Sudah seminggu lebih. Tentang hubungannya dan Adrea yang diketahui teman dekat mereka. Seiring berjalannya waktu, para remaja itu menjadi terbiasa. Bahkan Adrea mulai leluasa untuk sekedar menyapanya ketika berpapasan di lingkungan sekolah. Jujur saja Kinnas merasa nyaman, daripada harus bersembunyi acapkali ingin bertemu seperti sebelumnya.Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, tetapi murid-murid Snasa memiliki jadwal tidak wajib berupa menonton gladi resik klub teater di ruangan aula. Sesuai tradisi tiap tahunnya, mereka akan menampilkan legenda Raja Ratu Berlian. Sedangkan Kinnas yang sudah diwanti-wanti Cahya sejak pagi, sudah menduduki kursi penonton baris ketiga.
"Hai, boleh aku duduk di sampingmu?"
Kinnas pun menoleh, menatap seorang gadis berambut pirang yang tengah tersenyum lebar ke arahnya. Cantik sekali, batin Kinnas. Berdehem sejenak, bisa-bisanya ia malah termenung tatkala Lyana menunggu jawaban darinya. Namun, Lyana memang secantik itu. Wajah blasteran dengan mata biru indahnya pasti akan membuat siapapun terpana.
"T-tentu. Kau boleh duduk di sampingku." Kinnas mengarahkan tangannya pada kursi kosong di sebelah kiri.
"Terima kasih," ujar Lyana.
Kinnas menarik napas dalam-dalam, melirik Lyana melalui ekor matanya. Aura kebangsawanan Lyana begitu melekat, meskipun ia bukan lagi anggota kerajaan. Selama Lyana bersekolah di Snasa, lalu masuk ke klub jurnalistik, Kinnas yang otomatis sering berjarak dekat masih merasa segan sesekali. Memandang sekeliling yang mulai ramai, Kinnas teralihkan oleh tirai penutup area belakang panggung bergerak-gerak sendiri. Mendakan ada orang dibaliknya.
"Emm, bagaimana persiapanmu untuk lusa, Lyana?" Kinnas mencoba membuka pembicaraan. Kendati mulutnya gatal bila tak menanyakan hal demikian.
"Sebenarnya sudah matang, tetapi terkadang aku merasa gugup. Apalagi ini kali pertamaku membacakan puisi di depan umum. Jangan lupa beri dukungan untukku, ya, Kinnas." Lyana mengepalkan tangannya seolah meninju udara.
Sontak Kinnas tertawa, berpikir kalau kepribadian Lyana terlihat begitu menyenangkan. "Tentu saja, Lyana. Kami semua akan mendukungmu."
"Hai, Ly. Boleh aku duduk di sini?" Liam datang, berdiri di sebelah Lyana sambil menunjuk salah satu kursi.
Tampang Liam yang terus menatap Lyana tanpa berkedip sedikit membuat Kinnas risih. Pertemuan mereka di perpustakaan waktu itu masih terekam jelas dalam memorinya. Cara Liam berbicara angkuh bercampur mengejek, seperti merendahkan kemampuan Kinnas. Berdecak sekali, Kinnas langsung membuang muka ke arah lain. Tak menghiraukan muda-mudi tersebut yang sedang asyik mengobrol, tanpa memperdulikan dirinya. Seperti obat nyamuk.
Di pintu masuk aula, Sheren memindai sendu ke salah satu kursi penonton yang menampilkan pemuda bernama Liam. Kilas balik kejadian memalukan sekaligus menyedihkan, di mana ia dengan berani menyatakan perasaannya pada Liam. Sikap yang Liam tunjukkan beberapa minggu sebelumnya membuat Sheren percaya diri, tetapi dihancurkan begitu saja tatkala pemuda itu mengatakan kalau ia menyukai gadis lain. Sheren malu, sedih, kecewa, semuanya menjadi satu. Apalagi saat mengetahui kalau orang yang menarik hati Liam merupakan Lyana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasy"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...