Andreas masih membaca surat kabar, lumayan lama, ditemani sepiring biskuit cokelat beserta satu gadis duduk di depannya. Sejenak, obrolan panjang mereka harus terputus untuk mengisi waktu dengan keheningan. Adrea hanya mengamati sekitaran taman, tak terlalu asing--menurutnya, sebab beberapa kali ia pernah ke sini.
"Aku hampir lupa." Andreas meletakkan koran itu di atas meja. "Selamat atas kembalinya karirmu sebagai figure skater, Adrea."
"Terima kasih, Yang Mulia." Adrea sedikit menundukkan kepalanya.
Sesaat, Andreas tersenyum seraya memberi kode pada seorang penjaga yang baru saja datang. Ia mengarahkan untuk pergi, lalu mengatakan akan datang sebentar lagi. Merasa sudah aman, Andreas kembali menatap Adrea lamat-lamat.
"Sepertinya ada yang menggangu pikiranmu, Adrea."
Sontak, si empunya nama mendongak. "T-tidak, hanya--"
"Katakan, ingin menanyakan sesuatu?"
Adrea menggigit bibir, matanya melirik ke sana kemari seperti mempertimbangkan tawaran sang Raja. Kendati rasa penasaran belum hilang sepenuhnya, Adrea memberanikan diri untuk bertanya. Hanya sekedar, tidak memiliki niat terselubung.
"Tentang lembar ketiga di buku Hirawan Bulao." Adrea menjeda kalimatnya sebentar kemudian melanjutkan, "kenapa, buku Hirawan Bulao memunculkan isi lembar ketiga, tetapi terkadang juga tidak?"
Andreas tersenyum. "Buku Hirawan Bulao mengetahui niat orang yang sedang memegangnya kala itu. Jika hatinya, tidak percaya akan keberadaan Berliana Biru, ataupun memiliki niat buruk ... maka lembar ketiga tidak akan muncul. Begitu juga sebaliknya."
"Niat buruk?" Adrea mengerutkan kening, belum sepenuhnya paham.
"Benar. Niat buruk seperti mencelakakan orang lain."
"Tapi, kenapa waktu itu Lyana juga tidak melihat isi lembar ketiga?"
"Karena niatnya ingin menghidupkan kembali sosok Ayahnya." Andreas menghela napas. "Berliana Biru tidak sekuat itu untuk membangkitkan orang yang sudah meninggal. Bahkan, belum ada kekuatan sihir yang bisa melakukan hal tersebut."
Adrea mengangguk, ia lekas mengerti. "Terima kasih atas penjelasannya, Yang Mulia."
Hening. Adrea memainkan pita kecil di kemeja birunya guna mengusir rasa bosan. Tadi, gadis itu sempat terkejut tatkala mendapatkan undangan penjamuan dari Istana. Rasa takut mulai memenuhi pikirannya, tetapi segera enyah ketika mendengar penjelasan salah satu penjaga, bahwa Andreas hanya ingin berbincang ringan dengannya.
"Kau dan temanmu berhasil melakukan ritual kedua, apa banyak menemukan teka-teki?" tanya Andreas memecah keheningan.
"Banyak." Adrea menjawab. "Bahkan, aku pernah kembali ke masa lalu."
"Apa yang kau lihat di sana?" Ekspresi Andreas tampak santai, tidak terperangah sedikitpun.
Adrea menelan ludah. "Aku selalu melihat dua orang perempuan. Aurora dan Azura."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hirawan Bulao [End]
Fantasy"Berlian itu berbahaya. Bila si 'pemilik' tidak bisa melakukan ritual sampai akhir, maka nyawamu akan menjadi taruhannya." Adrea--mantan atlet ice skating harus kelimpungan ketika mendapati batu Berliana Biru yang terkenal ajaib, di dalam tote bag p...