Seperti kesepakatan kemarin, jadilah Anggara satu kelompok dengan Auri dan Melody. Awalnya Melody menolak, karena tidak yakin Anggara akan ikut berpartisipasi alias hanya numpang nama. Namun, gadis dengan rambut sepunggung itu terus mendesak sang sahabat untuk menerima laki-laki cuek itu dalam kelompok mereka, tentunya setelah menceritakan permintaan Miss Cindai.
Auri mengusulkan agar praktikum sains tentang kelarutan dilakukan hari ini, tetapi Melody tidak bisa karena harus menunggui neneknya di rumah sakit. Jadilah Auri dan Anggara yang akan melakukan praktikum, sedangkan Melody bagian penyusunan laporan.
Di depan rumah besar, kini Auri berada. Berbekal menanyakan alamat rumah Anggara kepada sang ayah. Rumah bergaya Eropa itu berdiri dengan megahnya, meskipun di beberapa tembok bangunan sedikit mengelupas catnya.
Auri sengaja tidak memberi tahu Anggara soal kedatangannya. Ia takut cowok itu akan menolak, lebih parahnya jika ia memutuskan keluar dari kelompok praktikum sains. Urusan Anggara marah kepadanya, itu urusan nanti. Yang penting praktikum sains dilakukan hari ini.
Auri memasuki kawasan rumah itu dengan langkah sopan. Tidak ada satpam yang berjaga di sana, Auri tersentak ketika melihat Anggara sedang menyapu taman mini rumah itu dengan telaten. Bahkan, sekiranya ada rumput yang mulai panjang, cowok itu langsung mencabutnya dengan tangan kosong.
"Angga," panggil Auri membuat cowok itu terkejut. Keduanya terdiam selama beberapa saat, lalu bersikap biasa saja.
"Sudah lama? Ayo masuk!" Auri terdiam. Ia kira Anggara akan marah karena lancang datang ke rumahnya. Siapa sangka cowok jangkung itu menyambutnya dengan baik. Setelah mencuci kedua tangannya, Angga mengajak Auri memasuki rumahnya.
Sekali lagi, Auri terkejut dengan penataan ruang tamu rumah itu yang rapi dan aesthetic. Barang-barang yang sangat banyak itu ditata rapi dan diletakkan di tempat yang proporsional.
"Mau minum apa?"
"Seadanya aja." Setelah Anggara pergi ke dapur, Auri langsung duduk di sofa. Gadis itu mengamati sekeliling, sepi. Pandangannya jatuh pada sebuah foto kecil, foto lawas maternity sepasang suami istri , pasti itu foto keluarga Anggara saat ia masih ada di dalam kandungan. Anehnya, foto itu diletakkan di belakang foto lain yang lebih besar, sehingga hanya terlihat dari tempat duduk Auri. Itu pun kalau diperhatikan dengan saksama.
Tak lama kemudian, Anggara datang dengan nampan berisi dua cangkir cokelat hangat. Gadis itu mengucapkan terima kasih, lalu menyeruput minuman itu dengan nikmat. Minuman yang sangat cocok di sore yang dingin ini.
"Kamu di rumah sendirian?" tanya Auri basa-basi. Ia sudah tahu kalau rumah ini tidak ada siapa pun kecuali mereka. Kalau ada, tidak mungkin Anggara menyapu halaman dan membuatkannya minuman.
"Hm."
"Berarti cuma kita berdua, dong di rumah ini," ucap Auri menaikturunkan alisnya, membuat Anggara tergelak. Cowok itu menonyor jidat Auri ke belakang, menimbulkan gelak tawa Auri memenuhi ruangan.
"Nggak usah mikir macem-macem!"
"Satu macem doang, kok." Auri mengedipkan sebelah mata menggoda, tetapi reaksi Anggara di luar dugaan. Cowok itu malah menatapnya dengan pandangan sangat datar.
"Yuk, ah, mulai." Auri mengeluarkan alat dan bahan yang diperlukan untuk uji praktikum, sedangkan Anggara membantu menyiapkan kamera untuk membuat video. Selain melakukan praktikum dan membuat laporan, tugas ini juga disertai dengan presentase di depan kelas, beserta videonya.
Saat praktikum akan dimulai, seorang wanita paruh baya datang sambil menenteng paperbag transparan. Auri mengenalnya. Wanita itu adalah Fara——tetangga depan rumahnya.
"Aunty Fara!" pekik Auri membuat wanita itu tersenyum. Wanita itu semakin mempercepat kakinya mendekati Auri.
"Auri, ngapain di sini?" tanyanya sambil duduk di sofa yang kosong.
"Auri ada tugas kelompok, Aunty," jawabnya membuat wanita itu mengangguk.
"Cuma berdua?" Meskipun hanya pertanyaan sederhana, tetapi mampu membuat emosi Anggara terpantik. Terbukti dari kedua telapak tangan cowok itu yang mengepal erat. Apalagi saat Fara menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan, terkesan sedang mengkhawatirkan sesuatu.
"Oh, iya. Ini untuk makan malam kamu." Fara meletakkan paperbag itu di atas meja. Auri dapat dengan jelas melihatnya.
"Terima kasih."
Auri merasa aneh, karena Fara memberi makan malam kepada Anggara dengan wadah kertas minyak, bukan rantang seperti yang biasa ia lakukan.
"Jadi, Aunty ini siapanya Angga?" tanyanya membuat wanita itu terdiam selama beberapa saat, lalu wanita itu mengulas senyum tipis.
"Aunty tantenya Angga," jawabnya lirih. Auri mangut-mangut, heran. Biasanya, Fara selalu ceria dan semangat saat berbicara, bahkan sedikit menaikkan oktaf, tetapi kenapa saat menjawab pertanyaannya wantia itu seperti tidak senang dan kurang bergairah?
"Kenapa Anggara nggak tinggal aja sama Aunty? Kasian, loh dia sendirian di rumah." Pertanyaan Auri membuat Fara gelagapan, bingung ingin menjawab apa. Andaikan tidak dijawab, pasti Auri akan selalu menanyakannya di mana pun saat bertemu dengannya. Wanita itu sudah lama menjadi tetangga Auri, sehingga ia hafal dengan perangai gadis cerewet itu.
Tanpa keduanya sadari, Anggara tersenyum miring, seolah puas mendengar pertanyaan Auri yang membuat tantenya mati kutu.
"Angga 'kan punya rumah sendiri, Sayang."
Auri manyun, jawaban yang kurang memuaskan untuknya. "Yaah, padahal kalau Angga tinggal di rumah Aunty, Auri bakal seneng banget karena bisa deketan sama dia tiap hari. Mau main tinggal lima langkah." Fara tertawa, tetapi tidak dengan Anggara. Cowok itu terpaku, dengan jantung yang mulai tidak karuan. Ini aneh, tidak biasanya jantung laki-laki itu berdebar seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Auristella's Wish [ TAMAT]
Jugendliteratur🥉Juara 3 Event Menulis Novellet 30 Hari with Bougenvillea publisher cabang Bekasi Auristella Danuarta, memiliki seratus keinginan yang ia tuangkan dalam 'whistlist' dan ia tempel di dinding-dinding kamar. Gadis penuh ambisi itu selalu memiliki sera...