Sulit: 9

26 2 0
                                    

Gie dan Indah berakhir di taman sekitaran mal. Gie tadinya hendak pulang, tapi Indah memaksa untuk membicarakan perkara Sultan yang gadis itu curigai. Gie bersandar lelah pada sandaran bangku taman seraya menatap lalu-lalang orang-orang yang ternyata cukup ramai malam ini.

Indah, di sebelah cowok itu, masih asyik bersedekap dada, tidak mau menyerah memaksa Gie bercerita. Rasa penasaran gadis itu sudah tidak tertolong. Wajar saja, kejadian tadi siang membuat Indah berpikir tidak-tidak. Dia pun tahu kalau kakaknya terkadang sulit mengontrol kata-kata saat berbicara jika berhadapan dengan orang yang tidak disukainya.

"Kenapa susah banget buat cerita? Emangnya aku bakalan ngamuk kalau aku tau?" Indah mulai ikut-ikutan menyandarkan punggung, wajahnya semakin ditekuk karena tak kunjung mendapatkan apa yang diminta.

Gie menghela napas, dia tidak ingin Indah menjauh dari hidupnya karena masalah ini. Dia pun sudah berusaha meredam kalimat menyakitkan itu karena baginya Indah sangat berarti. Ketika diminta untuk mengungkit kembali, tak dapat dipungkuri rasa kesal dan emosi kembali merusak pikiran jernihnya.

"Kalau kamu gak jawab, aku simpulin kalau Kak Sultan memang bicara sesuatu yang gak baik sama kamu." Indah mendengkus lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku tau, Gie. Dia kakakku, aku tau dia seperti apa. Tapi izinin aku tau dia ngomong apa sama kamu. Kalau kamu gak mau bilang, aku pastiin aja sama Kak Sultan langsung."

Mendengar itu, Gie langsung menegakkan punggung. Dia tidak ingin Indah dan kakaknya bertengkar karena masalah ini. Namun, bicara ataupun tidak, Indah tetap akan marah pada Sultan.

"Gak papa, Ndah. Aku udah biasa, kok. Aku bahkan gak kepikiran," cegah Gie untuk kesekian kali.

Indah menggeleng kuat-kuat. Jangan panggil dia Indah kalau tidak berhasil membuat Gie mengatakan yang sesungguhnya. "Ya udah. Aku tanya langsung aja sama Kak Sultan."

Gie menelan ludah susah payah. Sudah tidak bisa disembunyikan lagi, mau tidak mau dia harus bilang kalau sebenarnya dia tersinggung. "Tapi kamu harus janji gak bakalan memperpanjang ini sama kakak kamu."

Tanpa berpikir panjang, Indah langsung mengangguk. "Pasti. Pasti diperpanjang," ucap Indah dengan yakin.

"Gimana pun dia kakak kamu, Ndah. Jangan pernah salahin dia. Aku juga harus sadar posisi."

Indah menggeleng tegas. "Gak. Aku gak pernah mau membenarkan perkataan kakak aku yang menyakitkan."

Gie menghela napas, sepertinya sudah tidak ada jalan lain. Dia pun menceritakan semua apa yang pernah Sultan katakan. Selama bercerita, Indah dapat melihat tangan Gie yang mengepal kuat. Gadis itu ikut merasakan kesal, tapi tidak bisa merasakan rasa sakit Gie. Tidak akan ada orang yang suka jika impiannya direndahkan. Wajar kalau Gie marah, Indah bahkan rela jika Gie tidak mau lagi berteman dengannya.

Indah menatap sendu wajah Gie. Napas cowok itu tidak beraturan bahkan setelah Gie menyelesaikan ceritanya. Indah malu, dia ingin kabur dari hadapan Gie sekarang, tapi penyesalan ketika meninggalkan cowok itu seakan-akan menghantuinya. Bagaimana mungkin Indah dapat berkata-kata sekarang di saat dia sudah tahu kondisi ekonomi Gie dan malah dihujat oleh kakaknya.

"Gie ... atas nama kakak aku, aku minta maaf. Aku tau, maaf aku gak bisa ngobatin kecewa, sakit hati, marah kamu. Aku janji, aku bakalan buat Kak Sultan minta maaf sama kamu, Gie."

Mendengar itu seketika bulu kuduk Gie meremang. Dia tahu setelah ini masalahnya akan semakin rumit. Sebenarnya tidak sulit jika Indah menyimpannya saja, tapi mustahil Indah diam saja. "Gak perlu, Ndah. Kamu di sini sama aku aja udah gak buat aku marah. Aku memang kecewa karena impianku direndahin, tapi aku gak berhenti, aku masih berproses. Gak ada orang yang bisa berhentiin aku kecuali aku sendiri, Ndah. Percaya sama aku."

Indah berdiri kesal. Dia tidak terima Gie justru anteng-anteng saja. "Gak! Sekalipun dia kakak aku, ucapan dia gak boleh dibiarin. Orang tua aku gak pernah ngajarin buat rendahin orang." Indah mengatur napas sejenak yang terus memburu. "Aku percaya kamu akan dapat apa yang kamu semogakan Gie. Aku percaya gak ada orang yang bisa buat kamu mundur. Tapi aku juga percaya kalau kamu tersiksa."

Gie memejam, berusaha menahan mulutnya agar tidak mengucapkan apa yang terpendam. Akan tetapi, semakin ditahan sulit sekali dikendalikan. Pada akhirnya, dia menyerah. "Aku memang kecewa saat orang lain merendahkan mimpiku, Indah. Tapi yang buat aku jauh lebih kecewa karena kakak kamu yang ngomong. Kakak dari orang yang aku sukai. Rasanya sakit lebih dari yang pernah aku rasain. Aku sengaja gak pernah ngomongin ini sama kamu karena aku takut kita gak bakalan ketemu lagi."

"Bodoh Gie! Kenapa aku harus pergi ninggalin orang yang udah buat mimpiku terasa dekat? Aku gak punya alasan ninggalin kamu! Aku gak mau kita asing hanya karena kakak aku." Indah mulai menangis, dia menunduk dalam-dalam, merasakan sesak yang makin menjadi. "Tapi aku harus sadar diri kalau aku nyakitin kamu, Gie. Kayaknya pertemanan kita gak bakalan baik-baik aja. Kakak aku gak suka kita sama-sama."

Gie menarik Indah kembali duduk di sebelahnya. Dia memegang tangan yang basah karena air mata gadis itu. "Alasan aku tetap ketemu sama kamu meskipun aku kecewa, marah, sedih setelah kejadian itu karena aku gak mau ninggalin kamu. Paham, kan?"

Indah menarik tangannya dari genggaman Gie. "Aku egois kalau biarin kita sama-sama terus, Gie. Tapi aku janji Kak Sultan minta maaf sama kamu."

"Jangan pergi, Ndah. Kalau kamu pergi, novel yang kita tulis bareng-bareng gak akan pernah selesai. Kalau kamu pergi, aku kehilangan orang yang aku sayang, kehilangan orang yang menjadi sumber semangat aku."

Indah semakin terisak. Dia tidak menyangka pertemanannya dengan Gie akan seperti ini. Apakah perbedaan suku dan kasta dalam hubungan memang sulit dan menyakitkan? Namun, banyak orang yang berhasil bersama-sama meskipun mereka berbeda.

"Aku gak mau kehilangan kamu, Gie," isak Indah.

Gie langsung mendekap gadis itu, membiarkan pundaknya basah oleh air mata. "Kalau kita sama-sama, apa kita bisa lewatin perbedaan ini, Ndah? Aku udah terlanjur nyaman dan sayang sama kamu. Aku bahkan gak punya tujuan lain selain kamu dan keluarga aku. Kalian berdua yang jadi semangat aku untuk terus maju."

Gie tidak bisa lagi membendung air matanya. Ini belumlah apa-apa. Dia tau suatu saat nanti jalan ke depannya tidak akan mudah. Namun, Gie tidak mau mundur. Baginya, perasaan Indah sudah menjadi lampu hijau untuk berjuang lebih jauh.

"Kamu mau nunggu aku sukses, Ndah? Aku janji akan datang ke rumahmu suatu saat nanti. Aku janji gak akan ada perempuan lain yang bisa gantiin kamu. Kamu mau nungguin aku?"

Indah memukul punggung Gie. "Aku gak punya alasan nolak nungguin kamu. Aku mau nemenin proses kamu, Gie. Aku mau kita berjuang bareng-bareng. Aku mau kita sama-sama terus."

Dua anak manusia yang berkomitmen meski tahu jalannya tidak akan gampang. Mereka mengesampingkan fakta bahwa bisa saja kenangan indah yang mereka buat akan terasa menyakitkan jika diingat. Keduanya menomorsatukan tak ada usaha yang sia-sia tanpa menyadari ada masa orang akan mundur karena yang diperjuangkan sudah tidak memungkinkan lagi.

 Keduanya menomorsatukan tak ada usaha yang sia-sia tanpa menyadari ada masa orang akan mundur karena yang diperjuangkan sudah tidak memungkinkan lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang