Gie mematung, Indah pun sama. Tidak ada yang dapat mereka ucapkan selain meredakan segala tanya yang bermunculan di kepala, terutama Gie. Gie banyak mempertanyakan banyak. Mulai dari kenapa dia harus bertemu Indah, kenapa ada masalah perbedaan suku, kenapa dia harus mengalami ini semua.
Gie mendongak setelah sekian menit menunduk. Dia harus bersuara, menyerah tidak akan membawa hasil. Jika dia berusaha sedikit lagi, bisa saja hasilnya berbeda, bukan?
"Tante, Om. Saya memang bukan suku Bugis, saya asli Jawa, dari Yogyakarta. Tapi saya akan berusaha memantaskan diri untuk Indah. Saya mau berjuang untuk itu." Gie berusaha mati-matian agar suaranya tidak terlalu bergetar. Jujur saja, dia takut, tapi tidak ingin mundur.
Halim menghela napas, sebagai orang yang pernah berada di posisi itu, dia tahu jelas bagaimana sulitnya terlihat tegar dan membela diri. "Om yakin suatu saat nanti kamu memang pantas untuk Indah. Tapi, Gie, sebagai orang tua yang telah melewati banyak hal, waktu adalah perkara penting. Menunggu kamu siap tidak akan membuat kamu dan Indah bisa bersama. Terlebih masalah utamanya bukan masalah menunggu."
Bunga mengangguk, memang bukan prihal menunggulah yang menjadi masalah di sini. "Tante sudah bilang, perbedaan keluarga kita tidak akan bisa hidup berdampingan. Daripada nanti kesulitan, lebih baik kalian merasakan sulitnya sekarang dan tidak menghasilkan penyesalan ke depannya."
Indah sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara. Awalnya, Indah memang setuju menjauh dari Gie, tapi menjauh tentang jarak. Indah belum sanggup memisahkan hubungan mereka. "Mama aku mohon. Kita, kan, belum ngomong sama keluarga yang lain. Kita tidak hidup di zaman dulu lagi, Ma. Aku yakin mereka pasti ngerti."
Bunga menggeleng tegas. Sudah dia duga Indah akan goyah. Memang lebih baik pergi secepatnya daripada semakin membuat segalanya semakin rumit. "Indah, Mama sudah tidak mau mendengar penolakan apapun. Keputusan sudah final, kita sudah sepakat untuk pulang malam ini, sebentar lagi kita berangkat. Sekarang kamu siap-siap," ucapnya dengan tegas seraya bangkit dari duduknya, memberi isyarat bahwa pembicaraan telah selesai.
Gie seketika tidak mampu mengucapkan apa-apa lagi. Dalam waktu beberapa menit, sebagian pusat bahagianya hilang seketika. Dia bahkan tidak mampu menatap wajah Indah di sebelahnya yang sudah meraung. Ingin sekali Gie memeluk Indah, mengatakan bahwa dia tidak akan pernah pergi, tidak akan pernah menyerah, dan akan terus bersama gadis itu. Namun, Sultan sudah lebih dulu berdiri di sebelahnya.
"Kamu keluar sendiri dari rumah ini atau saya seret kamu," ancam Sultan.
Gie tidak mau menerima penghinaan berulang-ulang kali. Orang tuanya melahirkannya bukan untuk dihina. Gie berdiri dengan mantap meski di dalam hatinya sudah berteriak, memaki keadaan karena tidak tahu harus melampiaskannya ke siapa. Saat hendak melangkah, tangannya tiba-tiba digapai oleh Indah.
"Gie jangam pergi. Aku gak mau pulang. Pulang sama aja aku ninggalin kamu," ucapnya sambil menangis. Indah tidak peduli dengan tatapan ancaman kakaknya. Indah bahkan tidak menaruh perhatian kepada orang tuanya yang kini sedang memperdebatkan sesuatu seraya berjalan masuk ke ruang tengah.
Gie balik badan, membawa Indah berdiri sejajar dengannya. Tangannya memegang erat bahu gadis itu seraya menampakkan senyum lebar. "Indah, kita memang tidak ditakdirkan berlama-lama di kota ini. Tapi, mari kita berdoa agar semesta mau membujuk pencipta untuk kita sama-sama."
Indah tidak bisa mengatakan apa-apa selain menangis dan mengangguk. Dia tidak mau berpisah, bisa jadi mereka tidak akan pernah bertemu lagi. "Aku gak mau pergi, Gie. Kita gak akan pernah tau kapan kita ketemu lagi."
Gie mengangguk, membenarkan ucapan Indah. Meskipun Gie sangat ingin mengikuti setiap langkah Indah, dia tidak akan pernah mampu sejajar dengan gadis itu untuk saat ini. Gie mengenggam kedua tangan Indah erat-erat sambil tersenyum. "Setelah aku lulus, tunggu aku di kotamu, Indah. Aku yakin suatu saat nanti kita akan ketemu di sana. Kita akan mewujudkan mimpi yang sudah kita tulis. Aku janji."
Detik itu juga tangis Indah semakin pecah, dia balas mengenggam tangan Gie kuat-kuat. Sayangnya, Sultan sudah menarik cowok itu agar segera meninggalkan rumah. Indah menatap marah Sultan yang terus mendorong-dorong Gie agar segera berlalu.
"Cukup! Sekali lagi Kakak pegang Gie, Kakak akan tau akibatnya," ancam Indah meskipun dia yakin ucapannya barusan akan semakin memperparah hubungannya dengan Sultan.
"Selama dia tidak di hidup kamu lagi, Kakak baru bisa mengatakan cukup, Indah."
Indah tertawa sinis. "Tidak di hidup aku lagi? Kakak salah, Gie akan selalu ada di hidup aku, Kak. Tinggal di dalam memoriku," ucapnya dengan lantang seraya menahan tangan Sultan agar tidak mendorong Gie lagi.
Gie menatap Indah dan Sultan di ambang pintu dengan perasaan yang sudah tidak jelas lagi yang mana yang mendominasi. Sekarang dia hanya ingin terus menatap Indah untuk terakhir kalinya.
"Gie aku ikhlas kita pisah sekarang. Aku udah pegang janji kamu. Pegang janjiku juga, Gie. Aku bakalan selalu nunggu kamu sampai kapan pun."
"Gila kamu, Indah!" sentak kakaknya.
"Aku pamit, jaga dirimu kamu baik-baik. Novel yang kita buat, kita tamatkan setelah kita ketemu lagi, Indah." Gie benar-benar pamit kali ini diiringi anggukan dan senyum terpaksa Indah meskipun terlihat jelas gadis itu mati-matian menahan tangisnya.
Indah menatap punggung Gie sampai cowok itu sudah tidak terlihat lagi di halaman rumah. Ketika mesin motor cowok itu mulai terdengar, dia berjalan perlahan keluar dari pintu, lantas berdiri di teras sambil memejam. "Aku akan tunggu kamu sampai kapan pun, Gie. Cerita kita belum selesai. Kita harus selesaikan cerita ini dengan akhir bahagia," lirihnya seiring berlalunya Gie. Indah tersungkur seraya menatap langit cerah. Air matanya lagi-lagi luruh, seperti semangat hidupnya yang tiba-tiba menghilang.
Sementara itu, Gie di motor terisak lebih kencang, mengeluarkan seluruh sesak yang bergumul di dada. Sekarang dia tidak tahu harus lari ke mana untuk menumpahkan segala yang menyiksanya saat ini. Gie ingin kembali ke Yogyakarta untuk sementara, tapi tanggung jawabnya di sini tidak memperbolehkan itu.
Gie ingin sekali mengadu kepada ibunya prihal sakit yang didapatkannya hari ini. Namun, Gie takut ceritanya justru semakin memperburuk keadaan. Memang benar, kondisinya saat ini tidak mampu mempertahankan Indah. Akan tetapi, dia berjanji suatu saat nanti akan ada waktu di mana mereka berdua bisa bersama seperti biasanya. Gie berjanji akan bertemu Indah apapun yang terjadi. Tidak ada yang menjamin jalannya ke depan akan lancar saja untuk menghampiri gadis itu, bahkan jika pun dia cukup mapan. Namun, perbedaan tidak boleh mempermainkan keseriusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...