Tahun: 20

17 0 0
                                    

Beberapa tahun kemudian

Seorang cowok berkemeja hitam lengan panjang tanpa dikancing itu berjalan santai menyusuri lorong-lorong yang lumayan ramai siang ini. Maklum, hari Senin adalah pusat keramaian. Sesekali sappan hangat mengudara untuk cowok berumur 25 tahun itu. Dia mengangguk sambil tersenyum lima jari ketika melewati salah satu ruangan kaca tembus pandang. Seisi ruangan menyapa dengan semangat. Ya, mereka baru saja selesai makan siang, jadi energinya kembali terisi.

"Widihhh, penulis sekaligus editor kita yang paling kece baru aja pulang dari tour beberapa kota, nih. Bawa oleh-oleh, gak, Mas Gie?" Salah satu kru penerbitan yang kerap disapa Kang Receh karena mudah sekali tertawa itu memang sangat akrab dengan Gie.

Gie tersenyum semringah sambil menengok ke belakang. "Tuh, Andini udah mergokin aku tadi di mobil. Dia bawa semua oleh-olehnya ke ruang tim admin," jelasnya seraya berniat kembali menatap Kang Receh, tapi orang itu sudah tidak ada di tempat. Suaranya telah menggelegar sambil berlari ke arah ruang admin. "Ya elah, udah di sana aja."

Gie kembali berjalan, hendak memasuki ruang kerjanya. Baru juga melangkah beberapa kali, dia kembali dipanggil. Gie menghela napas pelan.

"Gie? Kok udah kembali? Kirain masih ada beberapa kota lagi yang mau dikunjungi?"

Dia berbalik sambil tersenyum. "Eh, Bang Adam. Iya, Bang, masih ada. Tapi jadwalnya masih tiga hari lagi. Aku milih istirahat di kantor aja daripada tinggal di kota orang selama itu. Lagian aku juga udah keliling-keliling sebelum pulang."

Mas Adam adalah pimpinan redaksi di penerbitan ini. Mas Adam jugalah yang merekrut tulisannya sewaktu dia masih kuliah, masa-masa sulitnya yang berhasil menciptakan sebuah inspirasi. Masa terberat itu dia tuliskan menjadi sebuah novel dan dipblikasikan ke salah-satu platform menulis. Mas Adam yang menemukan tulisan yang belum selesai itu, lebih tepatnya curahan hati Gie. Setelah kejadian itu, dia banyak menuliskan cerita yang cukup membuat beberapa penerbit meliriknya.

Dalam waktu tiga tahun, rezeki mengalir dari hasil tulisannya. Sampailah Gie di titik ini, menerima tawaran Mas Adam menjadi penulis tetap dan editor di penerbitan ini. Selain itu, yang membuat Gie tidak berhenti bersyukur adalah karena namanya tidak hanya melambung dengan pesat hingga bisa dikenal banyak orang, dia juga dapat bekerja dan tidak perlu jauh dari orang tua yang kini sedang membutuhkannya. Gie masih harus membantu mereka untuk membayar utang-utang keluarganya.

"Kota selanjutnya bakalan ke mana, nih?" Mas Adam kembali bertanya seraya mengajak Gie kembali melanjutkan langkah, sehubungan ruangan mereka memang sejalur.

Gie terdiam sejenak. Sejak beberapa minggu dia tidak tenang ketika pihak penerbit memberikan jadwal kota-kota yang harus dikunjungi, salah satunya adalah kota kelahiran Indah, di Bone, Sulawesi Selatan. Gie tidak berubah meski sekarang hidupnya jauh lebih baik dari yang dulu. Dia masih menyimpan komitmennya untuk Indah. Namun, yang dia takutkan adalah Indah. Apakah perempuan itu masih mengingat janji mereka? Apakah Indah benar-benar menunggunya?

Gie tidak pernah mendapatkan kontak Indah selama hampir empat tahun ini. Setelah kepergian perempuan itu, dia juga tidak dapat menghubunginya lagi. Entah bagaimana bisa semua itu terjadi di era teknologi zaman ini. Akan tetapi, beginilah adanya. Hanya satu yang bisa dia harapkan saat ini, yakni namanya yang membumi melalui buku-buku yang telah dia terbitkan dan menyebar di banyak pulau Indonesia.

"Gie? Sehat, kan?" sapa Bang Adam ketika melihat anggotanya malah melamun.

Gie tertawa sambil mengangguk. "Sehat, Bang. Sori, aku malah ngelamun. Kota terakhir di Bone, Sulawesi Selatan."

"Jauh juga, ya. Ya udah, istirahat kalau gitu."

Gie menggeleng, tangannya sudah menggantung di gagang pintu, hendak memasuki ruang editor. "Bentaran. Aku mau beresin tugas ngedit dulu, nanggung soalnya."

Bang Adam berdecak gemas. Gie memang anggota teladan bagi semua kru di penerbitan ini. "Bisa diselesaikan kapan-kapan, lagian naskah yang kamu edit masih dalam antrian tahun depan, Gie."

"Tahun depan sisa dua bulan lagi, Bang," jawabnya seraya tertawa. Setelah itu, dia membuka pintu dan langsung disambut tim editor dengan teriakan heboh.

"Kak Gie! Selamat datang! Mana oleh-olehnya?" ucap mereka serempak.

Gie tertawa kencang, pemandangan seperti ini bukanlah untuk pertama kalinya, sudah berulang kali, bahkan menjadi budaya setiap kali Gie sehabis ke kota lain untuk promosi dan bedah buku, kepulangannya selalu disambut antusias gara-gara makanan khas dari setiap kota yang dikunjunginya.

Sementara itu, di pulau lain, seorang gadis tengah duduk di depan laptop seraya mengacak-ngacak rambutnya. Tangannya memukul-mukul jidat menggunakan pulpen. Mulutnya ikut komat-kamit tidak jelas merapalkan jenis-jenis zat kimia. Indah menghempaskan punggungnya sepasarah mungkin di sandaran kursi. Sudah dua jam lebih dia seperti ini, berusaha memahami sesuatu yang lebih sulit dari biasanya.

Umurnya memang baru dua puluh lima tahun, tapi wajahnya yang kusut menampakkan raut lebih tua dari umurnya. Kalau sudah seperti ini, tangannya akan segera membuka laci kecil yang menjadi bagian meja kerjanya. Sebuah novel dengan guratan nama seseorang yang tidak pernah dia lupakan itu selalu tersimpan di laci ini, dan ketika Indah mulai suntuk, tulisan Gie yang menjadi obatnya.

Kalau mamanya sampai melihat dia membaca novel, mampuslah dia. Sebagai anak magang di tempat mamanya, dia tetap seorang anak magang, tidak ada pengecualian. Mamanya pasti akan murka jika tahu Indah masih mengharapkan Gie. Indah ingin sekali menghubungi cowok itu, sudah empat tahun lamanya tidak ada komunikasi di antara mereka, tapi semua pergerakannya selalu diawasi.

Indah menatap novel yang sedikit lagi selesai dia baca. Tangannya membelai judul buku itu seraya menerawang ke kilasan memori bersama Gie. Ketika pertama kali melihat judul novel ini, Indah langsung menyadari bahwa tulisan Gie kali ini adalah tentang mereka berdua. "The Unbelievable of Happiness" sebuah buku yang tidak perlu Indah baca alurnya karena dia sudah tahu, cuma satu yang belum diketahuinya, bagaimana Gie memberikan akhir kisah mereka di buku terbarunya.

"Gie ... entah berapa lama aku harus nunggu kamu di sini, satu hal yang harus kamu tau kalau aku tetap nungguin kamu di sini selama apapun itu," lirihnya seraya menatap sedih buku catatann cokelat kesayangannya yang sudah tidak memiliki ruang lagi untuk ditulisi.

Indah selalu membawa buku itu ke manapun dia pergi. Ada semangat yang tidak bisa dia jelaskan ketika melihat buku itu. Indah kembali mengecek laptopnya, membuka sosial media dan melihat salah satu penerbit buku cabang di kotanya akan menghadirkan Gie sebagai seorang penulis. Dia ingin ke sana dan membawa novel ini. Dia ingin meminta tanda tangan Gie. Andai bisa, Indah sangat ingin memperlihatkan tanda tangan penulis terkenal itu kepada kakaknya, Sultan bahwa orang yang pernah dia rendahkan kini dikenal banyak orang. Bahkan beberapa cerita Gie berhasil diangkat ke layar lebar.

Indah tertawa, tapi matanya malah meneteskan air mata. Dia rindu, sangat merindukan Gie. Dia berjanji akan bertemu Gie di acara itu. Dia tidak peduli jika sampai ketahuan. Baginya melepaskan rindu dan sesak kepada orang yang telah ditunggu-tunggu adalah obat. Mungkin dengan bertemu Gie, hari-harinya akan lebih baik. Jujur saja, setelah kejadian itu dia bagaikan robot, menghabiskan waktu dengan tugas, tugas, dan tugas, kerja, kerja, dan kerja.

"Aku harus ketemu kamu, Gie, meskipun resikonya harus buat aku ninggalin kamu untuk selamanya. Karena bertemu kamu ataupun tidak, semua sama saja. Akhirnya akan sama saja."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang