Pikiran: 10

15 0 0
                                    

Indah meletakkan laptopnya di atas meja belajar setelah selesai membaca beberapa chapter yang telah dia dan Gie selesaikan. Selama setahun kenal, mereka baru bisa menyelesaikan belasan chapter. Setelah kejadian beberapa minggu lalu, dia jadi tidak bisa bertemu Gie secara langsung. Selain karena kakaknya yang mengawasi dan mamanya yang setiap saat memastikan Indah fokus belajar.

Dia menatap langit malam melalui jendela yang sengaja dibuka lebar. Angin malam sedikit menusuk kulitnya, dan mungkin juga hatinya. Indah hanya bisa bertemu Gie setiap Selasa siang di depan gedung farmasi. Selain karena dia yang mulai sibuk, Gie pun juga mulai bekerja sebagai barista setiap malam. Setiap sore, Gie disibukkan dengan aktivitas di organisasi budaya. Jangan tanyakan perasaan Indah sekarang. Meskipun dia sering melupakan rasa sepinya karena tugas yang banyak, tapi setiap detik yang kosong Gie selalu melintas.

Sekarang dia menunggu pesan cowok itu. Sudah beberapa hari Gie tidak memberi kabar. Indah pernah memulai mengirim pesan, tapi percakapan mereka tidak pernah berdurasi lama seperti biasanya. Semua karena Sultan selalu mengecek kamarnya, memeriksa ponsel, dan melapor kepada mamanya kalau anak gadisnya tengah sibuk berkomunikasi dengan Gie. Jadilah Indah harus mendengarkan ceramah mamanya yang cukup membuat Indah terkantuk-kantuk. Biasanya Indah akan memotong nasihat tersebut dengan alasan ingin mengerjakan tugas kampus.

Indah menghela napas ketika mengingat kemarahan kakaknya beberapa minggu lalu. Indah belum pernah melihat Sultan semarah itu sampai-sampai istrinya turun tangan mencegah Sultan agar berhenti membentaknya. Indah tidak keras kepala, kakaknyalah yang terlalu berlebihan.

"Kamu lebih memilih Gie daripada kakak kamu? Apa yang kakak bilang sama Gie memang kenyataan," bela Sultan kala itu. Keadaan masih terlihat santai saja, meski Indah sudah termakan emosi.

Makanan di atas meja sama sekali tidak disentuh Indah. Sehabis Gie mengantarnya pulang, dia langsung mendapati kakaknya dan kakak ipar di ruang makan, hendak makan malam. Dia langsung menyampaikan protes atas perkataan Sultan ke Gie, dan perkataan Sultan kepadanya saat di mal.

"Ini bukan soal memilih, Kak. Ini soal Gie yang berjuang untuk meraih mimpinya. Kakak gak berhak merendahkan dia!"

Sultan yang tadinya memegang sendok langsung meletakkan benda itu dengan tidak minat. "Sejak kapan kamu berani menentang kakak kamu, Indah? Kamu mulai berubah sejak kenal Gie. Ini alasan Kakak kenapa ngelarang kamu dekat sama dia, kamu jadi tidak terkontrol begini."

"Stop, Kak. Sekali lagi Kakak ngerendahin, Gie. Aku pastikan keluar dari rumah ini dan milih tinggal sendiri!" ancam Indah.

Rima, istri Sultan, sontak berdiri dari tempatnya dan menghampiri Indah. "Indah jangan ngomong gitu. Dengerin Kak Sultan dulu, ya."

"Dengerin apa lagi, Kak Rima? Dengar kata-kata merendahkan lagi?" Indah melepas rangkulan Rima dan hendak masuk kamar. "Aku gak terima Kakak rendahin Gie. Aku mau Kak Sultan minta maaf sama dia."

Mendengar itu membuat Sultan tersulut emosi. Dia berdiri di depan Indah yang hendak melanjutkan langkahnya ke kamar. "Berani kamu sekarang! Orang kayak Gie memang harus diperingatkan, harus tau batasan kalau orang yang dia dekati tidak selevel. Kamu beda, Indah."

"Apa yang beda? Aku sama Gie sama-sama manusia. Kita makan nasi, hidup di bumi, punya otak dan juga impian. Kakak aja yang gak mikir sebelum ngomong."

Sultan sontak menampar Indah hingga membuat Indah menganga tak percaya. Untuk pertama kali Sultan menamparnya. Indah menahan isak, bukan waktunya menangis. Beberapa kali Rima menarik badannya agar duduk dulu dan memarahi Sultan karena tidak bisa bersabar.

"Mama sama ayah harus tau kalau anak perempuannya mulai tidak waras karena cowok," desis Sultan seraya mengutak-atik ponsel, lantas menelpon seseorang.

Indah terus menatap tajam kakaknya, tidak peduli kalau sebentar lagi orang tuanya, lebih-lebih sang mama akan menceramahinya habis-habisan.

"Ini, Ma. Anak cewekmu berulah. Masa iya mau kabur dari rumah karena cowok yang tidak jelas."

Indah kembali berdiri, berjalan dengan amarah mendekati Sultan. "Kakak gak berhak mengomentari hidup orang! Kakak tau apa soal Gie? Gak tau apa-apa! Jangan pernah sebut Gie sebagai orang gak jelas, apalagi rendahin dia lagi."

Sultan cuma melirik sekilas adiknya, tetap sibuk mendengar tanggapan mamanya. "Mama dengar sendiri, kan? Sultan sampai tidak tau harus diapakan lagi anak ini. Oh, Mama pengen ngomong? Bentar."

Tanpa perlu berlama-lama, Indah langsung merebut ponsel Sultan. "Apa, Ma? Mama mau bela Kak Sultan? Mama mau bela orang yang seenaknya merendahkan orang?"

"Indah, dulu kamu tidak gini, Nak. Sekarang kenapa jadi tidak fokus sama kuliah?"

"Siapa bilang aku gak fokus kuliah? Aku fokus, Ma. Nilaiku gak pernah rendah. Sekarang apa? Mama mau apa? Larang Indah dekat sama Gie juga?"

Terdengar helaan napas di seberang sebelum Indah mendengar mamanya menanggapi. Dia sadar akan ada fakta yang akan menyakitinya.

"Mama gak pernah setuju kalau kakak kamu ngerendahin orang, Nak. Bisa kamu jelasin apa masalahnya kenapa kamu sampai marah-marah begini?"

Indah langsung menceritakan apa yang terjadi, sesekali memelototi kakaknya yang hendak ikut campur. Setelah menyelesaikan ceritanya, Indah kembali mendengar helaan napas di sana.

"Mama tau kenapa kakak kamu marah. Tapi sekali lagi, Mama tidak pernah setuju kalau kakak kamu ngerendahin orang. Indah, Mama menaruh harapan sama kamu agar bahagia sama orang yang sekiranya setara dengan kita, sesuku sama kita karena beberapa alasan. Mama tidak bisa jelaskan sekarang, tapi nanti Mama akan jelasin saat kamu sudah kembali ke Bone."

"Kenapa, Ma? Aku sama Gie baik-baik aja. Aku suka sama dia, Ma. Aku gak boleh suka sama cowok selain dari suku bugis?"

"Kamu harus sama orang yang memiliki gelar seperti kita, Indah. Gelar Andi, turun-temurun dari kakek-kakekmu."

Indah sudah tidak sanggup. Ponsel kakaknya tergeletak di atas meja begitu saja. Padahal komitmen mereka berdua baru saja dimulai, tapi sudah diuji seperti ini. Indah tidak bisa mengatakan ini semua kepada Gie. Dia ingin berjuang bersama Gie selamanya.

"Indah, mama bilang jangan pergi sama Gie lagi kalau memang masih mau melanjutkan kuliah di sini," ucap Sultan.

Indah tidak peduli dan terus melangkah mendekati kamarnya. Di belakang sana, Sultan masih terus menyebutkan pesan-pesan mamanya yang tidak dia pedulikan. Saat ini dia hanya ingin sendiri, berdiskusi dengan diri sebelum melangkah lebih jauh.

"Kakak disuruh ngecek HP kamu, takutnya masih komunikasi sama Gie. Mulai besok, kakak yang antar-jemput kamu."

Tak kunjung direspons, Sultan mengekori adiknya sampai memasuki kamar. Dia langsung meraih ponsel Indah yang baru saja gadis itu letakkan di atas kasur. Tindakan Sultan membuat gadis itu melotot, berniat menyambar kembali benda itu.

"Kamu dengar, kan, tadi? Sekali kamu tidak menurut, mama akan tarik kamu kembali ke Bone."

Setelah kejadian itu, nomor Gie diblokir oleh sang kakak, tapi setelah bertemu dengan Gie di kampus, Indah menjelaskan seadanya tentang pemblokiran nomor itu. Indah belum berani menceritakan kalau bertemu Gie berarti membuatnya terancam kembali ke kota kelahirannya. Sampai sekarang, mereka masih sering bertukar pesan. Hal itu bisa terjadi karena Indah menyimpan kontak Gie dengan nama perempuan, nama samaran. Gie pun tidak tahu kalau nama kontaknya di ponsel Indah adalah Saras.

 Gie pun tidak tahu kalau nama kontaknya di ponsel Indah adalah Saras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang