Bab 19 •Discovered•

9 3 2
                                    

Suara detik jam terdengar, menandakan sunyinya ruangan remang yang hanya berisi satu orang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara detik jam terdengar, menandakan sunyinya ruangan remang yang hanya berisi satu orang. Kelan melepaskan kacamatanya lalu meletakkan lensa tipis itu di atas nakas, di samping tempat tidur. Atensi yang mulanya berfokus pada surat kabar berusia dua tahun, harus teralihkan sebab pintu kamar terbuka, memperlihatkan sang istri tengah menghampiri sambil membawa gelas yang ia tidak ketahui apa isinya.

"Kembali bingung tentang Adrea?" Belinda meletakkan gelas berisi teh jahe di samping Kelan.

Kepulan asap seperti membawa aroma panas kuku sampai ke penciuman Kelan. Tanpa diminta, lekas pria itu memejamkan mata seraya menikmati sensasi hangat di sekitaran rongga hidungnya. "Apa aku harus mengijinkannya, Bel?"

"Ice skating merupakan mimpi Adrea, Kelan."

"Tapi, aku takut kalau Adrea kembali terluka." Kelan membuka mata, memandang Belinda yang kini duduk di sampingnya. "Aku ingat betul, pesan terakhir Lusi sebelum dia meninggal," lanjutnya lirih.

Belinda mengambil koran kusut dalam genggaman suaminya. "Benar, Kelan. Apa kau ingat apa pesan--"

"Jangan biarkan Adrea terluka, dalam keadaan fisik maupun mental," potong Kelan. "Dulu aku selalu sibuk dalam bekerja. Bahkan untuk benar-benar melihat Adrea saja saat anak itu sudah terlelap dalam tidurnya. Adrea hanya dekat dengan Lusi, sikap tidak acuh-ku semakin memperburuk hubungan kami. Sebagai seorang Ayah, aku jarang berinteraksi dengan Putrinya sedari dulu."

Rintik hujan mulai terdengar, sesaat Belinda mengalihkan atensinya pada jendela kamar yang tertutup tirai. "Kelan, inti dari kalimat Lusi adalah ... menginginkan Adrea bahagia. Dan kau tahu apa yang membuat Adrea bahagia?"

Kening Kelan mengerut. "Ice skating?"

"Benar."

"Tapi ice skating selalu membuat Adrea terbayang-bayang mendiang Ibunya, Bel. Aku takut jika psikis Adrea terganggu."

"Itu semua tidak benar, Kelan," sanggah Belinda. "Adrea hanya memerlukan kepercayaan dirinya kembali. Kegagalannya dua tahun lalu merupakan masalah yang utama. Adrea hanya butuh waktu, untuk bisa melawan semua ketakutannya. Dan saat dia menginginkan mengikuti TFSC, itu berarti Adrea sudah memiliki sedikit keberanian." Belinda melanjutkan kalimatnya, membuat Kelan menunduk diam.

"Aku takut--"

"Percayalah, Kelan. Percaya pada Putrimu sendiri." Belinda menatap lekat Kelan yang mulai mengubah ekspresi.

•••

"Mesin waktu. Mereka membuka rekrutmen? Apa aku harus menawarkan Arsen?" monolog Louis begitu membaca judul besar di bagian depan surat kabar yang ia ambil dari meja makan tadi.

Tangan Louis membuka lembar berikutnya, hingga mata yang tadinya menyorot sayu kini membulat sempurna. Louis mendekatkan kalimat dalam surat kabar ke depan wajahnya. Membaca lebih teliti, berulang kali, sampai mobil yang membawanya sampai di gang masuk sekolah Snasa. Lekas Louis merebahkan tubuhnya, tak ayal senyum tipis terpatri di wajahnya.

Hirawan Bulao [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang