Acara makan malam baru saja berakhir. Indah ingin segera berlalu ke kamarnya, tidak ingin melakukan pembicaraan apapun bersama keluarganya. Dia tahu sebentar lagi mereka akan membahas Gie. Daripada meladeni, lebih baik Indah ke kamar dan berkomunikasi dengan Gie.
Baru saja kakinya menapaki anak tangga pertama, mamanya langsung menginterupsi pergerakan Indah, melerai anak gadis itu masuk kamar. Indah tidak ingin peduli, tapi entah kenapa kakinya malah berhenti, menolak melangkah lebih jauh.
"Mama ke sini karena mau bicara serius, Indah. Mama tidak mau terus menunda. Ada banyak hal yang harus Mama selesaikan di Bone, begitupun ayahmu."
Halim kali ini diam saja seraya menikmati kopi, tidak ingin menatap Indah. Sebenarnya dia tidak setuju dengan tindakan istrinya, hanya saja dia tidak bisa melerai. Sebaliknya, Sultan duduk santai seraya melayangkan tatapannya pada sang adik, ingin mengetahui seperti apa kelanjutan hubungan adiknya nanti. Istri Sultan memberi tatapan iba dan khawatir ke arah Indah.
Dalam kasus Indah, Bunga yang harus turun tangan. Bukan tanpa sebab Bunga harus bersikap tegas. Sebagai keluarga yang menyandang gelar bangsawan, keluarga berada, tidak seharusnya Indah mengambil risiko. Bunga tidak ingin kejadian beberapa tahun silak terulang, seperti kisahnya dan sang suami saat ini.
"Dengarkan Mama, Indah. Mama sudah tahu tentang Gie dari kakakmu."
Indah belum beraksi, dia bahkan tidak berdiri menghadap meja makan dan memilih menatap anak tangga di depannya. Namun, ketika mamanya mengikuti kalimat Sultan, Indah langsung berbalik dengan cepat dengan wajah memerah, matanya mulai berkaca-kaca.
"Gie suku Jawa, kan? Dia dari jurusan apa? Sastra? Jurusan sastra tidak akan membuat dia berada, Indah. Dia akan hidup luntang-lantung, tidak tahu ingin kerja di mana, hidup dengan cara apa sesuai jurusan dia. Masa depannya tidak terlihat jelas," jelas Bunga.
Indah berjalan dengan penuh amarah ke arah meja makan. Dia berdiri tegak di depan mamanya yang menatap tanpa ekspresi. "Mama tidak tau apa-apa tentang masa depan seseorang. Mama dan Kak Sultan gak punya kemampuan melihat masa depan, kenapa seenaknya mengkerdilkan seseorang hanya karena jurusannya?"
Sultan menarik kasar adiknya untuk duduk karena begitu berani menantang mamanya. "Kemana sopan santunmu, Indah? Dia itu mama!"
Indah berontak, lalu menghempas tangan kakaknya begitu saja. "Diam! Tidak pernah ka minta pendapatmu," deliknya pada Sultan lalu kembali berdiri di depan Bunga. "Mama hebat bisa berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang begitu bermanfaat bagi banyak orang, berpenghasilan banyak, dari keluarga ternama dan bangsawan. Punya privilege yang luar biasa sampai-sampai salah satu anakmu, Ma, tersiksa karena privilege itu!"
"Indah!" Bunga refleks menampar anaknya. Dia tidak bermaksud, tapi tangannya seakan bergerak sendiri.
Indah memegang pipinya yang memanas, tidak gentar terus menatap mamanya. Ini bukan hanya karena Gie, ini tentang kemanusiaan. Di dalam hidupnya, tidak ada kata orang lebih tinggi, lebih hebat, lebih lainnya. Menurutnya semua sama, punya kesempatan yang sama.
"Ma ... aku bersyukur lahir di keluarga ini. Tapi perlu mama ketahui, aku juga tersiksa. Andai aku tau keluarga ini akan mengatur pasangan hidupku juga, udah dari dulu aku membangkang, Ma. Aku capek diatur terus, aku juga punya rencana hidupku sendiri!" Indah tidak dapat mengontrol emosinya yang meluap-luap. Suaranya terus meninggi. Air matanya terus jatuh menggenangi lantai.
"Indah, bukan tanpa sebab Mama ngelarang kamu, Nak. Mama pernah ada di posisi kamu. Dengerin Ma—"
"Dengerin, Mama? Hahaha, Mama gak pernah dengerin aku! Kapan Mama dengerin permintaan aku? Kapan?" bentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...