Kehidupan yang adil: 6

27 2 0
                                    

Gie sibuk mencoret-coret tanpa makna kertas kosong di atas meja. Laptop terus menyala, memperlihatkan separuh ketikan yang tentunya belum selesai. Hari ini, dia berniat menyelesaikan salah satu novel yang telah dia kerjakan sebulan lalu. Namun, sulit sekali mengakhiri kisah ini, lebih tepatnya tidak tahu harus memberi akhir seperti apa. Sebelumnya, Gie sudah memiliki ide, tapi di tengah pengerjaan, dia malah berubah pikiran.

Kisah seorang perempuan yang melakukan kawin lari dan tidak pernah disetujui oleh keluarganya. Perempuan itu harus memilih, berpisah dengan sang suami dan nyawa laki-laki yang disayanginya akan selamat, atau tidak berpisah dan nyawa sang suami akan melayang.

Gie menghela napas, tiba-tiba menyesal membuat cerita seperti ini. Dia jadi mengasihani karakter yang dibuatnya. Gie menggebrak meja kantin, menyalurkan stress pada papan datar nan keras, sayangnya dia yang meringis karena tidak kuat menahan kebas di tangan. Beruntung kantin di dekat gedung farmasi sedang tidak ada pengunjung, gebrakannya tidak merugikan siapa pun kecuali dirinya.

Dia melirik jam di ponsel, sedikit lagi Indah selesai dengan kuliahnya. Pagi ini, Gie cuma punya satu mata kuliah dan berakhir sejak pukul sembilan, sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas. Sebelum Indah datang, dia menutup laptop dan memasukkan kertas-kertas tempurnya ke dalam tas agar dia bisa langsung pergi nanti. Gie memang punya janji dengan Indah untuk keperpustakaan nasional hari ini, ingin mencari buku di sana. Maklum, dompet Gie akhir bulan selalu kemarau.

"Udah dari tadi?"

Gie terperanjat ketika suara Indah muncul dari belakang. Dia menengok gadis itu sambil mengelus-elus dada. "Jangan langsung ngomong kayak tadi, Ndah. Bikin kaget aja.

Indah tertawa sambil mengucap maaf. Tanpa mau menunggu lebih lama, dia langsung balik badan meninggalkan Gie yang masih sibuk dengan barang-barangnya.

"Tunggu, Ndah."

"Buruan. Ini pertama kalinya aku ke perpustakaan nasional tau," ucapnya tidak sabaran. Selama di sini, Indah memang tidak sempat bepergian selain ke mall dan kafe. Teman-temannya tidak ada yang mau ke perpustakaan nasional. Ketika Gie mengajaknya kemarin, dia langsung mengiakan.

"Iya, iya tunggu." Gie menyusul kemudian. "Kamu bawa mobil?"

Indah menghela napas. "Ke kampus doang mah gampang. Gampang pakai google map," ujarnya sambil tertawa.

Gie menepuk jidat, tidak percaya kalau Indah benar-benar buta arah. Mungkin hanya kantin gedung farmasi dan ruang-ruang rumahnya saja yang Indah tahu. Selebihnya, gadis ini selalu mengandalkan teman-temannya, makanya dia tidak pernah mengunjungi tempat lain.

"Kamu beruntung, kan, punya aku yang siap sedia ke mana pun kamu mau?" Gie mengangkat alis, menunjukkan betapa berartinya dia di hidup Indah.

Bukannya kesal, Indah malah mengangguk. Namun, begitulah adanya. Dia benar-benar terbantu karena kehadiran Gie. "Iya. Jangan hilang, ya."

Gie terenyuh, kata-kata jangan hilang itu memberi kehangatan dalam hatinya. Jadi begini rasanya menjadi berarti di hidup orang lain. Gie tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tidak ingin terlalu larut, dia kembali melihat kunci mobil yang dipegang Indah. "Kamu pengen bawa mobil ke perpustakaan?"

Indah mengangguk, dan Gie berhasil menciptakan ide yang bagus untuk dikenang cewek ini nantinya. Gie meraih kuncil mobil Indah dan memasukkan benda kecil itu ke dalam tas selempang gadis itu.

"Kamu pernah naik motor?"

Indah menggeleng. "Aku selalu diantar-jemput pakai mobil dari kecil."

Gie semringah dan langsung menarik Indah ke motornya yang terparkir. "Jangan pernah lupain hari di mana kamu pertama kali naik motor, Ndah."

Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang