Bab 09 •Not A Princess•

17 3 6
                                    

Sebagai negara tropis, Tora memiliki banyak pohon palem yang biasanya tersebar di dekat-dekat perumahan, pinggir jalan, bahkan taman belakang sekolah Snasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebagai negara tropis, Tora memiliki banyak pohon palem yang biasanya tersebar di dekat-dekat perumahan, pinggir jalan, bahkan taman belakang sekolah Snasa. Selain tidak memiliki cabang, terdapat daun di puncak batang yang melekat pada pelepahnya. Dan Kinnas yang sedang duduk bersandar di atas kursi taman, kerap menjadikan tumbuhan berbatang keras itu sebagai objek penglihatan. Sekedar mengusir rasa bosan.

“Jentikan.”

Sambil mengadu jari tengah dengan ibu jari, Kinnas menengadah. Pikirannya seolah kembali pada ritual pertama Berliana Biru yang dilakukan tepat tanggal satu--dua hari yang lalu. Sensasinya menyebabkan Kinnas sedikit bergidik, merasakan dahsyatnya kekuatan benda keramat itu meskipun matanya terpejam erat. Bahkan, susunan kata yang muncul juga masih belum bisa dipahami. Sampai hari ini.

“Bagaimana penampilanku, Kin?”

Cahya, gadis yang saat ini memakai wig beserta hiasan bunga berbentuk lingkaran--sebagai mahkota pengganti, telihat duduk di samping Kinnas seraya berpose secantik mungkin. Tangannya ia letakkan di dekat daun telinga, seolah membelai dagunya sendiri. Lalu kaki kiri yang sengaja ditumpuk di atas kaki kanan dengan posisi tubuh yang tegap.

“Ya ... lumayan.” Kinnas membuang muka.

Cahya memberengut kesal. “Kau benar-benar, Kin!” katanya berang.

“Apa?”

“Apanya yang apa?” Cahya melepaskan wig yang belum lama ia pakai. “Setidaknya berilah sedikit pujian untuk sahabatmu ini,” ujarnya kesal.

Kinnas terkekeh. “Baiklah. Can-tik, kau sangat cantik, Cahya.”

Sesuai dugaan, Cahya langsung tersipu malu, tak ayal kedua pipinya memerah seperti kepiting rebus. “Ya ampun, Kinnas!” Cubitan kecil ia hadiahkan pada pundak sahabatnya sebagai pelampiasan.

“Berhentilah! Kita terlihat seperti pasangan sesama jenis jika begini,” tukas Kinnas tatkala beberapa pasang mata memandang ngeri ke arah mereka.

“Terima kasih, Kinnas sayangku ... ” Cahya semakin menjadi, kini tangannya menarik paksa leher sahabatnya untuk dipeluknya erat.

Dengan sedikit tidak berperasaan, Kinnas mendorong kuat Cahya agar terlepas dari dekapan mengerikannya. “Kita menjadi tontonan!”

“Oh, benarkah? Aku tidak tahu.”

Ha? Tidak tahu katanya. Sepertinya jika Kinnas tidak rajin bersembahyang di Gereja di setiap minggunya, ia tidak akan sanggup untuk menghadapi jin berponi seperti Cahya. Tingkah lakunya sangat menguras emosi.

“Kapan latihannya akan dimulai? Setidaknya kau memiliki kesibukan agar penyakitmu tidak kumat.” Kinnas membenarkan almamater-nya yang sedikit melorot.

“Sepertinya masih lama. Bagian penataan sedang mengatur pencahayaan di atas panggung,” jawab Cahya.

Memandang ke arah klub musik yang juga ramai, Kinnas tak sengaja melihat Liam--vokalis band Snasa (Lunar), yang baru saja ke luar dari ruangan tersebut sambil menenteng salon berukuran kecil. Alisnya menukik tatkala seorang gadis tahun pertama berlari kecil, menghampiri pemuda itu untuk jalan beriringan.

Hirawan Bulao [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang