20. Retrouvailles

5.7K 703 119
                                    

Rumahnya berantakan.

Dua kata itu cukup untuk meringkas keadaan bak kapal pecah ruangan sepetak yang ia tinggalkan berhari-hari tanpa dikunci itu.

Seluruh boneka berjatuhan, yang terbesar terbalik, hanya kakinya yang ada di senderan sofa. Rak dapur, lemari buku, tumpukan barang, dan meja televisinya diobrak-abrik seolah habis mencari sesuatu.

Jaemin menengok pada kamarnya yang terbuka. Pakaiannya berceceran di lantai, pintu lemari bajunya terbuka lebar. Map kosong berisi dokumen palsu dirinya berserakan. Seprainya sudah berubah fungsi menjadi keset, kusut dan kotor diinjak-injak oleh jejak-jejak sepatu.

Satu-satunya yang bertahan adalah lemari senjata dan uangnya yang tampak tidak diutak-atik karena sulit untuk dibobol sebab lubang kuncinya yang rumit dan dirancang sedemikian rupa. Memang ada jejak pukulan dan baretan, tetapi lemari baja itu terpasung kuat ke lantai tidak akan bisa digerakkan. Tahan akan api, laser, dan air.

Jaemin melangkah enggan menuju sofa. Ia berbaring menyamping, menatap kosong televisinya.

Jelas bukan perampokan. Satu-satunya barang bernilai lumayan masih ada di hadapannya. Berarti "kawan-kawan" Renjun yang datang untuk mengorek informasi.

Menjauhkan kaki putih berbulu yang hampir menyentuh kepalanya -Jaemin tidak mau boneka besar itu terkotori darahnya seandainya suatu saat sang hybrid kembali- ia menatap toples ikan yang ada di atas meja.

Dua ikan, hitam dan oranye sudah mengambang, mati kelaparan. Mengejutkannya, satu yang berekor paling indah masih bernapas di dasar, hanya diam dan menatapnya hampa.

Mereka seolah berkomunikasi dalam diam, bertanya-tanya kemana kah si pemilik kecil satunya?

Jaemin mengeluarkan ponselnya yang telah mati dari kantong celana. Ia merangkak ke tempat sebelumnya kandang 1J berada, tidak lagi kuat berjalan sebab kakinya gemetaran dan ngilu amat sangat.

Mencolokkan charger ke hpnya yang sudah mati itu, Jaemin mengambil salah satu boneka yang terlempar di dekatnya. Memainkannya sembari menunggu benda pipih itu cukup terisi beberapa persen untuk dihidupkan.

Ia mengusap matanya yang pedih dan dipenuhi darah. Bersender pada dinding, Jaemin menarik napas gemetar. Tubuhnya sakit semua, apalagi dada dan kepalanya, seperti akan meledak.

Akhirnya mengambil ponselnya, Jaemin melihat sebuah notifikasi dari emailnya. Tugas baru, ia abaikan aplikasi berlambang amplop merah itu.

Jaemin berganti menyentuh ikon aplikasi pesan dan panggilan, mungkin saja notifikasi dari Renjun atau Haechan tidak muncul.

Tidak ada apa-apa.

Ia terdiam. Mencoba menenangkan perih yang semakin bersemangat menikam dada. Tanpa berpikir panjang, ia menggerakkan ibu jarinya menelepon Haechan.

Lama sekali nada sambungan itu terdengar, menunggu sosok di seberang mengangkat panggilan. Percuma menunggu, nyatanya operatorlah yang menjawab seruan putus asanya.

Jaemin terus menelepon, duduk disana meski berkali-kali panggilannya tertolak. Sampai ponselnya terisi penuh, ia masih disana. Mencoba menelepon dengan sia-sia.

Diabaikan.

Kesepian.

Dan ditinggalkan begitu saja.

.

Mengabaikan ponselnya yang terus bergetar, Haechan mengusap-usap kepala 1J lembut. Wajah laki-laki itu semakin pucat, membuatnya khawatir amat sangat.

Telinga maupun ekornya tidak pernah naik semenjak berada disini. Tatapan matanya sekosong dan sekuyu ikan yang penyakitan.

"Masih pusing?" Tanya Haechan lembut.

LIMBO || JAEMJEN ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang