Aku menunggumu, Kin.Kinnas membaca pesan dari Adrea begitu mendengar suara notifikasi masuk. Mereka berdua memang sudah berjanji sebelumnya, bertemu di rumah lama gadis berambut ikal tersebut. Dalam perjalanan bus sore ini, Kinnas sedikit merasa kesal sebab Cahya turut duduk di sampingnya, membututi Kinnas semenjak kejadian tadi pagi.
Dan setelah kejadian itu pula, ia dan Adrea tidak lagi bertemu sampai bel pulang berbunyi. Mungkin saja penyebab yang sama mengapa Adrea mengirimkannya pesan demikian. Namun, kehadiran Cahya yang ikut serta membuat Kinnas gencar berpikir. Ia tidak mungkin membiarkan Cahya mengetahui rahasia yang sudah Kinnas dan Adrea tutupi susah payah. Permasalahannya, apa alasan yang cukup logis untuk mengusir Cahya.
"Apa kau tidak berniat pulang?" Kinnas bertanya tanpa memandang gadis yang kini mengernyit bingung ke arahnya.
"Aku ingin main bersamamu, Kin. Lagipula kau akan pergi ke rumah Adrea, bukan? Jadi, biarkan aku ikut." Cahya bersedekap seraya cengar-cengir.
"Kenapa kau ingin ikut dan ingin tahu?"
"Karena kau mencurigakan."
"Apa?!"
Cahya tertawa melihat Kinnas mendelik marah. "Jujur saja, kau menyembunyikan sesuatu, benar?"
"T-tidak." Kinnas berdehem. Ia mulai merasakan sakit di dada kiri karena hampir termakan emosi. Pantangan ritual kedua, perkataan Adrea saat itu membuatnya tersadar.
"Kalau begitu ceritakan tentang buku tadi. Hir--apa namanya, Hiruan--"
"Hirawan Bulao," potong Kinnas spontan.
"Itu dia, Hirawan Bulao. Kau mengatakan jika buku itu membahas tentang Berliana Biru, dan mengambilnya dari perpustakaan Snasa." Cahya berhenti sejenak sebelum kembali melanjutkan, "dan tentang kalung perak tadi, apa benar ada hubungannya dengan Berliana Biru?"
Kinnas terdiam. Ia sedikit menyesal sebab dulu menunjukkan buku Hirawan Bulao pada Cahya. Celakanya lagi, Cahya melihat Kinnas membuka buku bersampul cokelat itu menggunakan kekuatannya, saat berada di dugout bagian pojok. Mengakibatkan mereka sampai berlarian di sepanjang lorong begitu Cahya menarik paksa buku Hirawan Bulao dari genggaman Kinnas.
"Boleh aku meminjam bukunya, Kin."
Lantas Kinnas menoleh. "Untuk apa?"
"Membacanya tentu saja."
Embusan napas kasar terdengar, disusul decakan kesal dari mulut Kinnas yang bersandar pada kursi bus. "Tidak."
"Aku mohon, Kin. Aku hanya meminjamnya, bukan mencurinya." Cahya menarik ujung kemeja putih Kinnas yang tidak lagi tertutup almamater.
"Tidak, Cahya."
"Aku ingin tahu apa Berliana Biru benar nyata."
"Sudah ku katakan, tidak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasy"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...