17. the Past,

5.4K 634 66
                                    

Mengerjap pelan menghadap langit-langit yang terlihat sangat buram, Renjun merasakan pusing luar biasa. Memukul-mukul kepalanya tanpa ampun, membangunkannya dari tidurnya.

Ia mengedutkan tangannya yang agak kaku. Tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan seseorang yang tertidur di sebelahnya.

Memutar lehernya hati-hati, dilihatnya sosok familiar yang ikut terbangun. Menatapnya sayu, netra yang selalu berbinar jahil itu meredup, kelelahan secara fisik.

Untuk beberapa saat, mereka berpandangan. Mendalami dan berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi.

Renjun mengernyit, kepalanya terasa seperti mau pecah. Kernyitannya menggeser sebuah kompres kain yang telah kering jatuh ke bantal.

Perlahan tangan berkulit kecokelatan milik Haechan bergerak mengambil kompres itu. Ia menggenggamnya erat, berusaha bangun dari kondisi berbaringnya.

Renjun ikut menegakkan tubuh dan ngilu seketika memberondong seluruh bagian tubuhnya.

"Istirahat saja," parau Haechan. Ia terhuyung-huyung berdiri dari kasur tipisnya, beranjak menuju ke dapur kecil mengambil sebotol air mineral.

Mengedar pandang ke sekeliling, Renjun menatap tempat yang ia diami sekarang. Berantakan dan sempit, bahkan lebih kecil dari kontrakan Jaemin.

Ia tidur dekat sekali dengan pintu kamar mandi dan di depannya sudah langsung terlihat dapur mini berisi kulkas kecil dan wastafel beserta kompor gas portabel. Stok makanan dan minuman ditumpuk begitu saja dipojok, tidak takut akan barisan teratur semut yang merayap di dinding.

Perabot besar yang tertangkap matanya hanya sebuah lemari pakaian di sebelah kamar mandi. Jam dinding yang sudah mati menempel sia-sia di dinding. Menengok ke belakang, sebuah pintu yang ia asumsikan pintu keluar balik menatapnya.

"Rumahmu?" Tanya Renjun parau. Tenggorokannya ternyata juga sakit, kering seperti gurun Sahara.

Ia menerima botol air hangat akibat pengaruh pemanas ruangan dari Haechan, memperhatikan laki-laki itu tumbang lagi ke atas kasur.

Lemas setelah menggendong Renjun pergi dari rumah sakit dan mengemudi sangat jauh tanpa istirahat sedikitpun dengan mobilnya yang untung dimanfaatkan juga sebagai transportasi para peneliti.

Kalau tidak, Haechan akan menangis meraung-raung mobil kesayangannya hilang begitu saja.

"Kamar kosku," ralat Haechan. Ia menarik bantal yang Renjun tiduri sebelumnya lalu telungkup, menyembunyikan wajahnya disana.

Renjun meminum airnya pelan-pelan. Tiap tegukan, tenggorokannya seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Sama lelah dan sakitnya, rasanya ia ingin berbaring selamanya tanpa melakukan apa-apa.

"Hari apa ini?"

"Rabu," jawab Haechan teredam. "Sudah lewat tiga hari sejak laboratoriummu menjadi puing-puing."

Renjun meringis akibat sengatan memori itu. Ia mengingat semuanya dengan jelas seperti baru terjadi beberapa jam. Ia hanya bisa bersyukur dirinya dan Haechan masih diberi keselamatan dan kebebasan.

Renjun tidak bertanya-tanya lagi, meminta hening menemani keduanya. Ia biarkan Haechan yang perlahan tertidur lagi. Berterima kasih amat sangat pada laki-laki yang menyelamatkan hidupnya itu.

Setelah merasa lebih baik, Renjun menyibak selimutnya. Berganti menyelimuti Haechan sehingga laki-laki itu lebih nyaman.

Ia berdiri dengan kaki gemetar, terseok-seok menuju area dapur yang lebih terang. Meletakkan botol minum yang sudah kosong ke wastafel, Renjun melirik tangan kanannya.

LIMBO || JAEMJEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang