15. Anggara Hilang

13 7 0
                                    

Seorang laki-laki jangkung menatap hiruk pikuk kota dari rooftop bangunan sekolah. Sesekali matanya menyipit jika sinar matahari sore menyilaukan pandangannya. Buaian angin yang menerbangkan rambut dan bajunya menambah rasa rileks di tubuhnya.

Sudah satu jam ia berada di sana, rutinitas yang sering ia lakukan ketika malas mengikuti ekstrakurikuler. Tidak ada satu pun ekstrakurikuler yang diadakan oleh sekolahnya itu menarik hatinya. Semua terasa membosankan.

Laki-laki itu Anggara. Siapa lagi memangnya murid di sekolah yang tidak mau melakukan sesuatu, tetapi merasa bosan jika tidak melakukan apa-apa. Biasanya, ia akan membawa serta pensil arang dan kertas HVS putih yang digunakan untuk menggambar, sembari mengisi waktu luang. Anggara tidak sempat mengambil peralatan menggambarnya karena sudah terlalu pusing mendengarkan celotehan Auri tentangnya yang mau ikut berpartisipasi dalam presentasi.

Meskipun demikian, setitik rasa bahagia muncul di hatinya katika ada seseorang yang membutuhkan dan mengandalkannya. Anggara merasa dirinya berharga. Laki-laki itu sadar, jika dirinya saat ini butuh teman, yang mau menerima apa adanya. Sejak kecil, ia selalu menolak orang lain masuk dalam kehidupannya. Anggara trauma, jika orang-orang yang ia sayangi akan meninggalkannya.

Mengingat Auri, Anggara mengembuskan berat napasnya. Laki-laki itu bertanya pada dirinya sendiri, apakah keputusannya untuk merasakan indahnya cinta bersama dengan Auri adalah hal yang tepat. Di satu sisi ia ingin bahagia meskipun sebentar, sedangkan di sisi lain ia tidak ingin Auri sedih dan hancur jika kemungkinan-kemungkinan yang telah Anggara pikirkan terjadi.

Anggara mengeratkan jas almamaternya saat angin semakin kencang meniup ke arahnya. Cowok itu mengusap hidungnya yang memerah, menahan flu yang tak kunjung sembuh. Tubuhnya semakin lama semakin melemah. Anggara menggigil kedinginan, perlahan, kesadarannya mulai menurun, sebelum benar-benar pingsan, samar-samar ia mendengar seseorang memanggil namanya dan tubuhnya ambruk dalam dekapan seseorang.

Sementara di tempat berbeda, Auri berkeliling bangunan sekolah mencari keberadaan Anggara. Cowok itu telah berjanji padanya akan pulang sekolah bersama, lebih tepatnya ia yang memaksa. Auri ingin mengajak Anggara pergi ke suatu tempat yang tidak akan pernah laki-laki itu lupakan seumur hidupnya.

Namun, kini laki-laki itu tak terlihat batang hidungnya. Berbagai sudut bangunan sekolah telah ia jelajahi, kecuali toilet pria dan gudang. Apa Anggara sudah pulang, pikirnya. Auri melirik ke arah bangku Anggara, masih ada tas sekolah cowok itu di sana.

Atensinya teralih pada jam dinding kelas, pukul 18.00. Karena semakin larut, Auri memutuskan untuk pulang, dengan membawa tas Anggara ikut serta. Kebetulan, hari ini sekolah belum ditutup karena kelas terakhir masih ada pelajaran tambahan untuk menghadapi kelulusan. Setelah mandi dan makan malam nanti, ia berencana untuk pergi ke rumah Anggara mengantarkan tas itu kepada pemiliknya.

♛♛♛

Ruangan serba putih, satu hal yang Anggara lihat saat ia membuka mata. Aroma obat-obatan yang familiar di indra penciumannya membuatnya tahu saat ini berada di mana. Tempat yang paling ia benci untuk kunjungi. Laki-laki itu mengarahkan pandangan ke seluruh ruangan. Jika biasanya ia sendiri ketika membuka mata, kini ada orang lain di sofa yang menatap datar ke arahnya dengan tangan dilipat di depan dada.

Pandangan mereka saling bersirobok satu sama lain, sebelum akhirnya terputus karena seorang dokter muncul, membawa beberapa perlengkapan. Dokter itu menghela napas, melihat satu-satunya pasien di rumah sakit ini tidak ada perjuangan untuk hidup lebih lama.

"Kamu tidak pernah minum obat, ya?" tanyanya sembari menyuntikkan cairan dalam urat nadi Anggara. Cowok itu sedikit meringis dan menatap datar lengannya yang penuh bekas suntikan. Anggara bosan selalu terdampar di tempat ini.

"Untuk apa? Tidak bisa sembuh, 'kan?" Dokter itu terasa putus asa. Padahal beberapa hari yang lalu, ia yakin bisa mensugesti Anggara agar semangat untuk hidup lebih lama lagi. Ekspektasinya terlalu tinggi untuk remaja putus asa seperti Anggara. Ternyata cinta tak cukup untuk menggairahkan pasiennya itu.

Merasa tidak ada gunanya lagi, dokter itu undur diri dari ruangan untuk memeriksa pasiennya yang lain. Atensi Anggara kembali teralih pada orang yang duduk anteng di sofa.

"Kenapa masih di situ?" tanyanya menatap sinis orang itu.

"Menunggu ucapan terima kasih dari orang putus asa sepertimu," jawabnya tersenyum miring. Anggara mendengkus, ia duduk bersandar di atas brankar dengan tangan terlipat juga di depan dada.

"Justru jika kamu biarin aja aku mati di sana, aku akan berterima kasih."

"Konyol. Kau hilang beberapa jam saja Auri sudah kelimpungan mencarimu ke mana-mana. Apalagi kalau kamu mati, bisa-bisa dia membenciku seumur hidup karena tidak mambawamu ke rumah sakit," kekehnya, "Saat ini, dia sedang berada di rumahmu. Dia menunggumu pulang sambil kedinginan duduk di teras rumah."

Jantung Anggara menggebu saat mendengar nama Auri disebut. Laki-laki itu merasa bersalah telah membuat gadis itu khawatir.

"Bukankah kamu menyukainya?" Pertanyaan Anggara membuat orang itu tersenyum dan mengangguk. Sejak kecil, ia menyukai perangai Auri yang selalu enerjik dan penuh ambisi. Apalagi gadis itu sangat cantik meski dengan tubuhnya yang mungil dan pendek.

"Tapi dia menyukaimu. Kalau aku jadi kamu, memiliki sedikit waktu tersisa untuk hidup, aku ingin membuatnya bahagia, agar aku bisa mati dengan tenang."

Auristella's Wish [ TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang