Kinnas memasuki rumah lama Adrea dengan keadaan lesu. Bahkan bibi Anne di belakangnya kerap mengernyit bingung. Wanita dewasa itu terus menemani langkah kaki Kinnas sampai di tempat tujuan. Bukan berarti Kinnas lupa di mana letaknya, hanya saja bibi Anne sudah biasa melakukan hal demikian sebagai bentuk sopannya kepada tamu. Kinnas yang diperlakukan seperti ini turut tersenyum ramah, meski tak menutup kemungkinan kalau ia masih memikirkan keadaan ibunya yang sedang sakit.“Apa sepenting itu, Kin?” Juan mengikat tali sepatunya seraya memandang Kinnas di ambang pintu.
“I-ini penting, Kak. B-besok aku ... evaluasi harian.” Kali ini Kinnas memberi alasan akan pergi ke salah satu toko buku.
Juan menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. “Ibu sedang sakit, Kin.”
Kinnas menunduk, menyembunyikan raut bersalahnya dari tatapan Juan. “Aku hanya sebentar, aku janji,” katanya mencoba meyakinkan.
Juan membuang muka. “Entah kau jujur atau tidak. Ingatlah, Kin ... Ibu sedang sakit!”
Kalimat terakhir kakaknya sebelum melengos pergi. Meninggalkan apartemen beserta rasa bersalah Kinnas yang semakin menumpuk. Juan akan bekerja part time, karena itu tidak bisa menemani Hanna yang mendadak demam. Teruntuk Daran, membaringkan diri di atas kasur saja kesusahan, apalagi merawat orang sakit. Sedangkan Kinnas, Juan berharap kalau adiknya itu tetap di rumah untuk menjaga ibu, karena suhu tubuh Hanna tidak kunjung turun meskipun telah meminum obat. Namun, tak disangka jika Kinnas juga hendak pergi.
“Saya permisi dulu, Nona.”
Suara bibi Anne membuyarkan lamunan Kinnas. Setelah mendongak, tirai putih bersih menjadi satu-satunya objek penglihatan. Hingga secara perlahan Kinnas membuka pintu kaca, memperlihatkan suasana taman yang begitu akrab--baginya--lalu sosok Adrea di atas kursi yang sedang memakan buah anggur menggunakan kekuatannya.
“Akhirnya kau datang, Kin.” Adrea beranjak berdiri. Mengunyah buah segar setelah menjentikan jari.
“Kau sudah menunggu sejak tadi?”
“Tidak juga.” Adrea menyatukan kedua alisnya. “Apa ada yang terjadi? Kau tampak murung.”
Kinnas mendaratkan bokongnya di atas kursi. “Ibuku sakit. Kakakku sedang pergi part time, jadi tidak bisa menjaganya.”
Lekas Adrea meringis pilu. Ia sudah mengetahui tentang kondisi keluarga Kinnas, dan setelah mendengar ibu gadis itu sakit, Adrea ikut merasa khawatir. “Dengar, Kinnas. Percaya padaku bahwa Ibumu akan baik-baik saja. Malam ini kita selesaikan secepatnya.”
“Y-ya, kau benar, Adrea.” Kinnas mengangguk setuju.
“Ini semua demi masa depan kita, Kin.”
Sempat tersenyum kecil, Kinnas segera membantu Adrea untuk mengangkat meja bundar--meletakknya di tengah-tengah taman. Setelah itu Kinnas mengambil kertas HVS, kemudian menaruhnya di atas meja. Menyusul, Adrea pun turut membuka kotak bekas yang di dalamnya berisi kalung Berliana Biru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasy"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...