EPILOG

7K 685 60
                                    

Berdiri memandangi salju yang mulai mencair disinari matahari pagi menjadi kegiatan rutin Jaemin, Jeno, Renjun, dan Haechan sebelum memulai hari.

Mereka duduk bersebelahan di teras, kecuali sang hybrid yang dipangku oleh Jaemin. Dua gelas kopi, secangkir teh, dan sebotol susu mereka pegang masing-masing, menjadi teman setia dan pengganjal lapar sebelum memulai brunch.

Karena hecticnya kegiatan mengisi dan mengatur perabot baru di dalam rumah yang juga baru, ketiga laki-laki itu memutuskan untuk menyatukan sarapan dan makan siang. Toh ketiganya memang jarang sarapan.

"Yuk, masuk," ajak Jaemin pada si kecil yang berbinar-binar mendengar kerincing familiar para domba yang mulai keluar.

"Emin, mau domba~"

Mendengar itu, Renjun dan Haechan diam-diam mundur. Membiarkan Jaemin menangani kerewelan si kecil sendirian.

Mereka kembali memasang barang-barang yang masih tersimpan rapat di dalam kardus. Mengisi dan menyiapkan ruang kecil khusus untuk Renjun bereksperimen dan mengecek rutin kesehatan sang hybrid serta bayi-bayinya.

"Kelahirannya nanti bagaimana?" Tanya Haechan sambil membantu Renjun mengangkut sebuah kasur kecil yang akan ditaruh di atas rangka ranjang yang kemarin sudah mereka persiapkan.

"Mau tidak mau operasi," keluh Renjun. "Lubang buatan itu tidak seelastis vagina asli. Jika dipaksa keluar, yang ada malah robek dan Jeno kehabisan darah harus mengeluarkan si bayi satu persatu."

"Belum lagi, bila melalui cara normal ukuran lubang senggamanya akan sangat berbeda jauh, pipis dan lendirnya bisa kemana-mana tanpa penahan."

Haechan mengernyit, membayangkan Renjun harus bergulat sendirian mengoperasi sang hybrid. Pantas saja selama perjalanan laki-laki itu beberapa kali menampar Jaemin tanpa sebab untuk menyalurkan emosinya.

Mereka yang berbuat, dia yang repot mengurusi.

"Kau..." Renjun menghela napas terlebih dahulu sebelum melangkah menjauh. Ia menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan dalih mengeluarkan Holter dari kardus.

"Bisakah kau tinggal disini bersama kami?"

Haechan yang tengah merapikan kasur itu agar masuk dengan sempurna ke ranjang menghentikan aktivitasnya.

"Aku memang akan tinggal disini?" Tanya Haechan keheranan.

"Maksudku menetap," gumam Renjun. "Untuk waktu yang lama... atau... atau- selamanya."

"Tidak perlu kembali lagi ke Korea ketika Jeno sudah melahirkan bayi-bayinya," tambah Renjun memperjelas maksudnya.

Haechan terdiam. Ia memikirkan permintaan Renjun itu serius. Memang ia berjanji akan tetap disini menjaga mereka berdua sampai anak-anak Jeno lahir dengan sehat.

Bahkan, sebelumnya ia hanya berniat mengantar kedua laki-laki yang lebih kecil itu ke China. Namun keadaan yang tak terduga membuatnya merubah keputusannya.

Lagipula sudah ada Jaemin disini. Haruskan ia mengubah keputusannya lagi?

"Beri aku satu alasan kenapa harus tinggal disini selamanya."

Sang peneliti mengulum bibirnya resah. Ia memutar otaknya untuk membujuk Haechan tinggal.

Padahal hanya dengan mengucapkan satu kalimat "aku menyukaimu" saja laki-laki itu akan dengan senang hati tinggal, menemaninya mengurus dua orang dewasa di teras yang kelakuannya di luar nalar itu.

"Keluargamu akan lebih aman kalau kau disini," alasan Renjun, "benar kan?"

"Lalu aku harus memutus kontak dengan keluargaku begitu?" Tanya Haechan balik. Ia berdiri menghadap Renjun yang memainkan plastik penutup monitor gelisah. "Aku tulang punggung keluarga, Renjun."

LIMBO || JAEMJEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang