Bab 22 •A Fight That Doesn't End•

9 4 7
                                    

Sudah sepuluh hari sejak teman terdekat Adrea mengetahui dirinya menggunakan Berliana Biru bersama Kinnas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah sepuluh hari sejak teman terdekat Adrea mengetahui dirinya menggunakan Berliana Biru bersama Kinnas. Semenjak hari itu pula sikap Louis kian berbeda. Melalui jendela dugout yang menampilkan langsung taman belakang Snasa, Adrea melihat Louis dan Arsen tengah berjalan menyusuri lorong gedung ekstrakulikuler. Dan satu gadis yang amat ia kenali hadir, menyapa keduanya, kemudian memasuki ruangan klub balet.

"Dre, bisa tolong kau bukakan."

Deyna datang seraya membawa dua botol minuman rasa setoberi. Menyerahkan salah satunya untuk meminta Adrea membukanya. "Apa sulit?"

"Sangat sulit."

Adrea tersenyum kecil. Tak ayal berucap dalam hati, terbuka, berlanjut menjentikan jari. Sesuai dugaan, Deyna lekas terkagum-kagum. Kendati ia sudah mengetahui kekuatan maupun pantangan Adrea menjadi perempuan 'pemilik', Deyna selalu merespon sama setiap kali Adrea menunjukkan hal ajaibnya. Meskipun terkadang Deyna merasa ngeri--sebab Adrea berurusan dengan benda keramat milik kerajaan Tora.

"Kau tidak ingin pulang?" tanya Adrea setelah menyerahkan minuman yang sudah terbuka pada Deyna.

"Aku baru saja akan mengajakmu." Deyna mengambil ranselnya dari atas meja. "Sepertinya aku akan ikut mobil Louis," lanjutnya seraya mengambil langkah keluar dugout, diikuti Adrea di belakangnya.

"Memangnya sopirmu tidak menjemput?"

"Sopirku sedang sakit, dan Ayah belum juga mencari sopir pengganti. Tadi pagi saja aku berangkat bersama Arsen."

Adrea mengangguk paham. Sesaat merutuki diri sendiri karena ia tidak menyadari kebersamaan Deyna dan Louis pagi tadi. Acapkali memikirkan banyak hal membuat Adrea sering melamun akhir-akhir ini. Ia kerap tidak fokus.

"Lou! Aku ikut mobilmu, ya!" teriak Deyna ketika melihat kehadiran Louis dan Arsen.

"Aku juga akan ikut dengan Louis. Sejak pagi kau selalu menumpang, Na." Arsen menggelengkan kepala, menyebabkan Deyna melirik sinis ke arahnya.

"Aku tidak bicara denganmu, Arsen. Aku bicara dengan Louis. Iya, kan, Lou?" Deyna menatap Louis lalu tersenyum manis.

Anggukan yang pemuda itu lakukan menimbulkan tawa kemenangan di wajah Deyna. Decakan sinis Arsen lantas timbul, langkah kakinya pun mendekati Deyna untuk menarik ujung rambut gadis tersebut. Tak perlu menunggu lama, karena suara pertengkaran plus hentakan sepatu--karena berlari, keduanya telah terdengar di koridor yang sepi. Sedangkan Adrea dan Louis yang kerap menjadi penonton, tertinggal lumayan jauh.

"Kau akan tetap meneruskan ritualnya sampai selesai, Dre?" Louis membuka pembicaraan. Langkah kakinya pun tetap berjalan, tanpa menengok Adrea yang menelan ludah susah payah.

"Sudah sampai ritual kedua. Tidak mungkin aku berhenti begitu saja."

"Jangan munafik, Dre."

"Aku?"

Hirawan Bulao [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang