二十一 | Hal yang Disembunyikan Ezra #1

344 69 21
                                    

Satu persatu karyawan meninggalkan ruang rapat, menyisakan aku sendirian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu persatu karyawan meninggalkan ruang rapat, menyisakan aku sendirian. Ambruk di kursi yang tak begitu empuk, lalu mendesah lega. Sedikit memecah sunyi dan menginterupsi suara AC yang tengah menyala. Tak kuhiraukan berkas-berkas yang berceceran di atas meja. Aku memilih meletakkan kepalaku, bergabung dengan mereka. Pening bukan main rasanya.

Sepanjang rapat tadi, aku tidak bisa fokus. Presentasi yang mereka lakukan bagaikan angin lalu, yang berembus ke sana ke mari. Sama sekali tidak melekat di otak padahal materi yang disampaikan penting karena berisi rancangan proyek baru. Sejak tadi, bukan, sejak berangkat ke kantor, kedua mata dan kepalaku terasa berat. Kantuk menguasai tubuhku. Tentu, gara-gara begadang semalaman.

Setelah kepergian Ezra semalam, tak ada jeda sedetik pun bagi pikiran dan hatiku untuk berhenti. Ucapannya yang terakhir, bergaung dan berputar-putar di kepala terus-menerus. Sementara perasaan rindu dan kalut yang muncul saat menatapnya, bergelung-gelung tanpa henti di dalam dada sebagaimana ombak di lautan. Mereka semua mengusir kantuk sehingga aku tidak bisa beristirahat.

Sungguh, aku tidak mengerti.
Daripada saat bersama mas Bintang atau mantanku yang lain, perasaan pada Ezra jauh lebih meletup-letup. Kepalaku pun tidak mau berhenti mengingat tentangnya. Terlepas dari jangka waktu pertemuan atau perhatian yang diberikan, Ezra yang lebih mampu memporak-porandakan diriku. Meski begitu, dugaan Ezra adalah Edward belum sirna di kepala. Kesamaan perasaan ini masih membelenggu diriku.

Aku jadi ingin menemuinya, mengeluarkan semua yang ada di pikiran dan perasaan, namun takut malah Ezra akan menjauh setelahnya. 

Tok Tok Tok

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu. Aku tak bergeming tuk sekadar melihat siapa yang datang. Membiarkan ketukan itu berlalu di udara, hingga tergantikan dengan suara hak sepatu beradu dengan lantai. Setiap langkahnya membunuh sunyi yang mengelilingiku, juga turut membuat pegal telinga—lelah membuatku sensitif terhadap apapun. Suaranya semakin dekat kemudian hilang. Aku merasa seseorang itu sudah berada di dekatku.

"Permisi, Bu. Ibu punya jadwal makan siang dengan pak Adi," suara lembut yang tengah berbicara padaku, pasti milik Kanaya, si asisten yang baru masuk setelah sakit selama beberapa hari.

Apa tadi katanya? Makan siang dengan si Bintang laut?

Oh, aku lupa. Lelaki itu sendiri yang memasukkan jadwal makan siang dengannya ke dalam jadwalku. Tidak setiap hari, memang. Ada setidaknya tiga kali dalam seminggu—dan salah satunya jatuh di hari ini.

"Batalin. Aku pusing banget," pintaku. Masih dengan posisi begini.

"Baik, Bu. Akan segera saya sampaikan ke pak Adi," untung Kanaya tidak membela si Bintang laut meski lelaki itu yang mempekerjakannya.

"Oh, ya, Nay, minta tolong bawakan teh habis ini, ya," pintaku sekali lagi.

"Baik, Bu,"

Setelah kepergian Kanaya, aku menegakkan badan. Dengan malas, aku membereskan berkas-berkas di atas meja. Mengurutkan sesuai subjek, dan menumpuknya menjadi satu. Saat akan kembali menaruh kepala, Kanaya datang dengan secangkir teh. Aroma melati yang klasik tertangkap oleh indra penciumanku begitu Kanaya datang mendekat.

Arcane ft Han JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang