Sembunyi: 11

14 1 0
                                    

Gie menatap gedung putih di depannya. Hampir sebulan lamanya dia tidak pernah mengunjungi tempat ini lagi. Selain sibuk kuliah, organisasi, dan bekerja, dia jadi kesulitan mengatur waktu. Memang benar, kuliah sambil kerja tidak gampang. Tidak ada waktu mengecek pesan masuk, bahkan ketika teman-temannya ingin mengabari, mereka pasti memilih menelpon daripada mengirim pesan. Seperti itu pula Gie menghubungi Indah.

Gie sesekali memang mengirim pesan, ketika Indah terlambat membalas dia tidak lagi membuka aplikasi pesan itu. Jadilah percakapan yang selalu mereka lakukan kini tidak seintens dulu. Gie pernah menelpon Indah, berbicara sebentar karena Indah buru-buru mematikan sambungan.

Sebenarnya Gie tidak terlalu tahu kondisi Indah setelah gadis itu memilih menyidang kakaknya karena masalah dirinya direndahkan. Gie tahu setelah kejadian itu, Sultan marah besar, hanya sebatas itu. Selebihnya, Gie tidak tahu menahu apa yang terjadi sebab Indah menolak bercerita dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tentu saja Gie tidak percaya, dia mencoba mengetahui apa yang terjadi secara pelan-pelan meskipun sulit sekali mendapatkan informasi yang dia mau.

Selasa, inilah hari yang ditunggu-tunggu. Sudah lama sekali dia tidak bertemu Indah. Selasa-selasa yang telah berlalu ternyata tidak membuatnya menemukan Indah di depan gedung farmasi seperti biasanya. Gie tahu setiap hari hubungannya tidak berjalan semestinya. Sekarang dia tetap berharap dapat bertemu Indah di sini, berharap Indah membalas pesannya.

"Gie."

Gie sontak menoleh ke arah sumber suara setelah beberapa menit terus mendongak. Dia membulatkan mata mendapati kehadiran Indah di sebelahnya, detik berikutnya dia menghela napas lega.

"Kamu dari mana aja? Aku udah dari selasa-selasa lalu nungguin kamu di sini."

Indah tertawa sambil mengajak Gie duduk di kursi taman favorit mereka. "Iya, sori. Aku lagi banyak praktek dari minggu-minggu lalu. Fokus belajar, maaf ya." Dia tidak berbohong, Indah memang sungguh-sungguh belajar, takut nilainya turun dan diketahui oleh mamanya. Jika sampai itu terjadi, hubungannya dan Gie akan semakin sulit dipertahankan. Gie bahkan tidak tahu fakta ini.

Gie mengangguk-angguk, dia pun sama sibuknya. Meskipun demikian, dia tidak mempermasalahkan alasan Indah. Selama dia bisa bertemu gadis itu, Gie sudah sangat senang.

"Kita jadi jarang komunikasi, ya. Kita udah jarang ketemu juga. Kamu apa kabar?" Gie tersenyum tipis ketika melihat Indah yang justru berkaca-kaca hingga membuat Gie panik. "Kamu kenapa?"

Indah menggeleng pelan, berusaha meredam sakit yang tiba-tiba muncul di hati. Entah sampai kapan dia bisa berdiam diri dengan tekanan yang diberikan oleh keluarganya. Setahun lalu semua baik-baik saja, tapi kenapa keadaan begitu mudah terbalik. "Aku baik, Gie. Aku kangen jalan-jalan bareng. Kamu masih punya janji, lho, mau bawa aku jalan-jalan pakai motor kamu."

Gie menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu tertawa. "Iya, aku bakalan tepatin janji itu. Maaf, akhir-akhir ini aku juga gak bisa atur waktuku sampai lupa janji. Aku ngikutin kamu kapan bisanya."

Indah tertawa, tapi matanya justru mengeluarkan air mata. Jelas itu bukan bahagia. Jika saja Gie bisa paham betapa berat menuruti keinginan itu. Namun, kali ini Indah tidak mau kalah. Selama hampir sebulan, kepalanya terus diburu khawatir sebab terlalu memikirkan nasibnya bersama Gie. Dia terlalu memforsir diri memahami mata kuliah yang dihadapinya. Hidup yang sebelumnya penuh warna, tiba-tiba kehilangan semua gradasi indah yang pernah menetap.

"Indah, kalau kamu ada masalah cerita sama aku. Apalagi kalau itu melibatkan aku juga." Meskipun Indah tidak pernah mengungkapkan masalahnya, tapi Gie yakin kali ini ada kaitannya dengan masalah di malam itu.

Indah membuang napas kuat-kuat lalu memandang Gie sambil tersenyum lebar. "Aku pengen kita jalan-jalan setelah semester ini selesai, dua bulan lagi, bukan?"

"Aku setuju, tapi sebelum kita pergi aku pengen tau apa yang kamu sembunyikan, Ndah. Aku tau ada yang gak beres setelah kamu menangis malam itu."

Indah bangkit dari duduknya, dia melirik arloji. "Aku harus pergi sekarang, Gie."

"Pulang?"

Indah mengangguk lalu melangkah. Dia berhenti sebentar sebelum benar-benar melanjutkan langkahnya. "Selama hampir sebulan ini, aku lanjutin novel yang kita tulis, Gie. Setelah kamu baca, kamu yang lanjutin, ya. Nanti malam aku kirim chapter terbarunya."

"Indah! Setidaknya kamu jawab pertanyaan aku."

Pada akhirnya Gie tidak mendapatkan penjelasan apapun. Gie selalu gagal meluluhkan keras kepala Indah. Pertemuan kali ini membuat hatinya tidak tenang. Jelas ada yang tidak beres dengan Indah. Sekarang dia harus pergi membawa pikiran negatif yang tak pernah berkurang. Gie menatap gedung putih sekali lagi, detik itu dia melihat Mesya, teman yang selalu berada di dekat Indah. Dia pun berlari mendekati Mesya.

"Kamu teman Indah, kan?"

"Gie?"

Gie mengembuskan napas lega. "Iya, aku Gie. Aku boleh nanya sesuatu tentang Indah? Oh iya, nama kamu?"

Mesya memandang Gie dengan tatapan bertanya-tanya, sama ketika menatap Indah akhir-akhir ini. "Aku Mesya. Kenapa sama Indah?"

Gie mengajak Mesya ke tempat duduknya tadi. Beruntung, Mesya tidak keberatan. "Kamu udah gak ada mata kuliah lagi, kan?" Ketika mendapati anggukan Mesya, Gie kembali melanjutkan ucapannya. "Indah baik-baik aja? Gak ada yang aneh sama dia, kan, selama ini?"

Mesya semakin bingung. Justru pertanyaan itu ingin Mesya lontarkan kepada Gie, tapi malah sebaliknya. "Aku pengen nanya itu ke kamu. Tapi kayaknya kita sama-sama gak tau."

Gie menunduk lesu. Memang benar, Indah menyimpan semuanya sendiri. Lantas Gie harus melakukan apa agar bisa mengerti apa yang terjadi. Haruskah Gie mengunjungi Indah ke rumah gadis itu? Untuk sekarang, dia harus menyimpan keberanian itu. Dia takut kehadirannya di sana akan semakin memperburuk suasana.

"Jagain Indah, ya. Ajak dia ke toko buku, Sya. Ajak dia ke perpustakaan, ajak dia jalan-jalan karena dia gak bisa sendiri," ucap Gie seraya bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan Mesya yang terlihat merenung.

Sebelum langkah Gie jauh dari jangkauan suara Mesya, gadis itu angkat suara. "Akhir-akhir ini Indah gak seperti biasanya. Dia selalu melamun, bahkan udah gak pernah bawa mobil lagi ke kampus. Katanya dia dijemput sama kakaknya. Indah juga pendiam, gak seperti biasanya." Ucapan Mesya berhasil membuat Gie berhenti di tempat. Melihat reaksi Gie, Mesya melanjutkan ucapannya. "Kamu berharap aku yang jagain Indah, Gie? Kamu salah. Aku gak akan bisa jagain dia karena Indah maunya kamu. Aku memang gak tau apa yang terjadi, tapi selama kamu bisa perjuangin Indah, perjuangin dia."

Saat Gie berbalik, Mesya sudah berjalan beberapa langkah. Apa tadi Mesya bilang? Kakak Indah? Jadi selama ini Indah tidak pernah membawa kendaraan ke kampus. Entah sampai sejauh mana masalah ini yang tidak Gie ketahui. Satu yang pasti, dia harus turun tangan sekarang.

 Satu yang pasti, dia harus turun tangan sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang