Menunggu: 15

17 0 0
                                    

Seminggu telah berlalu, tapi momen yang tercipta satu hari dari tujuh hari itu tidak pernah membuat Indah melebarkan senyum setiap kali memikiran Gie. Setelah pertemuan mereka sehabis ujian akhir semester, dia memang tidak pernah lagi berjumpa dengan Gie. Namun, Indah tetap tenang dan bahagia. Kakaknya memang telah merebut nomor ponselnya dan menggantinya dengan nomor lain, tapi Indah tidak mau kehilangan kontak dengan Gie.

Tanpa sepengetahuan kakaknya, malam itu dia dan Gie berkeliling kota. Beruntungnya, tepat hari itu Sultan sedang ada proyek di kota lain dan kakak iparnya sibuk di rumah sakit. Indah benar-benar menghabiskan waktunya bersama Gie hingga pukul dua belas. Dia tidak peduli pertengkaran atau ancaman yang kerap dia dapatkan. Momen seperti ini tidak akan terulang, dan yang lebih menyesakkan Indah adalah dia tidak tahu kapan bisa bertemu Gie lagi.

Sementara itu di sebuah kamar kost yang tampak usang, Gie sedang membaca hasil tulisan Indah dan kini gilirannyalah yang melanjutkan. Gie tersenyum sedih membaca kalimat akhir yang terpatri di sana. Dia yakin sekali kalimat ini adalah curahan hati Indah. Gie tertunduk sedih, tersenyum, meski matanya menangis.

Aku udah milih kamu jadi masa depan aku. Kalau gak sama kamu, aku bukan aku. Janji, ya, kamu jemput aku. Aku selalu nunggu kamu.

Gie tidak bodoh untuk tidak mengetahui posisi Indah saat ini. Dia memang belum mendengarkan apa alasan Indah menangis waktu itu, Indah hanya mengatakan ingin bersamanya. Akan tetapi, Gie juga tahu kalau jalannya tidak mudah. Mengingat ucapan Sultan saja sudah menjadi alarm baginya setiap hari.

Gie menyandarkan kepalanya di tembok. Dia memejam seraya menikmati alunan lagu yang terputar dari laptopnya. Lagu ini sangat menggambarkan perasaannya.

Kan kuarungi tujuh laut samudra
Kan kudaki pegunungan himalaya
Apapun "kan kulakukan tuk dirimu sayang
Kau penjaga hatiku

Karena bersamamu semua terasa indah
Gunda gulana hatiku telah hancur sirnah
Janjiku takkan kulepas
Wahai kau bidadariku dari surga
Tuk selamanya

Memang benar, Indah membuat semua terasa Indah. Ada tenang yang tidak bisa Gie gambarkan ketika bersama Indah, dan hanya dia temukan pada Indah, tidak dengan yang lain. Gie jadi teringat pertemuan terkahir mereka malam itu, di depan monas, tempat terkahir yang mereka kunjungi, di tempat itu pula dia mendengar kalimat Indah seakan-akan mengucapkan perpisahan.

"Gimana kalau aku gak sama kamu, Gie?" Indah menatap lurus puncak monas seraya tersenyum tipis.

Gie langsung menatap Indah dengan kaget. Detik itu juga, dia teringat sesuatu. "Kamu bawa buku planner? Boleh aku pinjam sebentar?"

Indah segera merogoh tas dan mencari buku bersampul cokelat yang kini hampir seluruh kertas kosongnya berisi tulisan. Tanpa berpikir panjang, gadis itu memberikan buku kesayangannya kepada Gie.

Gie segera meraih benda cokelat itu, meraih pulpen dari saku jaketnya, dan sigap membuka halaman terakhir. Di sana terpampang satu harapan mereka berdua, yaitu menjadi penulis. Gie tersenyum seraya membelai tulisannya sendiri. Detik berikutnya, dia menuliskan poin kedua, membuat Indah penasaran. Namun, Gie menolak memperlihatkan tulisannya sebelum selesai.

"Kamu nulis apa, sih, Gie? Aku pengen liat," ucapnya sedikit merengek seraya berusaha meraih bukunya.

"Bentar. Nanti juga kamu liat, kok," tolak Gie, berusaha menjauhkan buku tersebut dari pemiliknya.

Semenit berlalu, Gie kembali menyerahkan benda itu kepada Indah sambil tersenyum. Matanya menatap lurus mata Indah yang justru menatapnya dengan jengkel. Namun, ketika membuka halaman terakhir, tatapan gadis itu malah berubah jadi lebih sendu. Tidak butuh waktu lama bagi Indah untuk menangis.

Bersama di masa depan hingga maut memisahkan. Will you marry me someday?

"Will you marry me someday?" tutur Gie pelan, mengikuti kalimat terakhir yang dia tulis barusan.

Indah menatap Gie sambil menangis. Indah tidak bisa mendeskripsikan perasaannya, entah sedih atau senang. Indah tidak akan menolak. Bagaimana bisa Indah menolak orang yang menghidupkan mimpinya?

"Memang terlalu cepat aku bilang itu, Ndah. Tapi aki serius. Uang panaik aku masih jauh dari kata cukup, aku masih berproses meraih impianku, kamu pun begitu. Tapi aku pengen kamu tau kalau komitmenku gak sekedar komitmen. Someday, aku rela lewatin apa aja selama muaranya kamu. Will you marry me?"

Indah mengangguk sambil berusaha meredakan isakannya, tapi usahanya malah sia-sia. Kesungguhan Gie memukul dan merangkul hatinya di saat yang bersamaan. "I will. Aku mau, Gie. Aku mau nunggu kamu selama apapun prosesmu. Selama sama kamu, aku mau."

Gie langsung merangkul Indah, membelai surai gadis itu dengan penuh kasih sayang, berharap tangisan Indah sedikit mereda. Dia tahu ada yang tidak beres dengan orang yang disayanginya saat ini. Namun, Gie tidak akan meminta Indah bercerita jika bukan gadis itu yang memulai. Dia takut pertanyaannya justru malah melukai. Saat merangkul inilah, Gie mendengar kalimat yang menggambarkan perpisahan bagi mereka.

"Bahkan jika aku gak di sini lagi, aku pasti nungguin kamu di belahan bumi yang lain, Gie," bisik Indah sambil membenamkan kepalanya di pundak Gie.

"Maksud kamu, Ndah?" Gie buru-buru melepaskan rangkulannya.

Indah tersenyum lebar meski air matanya masih menderas. "Aku cuma pengen bilang itu, Gie. Perjalanan kita gak mudah. Akan banyak hal yang menjadi penghalang kita. Salah satunya jarak, sekali pun aku jauh, aku akan selalu nunggu kamu. Kamu yakin, kan, kalau aku bakalan nunggu?"

Gie tertawa sambil mengangguk, matanya ikut berkaca-kaca. "Sama seperti kamu yakin sama usahaku, Ndah. Aku juga yakin sama kamu."

Mereka kembali saling merangkul, menepuk punggung satu sama lain, menenangkan jiwa-jiwa yang menjerit dari dalam. Hubungan mereka memang bukan beda agama, tapi masing-masing percaya sulitnya pun sama.

"Gie ... sama aku gak mudah. Tapi aku akan selalu mencari jalan untuk kita."

Gie tersenyum lembut, ikut membenamkan kepala di pundak Indah. "Sama aku juga gak mudah, Ndah. Aku gak punya banyak harta, masa depanku belum jelas."

Indah tertawa kecil. "Bagi aku komitmen, keberanian, keseriuasan kamu adalah harta, Gie."

Mereka melepas pelukan, beralih mengenggam tangan satu sama lain. Tidak ada pembicaraan, kesedihan dan senang yang bercampur aduk itu membuat mereka bungkam, saling mengarungi sendu di mata mereka. Tanpa berkata-kata, Indah sudah memperlihatkan betapa dirinya berusaha tegar. Gie pun sama, memperlihatkan betapa tenangnya dia untuk menyambut hal-hal yang tidak diinginkan suatu saat nanti.

Gie hanya tidak tahu bahwa waktu bersama Indah tidaklah banyak. Gie bersyukur bisa berada di hari ini sebab tidak ada yang dapat menjamin akan ada waktu yang sama di mana mereka dapat saling mengungkapkan perasaan. Namun, tak dapat dipungkuri dia takut Indah tidak di sini lagi. Ucapan Indah tadi berhasil mempermaikan isi kepalanya.

"Kamu gak akan pergi, kan?" Pada akhirnya, Gie bertanya juga, mengeluarkan pertanyaan besar yang sedari tadi menari-nari dalam kepalanya.

"Kamu gak akan pergi, kan?" Pada akhirnya, Gie bertanya juga, mengeluarkan pertanyaan besar yang sedari tadi menari-nari dalam kepalanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang