Sudah lebih dari lima belas menit Kinnas diam setelah Adrea membawanya kemari, ruangan aula, selepas bel pulang berbunyi. Masalah baru yang sempat Adrea katakan kembali menghadirkan pening tak berkesudahan. Kinnas tahu, hal ini pasti akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, Kinnas belum sesiap itu untuk datang ke Istana sebagai tersangka yang mencuri buku Hirawan Bulao. Meskipun kenyataannya tidak demikian.
"Tidak ada cara untuk menghindar."
Adrea bersuara, membuat rasa takut Kinnas semakin menjadi. Gadis yang terus mendekap ransel berisi buku Hirawan Bulao itu menggeser tubuhnya, mendekati Adrea di samping kanan. "Apa kita akan dihukum?"
"Dihukum bukan hal yang berat, Kinnas."
"Lalu?"
"Konsekuensi." Adrea bersandar pada pinggiran kursi. "Aku hampir gila karena mencari cara agar tetap hidup setelah melewati bulan purnama nanti."
"A-apa kita perlu melakukan ritual terakhir?"
"Kau seberani itu?"
Lekas Kinnas menggeleng, ia tak mempunyai keberanian sebanyak itu untuk kembali melakukan ritual ketiga. Penyesalan menyerangnya, menghardik Kinnas hingga rasanya ia ingin menangis, lagi. Mengetahui akibat saja sudah membuatnya kalang kabut, apalagi sampai nekat melanjutkan proses permohonan pada Berliana Biru.
"Sebenarnya aku masih penasaran." Adrea menoleh guna menatap Kinnas. "Siapa yang menaruh Berliana Biru ke dalam tas jinjingku, dan meletakkan buku Hirawan Bulao di perpustakaan Snasa."
Benar, batin Kinnas. Ia langsung tersadar dan memandang Adrea lekat. "Apa kita perlu mencarinya?"
"Kita tak mempunyai banyak waktu."
"Tapi kita bisa mengatakannya pada Raja Andreas ataupun Ratu Sybl nanti."
"Ide bagus."
Adrea tersenyum kecil, begitupun Kinnas. Sama-sama mengangguk setuju, keduanya lantas beranjak berdiri untuk keluar dari ruangan aula. Menghirup kembali udara bebas mengingat mereka tidak bisa hidup tenang setelah ini. Entah itu tentang mendapatkan hukuman dari pihak Istana, atau juga menghadapi kematian sesuai konsekuensi menjadi perempuan 'pemilik'.
Poin terakhir terdengar mengerikan, memang. Adrea bahkan tak bisa berhenti merasa cemas sampai ia susah tidur selama beberapa malam. Kinnas sedikit berbeda, pemikiran yang menggebu membuatnya sulit fokus dalam rutinitas keseharian. Sekali lagi, andai waktu bisa diputar, keduanya mungkin saja masih hidup santai layaknya remaja pada umumnya. Di mana peliknya Matematika masih menjadi permasalahan utama.
"Tunggu! Kalian di sini ternyata." Arsen datang selepas berlari, berhenti tepat di depan Adrea dan Kinnas.
"Ada apa, Sen?" tanya Adrea kebingungan.
Pemuda tanpa almamater itu sontak menunjuk ke arah gerbang Snasa. "D-di sana ... di sana mobil dari dari Istana ... menunggu kalian berdua."
Adrea dan Kinnas mengerjap cepat lalu saling pandang. Lama mereka terpaku, menyiapkan mental untuk menghadapi persoalan paling rumit berupa datang ke tempat singgah Raja. Kali ini, Adrea tidak kesenangan ketika dijemput mobil mewah dari Istana. Ia hanya merasa jika semua ini hanyalah jalan pintas yang membuatnya malu sekaligus takut secara bersamaan. Tak ubahnya Kinnas, ia terus melangkah seraya mengeluarkan buku Hirawan Bulao kemudian menyerahkannya pada Adrea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasía"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...