Indah menyimak setengah-setengah pembicaraan teman-teman seruangannya seraya mengunyah batagor dengan kebosanan. Sedari tadi temannya asyik sekali membahas uang panaik yang menjadi momok bagi cowok-cowok suku Bugis di Sulawesi.
Indah sama sekali tidak menyangka uang panaik ternyata banyak diceritakan oleh orang-orang di luar pulau Sulawesi. Wajar saja, inilah pertama kalinya dia merantau ke Jakarta, jarang sekali ditemukan suku Bugis di tempat ini. Sekalinya ketemu, logat mereka sudat berbeda. Namun, Indah tidak menyangka pembahasan uang panaik bagi organisasi budaya di kampusnya begitu menarik. Jika dipikir-pikir, siapa juga yang tidak tertarik mendengar betapa sulitnya menikahi cewek Bugis. Cowok-cowok dari suku manapun harus menyiapkan uang panai. Dengar-dengar katanya uang panaik terendah saat ini adalah 75 juta. Gila!
"Andi Batari Indah, cewek Bugis yang merantau ke Jakarta buat kuliah. Kenapa atuh, Neng jauh-jauh kuliahnya?" Mesya menyenggol pelan bahu Indah yang sangat jelas tidak tertarik dengan topik kali ini.
Indah menghela napas. Dia melihat teman-temannya satu persatu. Tidak menyangka mereka sudah berteman selama sebulan dan sangat cepat akrab layaknya teman lama.
"Emang kenapa Neng Mesya kalau aku kuliahnya jauh?" Indah balas tersenyum. Berbicara dengan Mesya memang semenyenangkan ini, tutur kata nan lembut cewek Sunda ini selalu menariknya ikut berbicara demikian.
Teman-teman seruangan yang lain, yang asli dari Jakarta kontan tertawa. Aneh saja rasanya mendengar kata aku diucapkan di antara mereka, terkesan kaku.
"Pasti ngetawain aku lagi, kan? Memangnya aneh?" Indah menyangga dagu sambil kembali menusuk batagor.
"Aneh buat kita-kita. Cuma, kita paham, kok, kalau lo belum terbiasa aja sama lo-gue di sini. Nanti lo juga ketularan," sahut salah-satu di antara mereka.
"Eh ngomong-ngomong, Ndah, emang beneran uang panaik setinggu itu? Harus?" Mesya kembali ke topik pembicaraan, sangat tertarik membahas ini lebih jauh dengan orang yang bersinggungan langsung dengan uang panaik.
Indah menghela napas. Memikiran itu saja membuatnya sakit kepala, apalagi jika suatu saat nanti gilirannya tiba menerima pinangan seseorang. "Bener, Sya. Sekarang jaraaang banget ada cewek Bugis yang nikah di bawah 75 juta. Rata-rata sekarang miliaran, sih."
Semua teman-temannya berhenti mengunyah, memandang Indah dengan raut tidak percaya. Hingga ketika seorang cowok bergabung di antara mereka dan ikut menanyakan hal serupa, barulah pandangan mereka berpindah objek.
"Harus miliaran?" Cowok berambut agak panjang dan lepek hingga hampir menutup sebelah matanya itu melihat Indah dengan penasaran.
"Kamu siapa?" Indah membalas dengan jutek dan memasang muka datar. Masih tidak terima jantungnya hampir copot karena kehadiran si cowok yang tiba-tiba.
"Ah, sori. Aku Gie Angga. Bisa dipanggil Gie." Gie mengulurkan tangan, bermaksud menjabat tangan Indah sebagai bentuk pertemanan. Bagaimanapun juga, Gie harus berteman dengan Indah untuk menyelesaikan projeknya.
"Entaran, Ndah. Bentar lagi kuliah kedua. Lima menit lagi, buruan." Mesya bangkit, segera menyusul yang lain meskipun penasaran dengan Gie.
Indah menurut saja. Bisa-bisa dia tidak diizinkan masuk ruangan kalau telat. Namun, Gie tidak menyerah begitu saja.
"Indah! Nama kamu Indah. Kapan-kapan kita ketemu lagi. Aku pengen bicara tentang uang panaik."
"Sama aku?" Indah melotot.
Gie mengangguk sambil tersenyum. "Iya, sama kamu."
"Gila!"
Gie melotot. Apa ada yang salah? Dia hanya ingin menggali lebih dalam tentang uang panaik. Kenapa harus dikatai gila?
---
Hati-hati bicara panaik ya minasan🤣
Next, going to the first chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...