Usai Di sini: 21

29 1 1
                                    

Indah sudah hampir satu jam mengelilingi banyak rak buku di toko buku hanya untuk menunggu acara Meet and Great penulis favoritnya dimulai. Sebulan lamanya Indah menunggu bulan ini, dan dia berharap penantiannya membuahkan hasil yang dimimpikannya. Selama ini Indah tidak memiliki keberanian untuk mencari kabar orang hingga saat ini masih mengisi hati dan pikirannya.

Keputusannya beberapa tahun silam cukup membuat Indah tutup mulut, mengikuti perintah orang tuanya, dan belajar melupakan jika dia mampu karena Indah pun tahu sebenarnya tak ada cahaya untuk mereka bersama. Indah ingat janji mereka bersama, dia bahkan masih menyimpan tulisan Gie di bukunya, tapi Indah ragu bahwa Gie masih merasakan hal yang sama seperti tahun-tahun selama mereka bersama.

Indah meraih satu novel tanpa membaca blurb. Dia segera membayar buku itu lalu segera ke tempat acara dimulai meski sebenarnya acara masih sedikit lebih lama akan dimulai. Indah bersandar pada pinggiran lantai dua, menatap ke bawah. Jejeran kursi diatur rapi, panggung latar putih dengan wajah dan nama yang sangat Indah kenali. Indah memejam sejenak, merasakan air matanya mengalir.

"Lihatin siapa?"

Indah langsung membelalak ketika menoleh ke sebelah kanannya dan mendapati orang yang sedang dan selalu berada di pikirannya kini ada di depannya. Dia menutup mulut karena terlalu terkejut. Ingin sekali Indah memeluk cowok di depannya dengan erat sebagai tanda bahwa rindunya sebesar itu. Namun, bayang-bayang akan keputusannya dulu membuatnya urung. Matanya hanya menatap berkaca-kaca cowok yang sedang mengenakan topi hitam dan kini menampakkan senyum yang sangat Indah sukai.

"Kamu lihatin siapa, Indah?" tanya Gie sekali lagi.

Indah menurukan tangannya perlahan setelah menyeka air matanya. "Aku lihatin kamu, Gie."

Gie tersenyum, dia langsung menarik Indah ke dalam pelukannya. "Kamu gak perlu lihat aku di spanduk itu lagi, Ndah. Sekarang aku ada di depan kamu. Gie yang asli ada di sini."

Indah kembali menjatuhkan air matanya, kali ini lebih deras. Bahunya sampai bergetar hebat, tangannya memeluk erat-erat Gie. "Kamu di sini, Gie. Akhirnya aku ketemu kamu."

Gie mengelus-elus rambut panjang Indah seraya mencium pucuk kepala gadis itu. Beberapa tahun silam, dia tidak pernah bisa melakukan ini dengan Indah meski dia mau. Setelah bertemu dengan Sultan dulu terlalu membuat mentalnya terpuruk meski harapannya sangat besar untuk bersama Indah. Sudah lama sekali Gie menunggu saat ini, tapi apakah semua bisa berubah dengan keadaannya yang sekarang?

"Aku selalu nungguin saat ini, Ndah. Waktu di mana ada kamu dan aku. Waktu di mana aku bisa ketemu kamu ...." Gie menggantung kalimatnya sejenak lalu membuang napas pelan. "Ada satu waktu lagi yang aku tunggu."

Indah melepaskan diri dari Gie. Dia menatap cowok itu dengan pandangan bingung. "Apa?"

Gie tersenyum tipis. "Waktu ketika aku bisa sama kamu untuk selamanya."

Sejenak Indah mematung, berusaha mengendalikan raut wajahnya agar tidak terlihat murung. Indah sudah mempersiapkan segalanya, termasuk menampakkan wajah ceria ketika bertemu Gie. Namun, mengingat takdir yang telah tercipta untuknya, Indah begitu sulit mengatur segalanya agar berjalan baik-baik saja, termasuk jalannya perpisahan dengan resmi. Ya, baginya perpisahan yang dulu adalah hal tersulit baginya. Kali ini, Indah mau perpisahan ini membuahkan keikhlasan untuk mereka berdua, meski perpisahan tetaplah perpisahan yang selalu menyuguhkan sakit.

Sadar ada yang berbeda dari raut Indah, Gie memegang pundak gadis itu. "Kamu kenapa? Kamu baik, kan? Cita-cita kamu udah kesampaian?"

Indah tersenyum sebelum menjawab. "Kayaknya aku gak bisa bohongin kamu, Gie. Gimanapun, kamu pernah dekat sama aku, sampai sekarang kamu adalah orang yang berhasil ada di hatiku sampai saat ini."

Mendengar itu, Gie mengembangkan senyum. "Sampai detik ini aku juga seperti itu, Indah. Aku mau kita sama-sama. Lupakan tentang suku, lupakan perbedaan. Aku bukanlah Gie yang dulu. Kali ini aku datang untuk bertemu dengan orang tuamu dan bicara baik-baik untuk kita."

Indah menggeleng sambil tersenyum tipis, berusaha tegar. Dia tidak mau menangis. Dia ingin mengakhiri perpisahan ini tanpa memperlihatkan bahwa dirinya menderita. Dia harus terlihat baik-baik saja.

"Apa maksud kamu, Indah? Aku ke sini untuk kamu. Aku udah buktiin kalau aku bisa jadi penulis hebat. Aku udah buktiin kalau aku bukan orang gagal karena jurusan kuliahku, Ndah!"

"Gak, Gie! Aku gak pernah setuju kamu bilang kayak gitu," ucap Indah penuh penekanan di setiap katanya. "Kamu gak pernah gagal di mataku. Kamu gak perlu membuktikan apa-apa." Kali ini pertahanan Indah benar-benar luruh, air matanya jatuh saat itu juga. "Kamu selalu menjadi sumber inspirasiku, Gie. Di mataku kamu orang yang luar biasa. Kakak aku aja yang kelewatan, orang tua aku aja yang gak bisa menghargai."

Indah diam sejenak untuk mengatur napasnya yang menggebu-gebu. Selain itu, dia berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk yang kesekian kali sebelum mengucapkan keputusannya meskipun sebenarnya Gie sudah tahu apa yang akan dia sampaikan.

"Jangan diteruskan, Ndah. Aku gak mau dengar lagi," larang Gie seraya memegang pembatas lantai dua.

Indah menggeleng, semua benar-benar harus berakhir baik-baik. Untuk inilah Indah menginginkan pertemuan mereka, mengakhiri semuanya. Bagaimanapun juga, Indah sadar mereka tidak akan bisa bersama. Orang tuanya tidak akan menerima, terlebih keluarga besarnya. Mereka semua menginginkan Indah bersama dengan orang yang sesuku dengannya.

"Aku harus bilang ini, Gie. Aku mau kita berhenti baik-baik dan menerima semuanya." Indah mengeluarkan buku catatanya berwarna cokelat yang selalu dia bawa saat kuliah di Jakarta dulu. Indah membuka halaman terakhir dan memperlihatkan tulisan Gie di sana. "Tulisan kamu, Gie. Tapi ini janji kita. Maaf ... aku gak bisa tepatin ini."

Gie memukul pinggiran bisa penyangga. Dia belum mau melihat Indah. Dia tidak mau mempercayai pendengarannya. Semua ini salah!

"Aku lakuin ini demi kamu, Gie."

"Demi aku? Kamu salah, Indah!" bantah Gie.

Indah menggeleng sambil menyeka air matanya. "Aku lakuin ini untuk kamu, Gie. Kita memang merasakan sakit saat ini, tapi kalau kita sama-sama kita akan jauh lebih sakit, kita akan menderita, bahkan kamu yang akan jauh lebih menderita dibanding aku."

"Ini gak benar, Ndah. Aku gak setuju."

"Percaya sama aku, Gie. Selama ini aku selalu mendoakan kita sama-sama, aku selalu mengusahakan kamu di dalam doaku, berbicara baik-baik dengan orang tuaku, tapi akhirnya mereka tetap tidak setuju. Kita memang gak bisa sama-sama, Gie."

Gie menggeleng kuat-kuat. "Biar aku yang bertemu orang tuamu, Indah."

"Cukup, Gie. Aku mau kita berhenti di sini dan ... dan semoga kamu bahagia dengan yang lain. Aku akan baik-baik aja, dan kamu pun akan baik-baik aja."

Gie menatap Indah dengan tatapan sedih dan tidak percaya. Bukan akhir seperti ini yang Gie harapkan. Dia sudah berusaha hingga detik ini, berusaha menjadi pantas untuk Indah.

"Terima kasih sudah berjuang. Kamu pantas dengan orang yang bisa menghargai kamu dan keluargamu, Gie. Bukan seperti aku dan keluargaku. Aku pamit."

Pada akhirnya Gie hanya bisa mematung mendengar ucapan Indah. Indah memang benar, tapi perasaannya tidak bisa menerima ini semua. Matanya menatap punggung Indah yang telah melangkah dari hadapannya. Sebelum gadis itu benar-benar pergi, Gie menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya.

"Indah, semoga kamu bahagia. Cerita kita memang cukup sampai di sini."

Indah tidak berhenti berjalan, dia mengangguk dalam diam sambil menjatuhkan air mata. Setidaknya semua benar-benar usai di sini meski hatinya belum mau berhenti, meski dia harus mati-matian mengikhlaskan semuanya. Karena hidup memang tentang menerima segalanya.

-The End-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang