lolos di bibirnya.

"HIV/AIDS." Auri terpaku. Gadis itu terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Kini, ia tahu mengapa Anggara tidak pernah mau mencium bibirnya.

"Aku kira Anggara laki-laki baik-baik, ternyata——"

"Anggara terkena virus HIV sejak dia bayi," jelasnya memotong, "Aunty Anita menggunakan obat penenang dengan media jarum suntik yang digunakan bersama dengan teman perempuannya yang menderita penyakit AIDS. Saat itu, Aunty Anita sedang menyusui Anggara. Jadi jangan pernah mengira kalau Anggara terjebak pergaulan bebas, dia pemuda yang bersih."

Auri mengembuskan berat napasnya. Gadis itu menatap sendu ruangan Anggara dari kejauhan. Rasa bersalahnya muncul begitu saja mengingat kemarin sempat membenci Anggara. Kini, ia tahu mengapa Anggara selalu terkena flu, tidak pernah mau membagi makanan dengannya, dan selalu menggunakan masker jika berdekatan dengannya. Anggara sangat menjaga Auri.

"Kenapa Anggara nggak pernah cerita sama aku tentang penyakitnya?" tanyanya membuat Farhan terkekeh. Dahi Auri mengernyit melihat Farhan yang tertawa sumbang, seolah menertawakan sesuatu yang lucu.

"Barusan aku kasih tau aja, kamu udah mikir kalau Anggara bukan laki-laki baik 'kan?" Auri terdiam. Ia membenci sikapnya yang tidak bisa mempercayai kekasihnya sendiri. Ia tidak tahu mengapa stigma negatif selalu muncul di kepalanya ketika memikirkan Anggara. Auri terlalu takut jika pemuda itu mempermainkannya.

"Dia cuma nggak mau bikin kamu khawatir."

"Bukankah seperti ini sudah sangat membuatku khawatir? Aku kayak orang bodoh yang nggak tahu apa-apa. Emangnya aku sesepele itu buat dia, ya?"

"Dia sayang sama kamu, sangat. Asal kamu tahu, saat aku tanya sama dia, apa keinginan terbesarnya, dia menjawab 'aku ingin membuat Auri bahagia di sisa umurku'." Auri terpaku. Apa maksud Anggara mengatakan sisa umur? Bukankah laki-laki itu akan sembuh? Anggara sudah berjanji akan mewujudkan wishlist mereka dan salah satunya adalah menikah. Apakah Anggara tidak ingin menikah dengannya?

"Buat dia bahagia, Auri. Kemungkinan hidup Anggara sangat kecil," ucapnya membuat air mata Auri kembali menetes.

♛♛♛

Auri memeluk erat tubuh kurus Anggara yang terbaring lemah di ranjang. Pemuda yang baru saja dipindah ke ruang rawat inap itu tersenyum, membelai rambut Auri yang menangis di dadanya. Lima menit lebih gadis itu berada di posisi itu, tetapi ia tidak kunjung bangun dari tempatnya.

"Udah jangan nangis, aku nggak papa, kok. Nanti juga sembuh. Maaf, ya kemarin malam nggak datang. Aku diapeli sama Dokter Irwan soalnya. Pasti kamu kecewa dan marah banget sama aku, ya?" Auri menggeleng berbohong. Padahal, gadis itu sempat menggigit foto Anggara saking gemasnya hingga melumat terkena air liur. Nomor ponsel pemuda itu pun ia blokir.

"Kamu baru potong rambut?" tanyanya membuat Auri mengangguk. "Cantik, aku suka. Coba sini lihat." Anggara mencoba mengangkat kepala Anggara dari dadanya yang berdebar sedari tadi. Anggara yakin, Auri dapat mendengarnya.

"Kok jelek, sih mukanya. Matanya bengkak, ingusnya di mana-mana," ucap Anggara tertawa membuat Auri mengerucutkan bibir. Namun, gadis itu tidak menghiraukan. Daripada berdebat, ia memilih memeluk tubuh Anggara kembali, menikmati detak jantung Anggara yang berdebar sama sepertinya.

"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu sakit?" tanya Auri masih ada di posisi yang sama. Anggara mengedarkan pandangan, bingung hendak menjawab apa. Atensinya terhenti pada sosok sepupunya yang berdiri tersenyum di ambang pintu, dengan kamera di tangannya. Anggara yang menyuruh Farhan untuk mengabadikan setiap momen kebersamaan mereka hari ini.

"Kan sekarang kamu udah tau," jawabnya membuat Auri mencebik. Gadis itu menghela napas mencoba agar isakan kecilnya berhenti. Ia tidak ingin menangis. Bagaimana bisa ia membahagiakan Anggara jika ia menangis? Melihat ingusnya yang menempel di baju Anggara saja sudah membuat pemuda itu menatapnya datar.

"Beda. Soalnya aku tau dari Farhan, bukan dari kamu." Anggara tidak menjawab. Laki-laki itu memejamkan mata, meresapi debar kebahagiaan yang memuncak di hatinya.

"Efek obatnya hanya akan bertahan selama satu hari, setelahnya saya tidak tahu apa yang akan terjadi karena belum pernah ada pasien yang meminum obat dengan dosis tinggi seperti ini." Ucapan Dokter Irwan terngiang di kepalanya.

Setelah sadar tadi, ia memohon kepada dokter Irwan untuk memberikannya obat penambahan imun berdosis tinggi agar dapat mewujudkan wishlist Auri dengan sisa waktu yang ia miliki. Dokter Irwan telah menjelaskan dampak negatif dari obat itu, tetapi Anggara tidak peduli. Yang diinginkannya saat ini adalah bahagia bersama Auri, meskipun hanya sekejap. Anggara melirik Farhan di ambang pintu yang sedang mengusap matanya yang berair. Anggara merasa menjadi orang yang paling menyedihkan saat ini.

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang