Pemandangan orang-orang berlalu lalang di hadapan dua mahasiswa baru itu menjadi sesuatu yang patut disyukuri. Entah bagaimana ceritanya mereka berdua berakhir di sebuah cafe yang tidak jauh dari kampus. Hampir tiga puluh menit bersama, belum ada yang memulai pembicaraan.
Gie menghela napas, menggaruk tengkuk seraya sebelah jarinya sibuk menggoyangkan kursor laptop ke sana kemari tanpa tujuan, matanya saja sibuk menatap pelanggan lain. Indah pun sama, sibuk melihat-lihat keadaan cafe.
"Waktu berharga loh. Kalau kamu gak pengen ngomongin apa-apa, lain kali mikir dulu buat ngajak aku. Waktu aku harus didedikasikan sebaik mungkin untuk menjadi apoteker. Paham, kan?" Indah meraih ponselnya di atas meja, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam tas. Bukannya marah, dia paham perasaan cowok di sebelahnya. Tidak nyaman, canggung, dan masih banyak lagi.
Jujur saja, Indah pun merasakan hal yang sama. Lagi pula siapa yang tidak seperti itu ketika hanya berdua dengan orang asing, apalagi ini pertama kalinya Indah berdua dengan cowok di tempat umum. Indah memang tidak pernah pacaran. Semasa selokah, waktunya banyak dihabiskan belajar dengan giat untuk masuk ke kampusnya sekarang.
"Gini, ya, Gie? Gie, kan?" Setelah memastikan Gie mengangguk, Indah kembali melanjutkan ucapannya, "Kenapa kamu tertarik sama uang panaik? Kenapa kamu harus buat cerpen tentang itu?"
Gie menghela napas. Untungnya Indah mulai membuka percakapan di antara mereka. Bukannya tidak bisa memulai, hanya saja Gie bingung. Ini pertama kalinya dia duduk berdua dengan cewek di tempat umum, pacaran pun dia tidak pernah. Malu juga sebenarnya. Akan berbeda jika ngumpul ramai-ramai.
"Maaf, aku ganggu kamu. Makasih karena udah pengen bantuin aku. Aku pengen nulis cerpen tentang uang panaik untuk tugas akhir organisasi budaya karena tertarik setelah mendengar salah satu senior membahas tentang suku Bugis." Gie memeperlihatkan artikel dari laptopnya dan kembali menjelaskan. "Dan aku nemu fakta kalau cewek suku Bugis merupakan salah satu cewek yang gak gampang diajak nikah karena uang panaik ini."
Indah tersenyum, tangannya menggulir artikel di hadapannya sampai akhir. Di situ tertulis bahwa tahapan adat dan derajat menjadi penyebab cewek Bugis sulit untuk didapatkan. "Gini, Gie. Sebenarnya gak semua suku Bugis menetapkan uang panaik sebanyak yang kamu pikirin."
Gie mulai memperbaiki posisi duduk dan bersiap mencatat hal-hal penting untuk bahan tulisannya. Dia sungguh tertarik dengan suku Bugis, dan juga tertarik dengan suku di luar pulau Jawa. Dari dulu, Gie memang ingin menuliskan banyak cerita dengan latar belakang suku yang berbeda-beda. Sejauh ini, karya tulisanya masih berputar di sukunya sendiri, suku Jawa.
"Tapi, zaman sekarang jarang banget ada gadis Bugis yang nikah uang panaiknya kurang dari tujuh puluh juta."
Gie menghela napas. "Dapat uang dari mana segitu? Cowok-cowok yang nikah sama cewek Bugis kaya-kaya?"
Indah tertawa seraya menggeleng. "Gak semua, kok. Aku udah bilang, kan, tadi."
"Gak semua?"
"Iyap. Sebenarnya cerita tentang uang panaik bisa panjang banget, Gie. Aku jadi pusing sendiri jelasinnya mulai dari mana." Indah mendorong kembali laptop Gie ke hadapan cowok itu. "Namaku Andi Batari Indah. Dalam suku Bugis, Andi adalah gelar yang diberikan untuk keluarga keturunan bangsawan. Uang panaik untuk perempuan penyandang Andi ini gak kaleng-kaleng, Gie. Untuk cowok penyandang gelar Andi pun harus siap sedia mempersiapkan uang panaik sebanyak mungkin agar tidak dipandang rendah di mata orang-orang Bugis."
Gie menganga. Ternyata uang panaik tidak sesimple yang dia dengarkan. "Uang panaik itu sebenarnya apa? Beda sama mahar?"
Indah kembali mengangguk. "Uang panaik itu uang yang diberikan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan sebagai simbol penghargaan bagi calon istri. Uang panaik digunakan untuk keperluan perayaan pernikahan. Sedangkan mahar? Kamu tau sendiri, kan? Gak perlu aku jelasin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...