Dalam duduk, Adrea bergerak gusar. Bahkan dinginnya alternating current tidak mampu menghalau peluh yang mulai membasahi kening serta telapak tangan gadis itu. Hawa panas seolah menyerang kepalanya yang terus-menerus memikirkan kejadian pelik pagi tadi. Persoalan Deyna yang memakai kalung Berliana Biru, dan perkataan 'jujur' Cahya menyebabkan masalah baru. Setidaknya di tengah-tengah ketegangan Adrea sedikit merasa lega, karena bel masuk berbunyi tak lama setelahnya.Sembari memindai Berliana Biru dalam genggaman, Adrea mengembuskan napas pelan. Ia terlalu takut sampai mengungsikan diri di ruangan aula yang untungnya kosong, hanya berisikan dirinya. Adrea masih ingat betul tatapan penuh tanya teman-temannya. Hal yang sama mengapa ia memutuskan untuk berdiam diri di sini. Tentu saja untuk menghindari Louis, Deyna, termasuk Arsen. Tak menutup kemungkinan jika mereka sedang mencari Adrea yang hilang dari pandangan saat ini.
Berulang kali meneguk ludah kasar, Adrea akhirnya beranjak berdiri. Bila dihitung jari, sudah lumayan lama ia bersembunyi. Dengan segera Adrea memasukkan Berliana Biru dalam saku almamater, lalu mengambil langkah secara perlahan. Di depan pintu, Adrea berhenti sejenak untuk mengatur napasnya yang mulai tersendat. Meskipun setengah yakin Adrea tetap membuka pintu, menyambut tiupan angin yang menerbangkan sebagian rambut ikalnya.
"Adrea!"
Sayang, keputusan Adrea gagal total. Tampak pemuda tinggi berkulit putih yang amat ia kenali--sedang berdiri berjarak tidak jauh darinya. Belum sempat Adrea menghindar, langkah cepat Louis lebih dulu menghampiri berlanjut mencekal pergelangan tangannya.
"Kenapa ponselmu tidak aktif?" Louis menatap Adrea lekat.
"Sengaja ku matikan," jawab Adrea lirih.
Sontak Louis membuang muka kemudian menyeringai. "Kau tahu, Dre? Tingkahmu menimbulkan rasa curi--"
"Kalau begitu katakan apa yang kau mau? Yang kalian mau?" potong Adrea. Ia putus asa, kembali menghindar adalah keputusan yang akan berakhir sia-sia.
Louis melepas genggaman tangannya pada Adrea. "Berliana Biru. Apa kalungmu--maksudku, kalung itu merupakan Berliana Biru?"
Tanpa perlu diminta, Adrea lekas memilin ujung lengan almamater-nya. Pertanyaan gamblang Louis menimbulkan perasaan tidak tenang. Terlihat dari keringat dingin yang mulai membasahi pelipis sampai ke dekat pipi.
"Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Jangan lagi mengelak, Adrea."
"Aku--dengar! Apa yang mendasari dirimu sampai menanyakan sesuatu yang bahkan kenyataannya e-entah ada atau tidak?" Adrea merasa hanya perlu mengulur waktu, menunggu bel masuk berbunyi. Ia tidak bisa menjelaskan secara jelas mengenai kalung Berliana Biru pada Louis.
"Selang tiga hari saat kau meminta nomor ponsel Kinnas dari formulir data murid, aku melihat Kinnas memasuki mobilmu ketika pulang sekolah." Lantas Adrea membulatkan matanya. "Aku terus merasa janggal, Dre. Tiba-tiba menjadi dekat serta sikap aneh kalian. Semuanya menjadi rumit setelah Cahya membawa buku usang tadi, mengatakan kalau buku itu membahas tentang Berliana Biru, dan kemiripan kalung perak dengan gambar yang ada di buku ... entah apa itu." Louis melanjutkan kalimatnya, semakin membuat Adrea gelisah tak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasy"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...