Ketahuan: 12

17 1 0
                                    

Indah menatap lama layar laptop di depannya bukan karena tugas kampus, melainkan novel yang dia tulis bersama Gie. Dia tidak tahu kapan akan mengakhiri cerita ini, akhir seperti apa nanti kisah ini. Sampai sekarang dia hanya menuliskan kisah-kisah manis di dalamnya, belum menyentuh konflik.

Indah membaringkan kepala di atas meja, menimbang-nimbang mengoper naskahnya ke Gie atau melanjutkan cerita ini sampai memasuki babak awal konflik. Helaan napas menguar di udara, menyatu dengan angin malam. Sebenarnya Indah bingung harus apa sekarang. Dia sangat ingin kembali seperti dulu bersama Gie, tapi takut jika nanti kakaknya tahu dan mengadu ke mama. Bisa-bisa dia kembali ke kota asalnya.

Beberapa waktu lalu, dia dengan ceroboh menyimpan ponselnya di ruang tengah ketika kakaknya belum pulang. Waktu itu ponselnya tengah memperlihatkan isi chatting-annya bersama Gie. Kontak Gie memang memakai nama samaran, tapi isi chat-nya yang menjadi masalah. Ketika Sultan pulang dan melihat benda pipih itu menyala, kakaknya membaca dan menaruh curiga. Sultan menanyakan perkara novel yang dia bahas dalam percakapan itu.

Indah menjawab seadanya, dan dia tahu jawabannya tidak menjawab pertanyaan Sultan. Sebenarnya, Indah sangat sulit mengatur sikap terhadap sang kakak semenjak kejadian itu. Jangankan berbicara, menatap Sultan saja Indah merasakan emosinya membara. Kehidupannya benar-benar berubah.

"Satu, dua, tiga ... tugas kapan habisnya. Bentar lagi semester ini udah selesai," gumamnya seraya menghitung tempelan sticky notes berwarna-warni di tembok. Semangatnya tidak ada untuk menyelesaikan semua tugas itu, meskipun sebenarnya dia takut jika nanti nilainya turun. "Kenapa aku gak pernah milih sesuatu yang aku mau untuk diriku sendiri? Memangnya hidup bisa seberat ini?"

Indah sadar bahwa masalahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan orang lain. Hanya saja, bebannya juga tidak sebercanda itu. Pertama, farmasi bukan pilihannya, dia ingin seperti Gie. Kedua, dia ingin bersama Gie, tapi sulit. Ketiga, waktu sekolah Indah ingin mengurangi kegiatan les, tapi tak pernah diizinkan. Keempat, Indah ingin bergabung organisasi seperti Gie, tapi suaranya tak pernah didengarkan oleh orang-orang di rumah.

Banyak uang memang enak, tapi uang tidak bisa membeli kebebasan dalam memilih. Namun, di posisi Gie jauh lebih sulit, dan tidak mungkin Indah bisa seperti Gie. Pertanyaan kapan dia bisa bebas sepertinya belum bisa terjawab di umurnya yang sekarang.

"Aku gak bisa gini terus. Aku gak pengen orang yang kusuka juga diatur sama orang-orang di rumah," ringisnya. "Tapi ... tapi aku juga takut. Gimana caranya biar aku bisa sama Gie lagi? Aku gak bisa gini terus." Indah menyandarkan punggung di sandaran kursi sambil menatap lagit-langit kamar.

Berbagai macam pikiran buruk mulai menghantui, yang lebih buruk adalah bagaimana jika dia tidak bisa bertemu Gie untuk selama-lamanya. Indah mulai menangis, merasa bahwa tidak ada orang yang paham akan kondisinya. Di mana dia harus melepaskan rasa sesak yang tiap hari menyiksanya? Dia meraih ponsel, berniat menelpon Gie. Dia hanya ingin berbicara sejenak dan berharap kakaknya belum datang, dan Gie pun segera menjawab panggilannya.

Akhir-akhir ini Gie memang sulit berkomunikasi karena pekerjaannya sebagai barista. Tangannya jarang menyentuh ponsel, bahkan cowok itu biasanya menelpon tengah malam. Sialnya, entah karena lelah sehabis nugas, atau lelah karena berpikir berlebihan Indah selalu ketiduran.

"Halo, Indah."

Suara Gie di seberang sana terdengar tenang, hanya saja Indah masih bisa mendengar suara orang-orang berbicara di sekitar cowok itu. "Aku ganggu, ya? Kamu pasti masih kerja."

Gie tertawa lalu menanggapi seseorang yang tengah mengajaknya berbicara, kemudian beralih mengobrol bersama Indah. "Hari ini aku ditugasin buat mantau karyawan baru, sekalian belajar jadi kasir juga. Jadi gak sibuk-sibuk banget kok."

Indah tersenyum seraya menggeser halaman-halaman tulisan mereka di laptop. "Gie aku udah lanjutin novelnya, lho. Tapi aku belum mau drop ke kamu, biar aku yang mulai nulis konfliknya. Gimana?"

"Kirain kita mau nulis bareng konfliknya, kok sekarang pengen nulis duluan?"

Indah tertawa sambil menghempaskan diri ke kasur. "Aku pengen aja, yang penting happy ending."

Gie tertawa lagi, detik berikutnya dia terdiam,  Indah pun demikian. Hampir dua menit mereka terdiam, seakan-akan memikiran hal serupa. Akan tetapi, memang begitu adanya. Mereka sadar.

"Gie, aku harap kisah yang kita tulis sama seperti takdir yang tuhan tulis untuk kita," ucap Indah sambil menyeka air matanya yang tiba-tiba menetes. Andai saja Gie tahu kalau sebenarnya posisi Indah terancam tidak bertemu Gie lagi jika ketahuan tetap saling berkomunikasi.

Gie menghela napas. "Aku juga gitu, Ndah. Kamu tau, selama aku gajian, uangnya gak hanya untuk hidupku, Ndah. Aku juga sisihin uang itu untuk kamu. Uang panaik."

Mendengar itu, air mata Indah semakin deras. Perkataan Gie semakin menghantam hati dan otaknya. Mereka baru berkomitmen, tapi jalannya sudah sesusah ini. Apalagi jika Gie datang dengan niat serius suatu saat nanti, entah apa yang akan terjadi. Namun, Indah akan selalu memaksa untuk berpikir positif bahwa semua akan baik-baik saja. Banyak orang yang berhasil bersama meski berbeda suku. Indah ingin menjadi salah-satunya.

"Kamu serius banget, Gie."

"Komitmenku gak bercanda, Ndah. Memang kita belum selama orang-orang yang udah sama-sama lebih dari tiga tahun. Tapi aku gak peduli, sekali aku nyamannya sama kamu, orang lain gak mungkin bisa ngegeser. Bisa nyaman sama satu orang itu anugerah, Ndah."

Indah mengangguk, membenarkan. Memang tidak gampang merasa nyaman dan aman dengan orang-orang. Jika sudah menemukan satu, tidak perlu mencari yang lain. "Aku tunggu. Aku gak ragu sama kamu. Ayo kita kejar mimpi kita sama-sama. Aku sebagai apoteker, kamu sebagai penulis terkenal."

"Pasti. Perjalanan kita masih panjang, tapi kalau sama kamu, aku yakin waktu gak akan berasa."

Indah tertawa setelah tadi menangis. Beruntung Gie tidak menyadari tangisannya. Indah tidak mau menjelaskan ancaman apa yang tengah menunggunya. Indah terduduk, tiba-tiba ingin ke kamar mandi. "Gie, tunggu bentar. Aku ke kamar mandi dulu." Dia meletakkan ponselnya begitu saja di atas kasur tanpa mematikan sambungan, toh Indah hanya ingin buang air kecil sejenak.

Namun, sayangnya itulah kesalahan fatal Indah. Dia melupakan pintu kamar yang tidak terkunci. Sultan muncul di depan pintu kamar dan berjalan menghampiri laptop Indah yang menyala. Awalnya, Sultan mengira itu tugas, tapi ketika membaca dengan teliti, laki-laki itu sadar bahwa yang dibacanya sekarang bukanlah bagian dari tugas kampus.

"Indah kamu udah di sana?"

Meskipun tidak menggunakan pengeras suara, suara Gie bisa tetap terdengar di tengah heningnya malam dalam jangkauan telinga Sultan. Sultan segera meraih ponsel adiknya dan membaca nama yang tertera. Keningnya mengerut, nama kontaknya perempuan, tapi dia yakin mendengar suara laki-laki.

"Indah?"

Detik itu juga Sultan langsung membalas panggilan itu yang dia yakini pasti Gie. "Jadi kalian masih sering komunikasi?"

Tidak ada jawaban dari seberang, Sultan mengecek ponsel Indah apakah masih terhuhung. "Jawab saya! Panggilannya belum terputus."

"Iya, Kak. Saya Gie, temannya Indah."

Wajah Sultan memerah. Jadi selama ini Indah berhasil mengelabuinya. "Kamu ini membawa pengaruh buruk untuk Indah. Sampai kapan kamu ganggu dia terus? Kamu bisa cari yang sesama kamu, kan? Sesama orang Jawa, tidak usah sama suku Bugis!"

"Kak Sultan!" teriak Indah ketika keluar dari kamar mandi.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang