19. Have Fallen

5.6K 664 88
                                    

Haechan merangkul erat bahu Renjun, saling berbagi kehangatan di antara derasnya butir-butir putih yang menghiasi kepala.

Suara sepatu mereka serentak menimbukan bunyi renyah es tipis yang terinjak dan garing teredam khas salju yang basah.

Berdua melewati setiap belokan menuju rumah Jaemin yang tersembunyi dan tidak bisa dimasuki mobil.

Mereka hanya ingin menjenguk sebentar dan memberi kepastian pada sang pembunuh bayaran, bahwa keduanya tidak lari dari tanggung jawab atau lebih buruknya: mati.

Renjun memegang erat-erat amplop uang darurat yang sengaja disimpannya di loker bagasi stasiun kereta sebelum memulai pelariannya.

Tidak banyak, namun hanya itu yang Renjun punya selagi kartu kredit dan debitnya diurus oleh bank.

"Hati-hati," gumamnya pelan, sigap memegangi Haechan yang terpeleset. Sejak tadi keduanya diam-diaman, merasa bersalah dan canggung pada satu sama lain.

Haechan mengengguk malu. Ia merapatkan jaketnya yang tipis untuk menghalau dingin. Mulutnya beruap dan ia mulai gemetaran, merindukan kamarnya yang hangat.

Berbelok pada tikungan terakhir, Renjun dan Haechan serentak berhenti. Mereka kaget luar biasa melihat seseorang tengah berusaha memasukkan seonggok tubuh yang tak bergerak di depan rumah Jaemin ke dalam kantung jenazah.

Seseorang berpakaian tertutup yang terpergok itu buru-buru menyeleting kantung berisi korbannya. Lalu ia berderap melewati Haechan dan Renjun sambil menyeret kasar kantung itu menimbukan bunyi gesekan plastik dan salju.

Tak ditutup dengan benar, Haechan dan Renjun mengenali corak pada seragam hitam yang melongok dari balik kantung. Mereka berpandangan panik, langsung berderap dan mengetok ribut rumah Jaemin.

TOK TOK TOK

Renjun mengeratkan genggamannya pada amplop uangnya, bergetar tak karuan menyadari jejak darah yang terlihat mencolok dari pintu sampai tumpukan salju yang kotor dan seperti membusuk.

"NA JAEMIN! YA! JAEMIN!" teriak Haechan sama paniknya. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak memikirkan nasib sang hybrid dan laki-laki itu.

Rasanya lama sekali pintu itu terbuka. Sosok yang berdiri sedikit membungkuk di balik pintu itu menatap mereka terkejut, tak menyangka dua orang yang sudah tak lagi ia tunggu dan harapkan akhirnya datang.

Mendorong Jaemin ke samping, Haechan menerobos masuk. Ia langsung menengok kesana kemari mencari keberadaan sang hybrid.

Tak menemukan presensinya di atas sofa, napas Haechan berpacu. Ia hampir saja membentak Jaemin jika tak melihat pintu kamar yang terbuka sedikit menunjukkan siluet seseorang tengah berbaring menyamping.

"1J?" panggil Haechan memastikan. Ia merangsek masuk, ditelan kegelapan.

Renjun yang masih berdiri di ambang pintu melihat perban di perut Jaemin dan tangannya yang menggenggam erat pistol.

"A-apa yang terjadi?" Gagap Renjun.

Jaemin mengalihkan pandang. Tangannya yang memegang pistol melemas, disembunyikan di balik punggung. Ia tidak ingin menjawab, tidak mau sang hybrid hilang dari pandangannya.

"Mereka datang?!" Tebak Renjun. "Orang-orang yang mencari 1J datang?!"

Mata Jaemin melebar, tak menyangka Renjun bisa menebak seakurat itu. Tidak ia tahu, sang penjual organ datang terlambat menjemput targetnya.

"Ugh!" Suara geraman Haechan terdengar. "Kau tambah berat hum~ Jaemin mengurusmu dengan baik ya?"

Ia menggendong 1J yang tengah mengucek-ucek matanya keluar kamar dan membaringkannya di atas sofa, setengah menduduki boneka besarnya yang ditata Jaemin disana.

LIMBO || JAEMJEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang