Indah merebut paksa ponselnya yang tentu saja ditahan Sultan. Adu mulut tak dapat dihindari, Gie di seberang pun dapat mendengarkan bentakan Sultan serta teriakan Indah sambil terisak.
"Kakak gak berhak tau semua yang aku pengen, kak. Aku yang jalanin!" Akhirnya Indah berhasil merebut benda pipih yang masih menampakkan sambungan teleponnya dengan Gie. Dia segera menyelesaikan sepihak panggilan itu.
Sultan berjalan cepat ke arah meja belajar Indah dan meraih laptop adiknya. "Selain Gie, apa ini Indah? Apa ini yang jadi penyebab kamu malas-malasan?"
Sultan kembali mengutak-atik laptop Indah, bermaksud menghapus file tulisan yang telah Indah dan Gie tulis. Indah segera menutup paksa benda elektronik itu dan melemparnya ke kasur. Dia tidak mau hasil pikirannya dan Gie lenyap karena kecerobohannya. Bukan, lebih tepatnya larangan tidak masuk akal ini.
"Tidak berhak ko larang ka! Apa masalahmu? Ini bahagiaku, kenapa ko ikut campur sekali!" Indah mengepalkan tangannya, berharap semua emosi mengalir ke sana sebab dia takut semakin mengeluarkan kalimat tidak sopan.
Sultan mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, hampir melayangkan tamparan ke sang adik. Untung saja istrinya datang melerai.
"Jangan. Semarah apapun kamu, jangan nampar saudara sendiri," peringat istrinya seraya memegang erat tangan Sultan.
"Biarmi! Mau ka lihat i seberapa bencinya dia sama saya!" bentak Indah lagi. Semua kekesalannya terasa di ujung kerongkongan, berdesakan ingin keluar. Dia lelah menelan semua omong kosong ini.
"Kamu lihat? Dia sendiri yang cari gara-gara." Sultan mendengkus sembari melepaskan tangan istrinya. "Kakak jamin semester depan kamu sudah tidak kuliah di sini lagi Indah. Kakak akan bilang semua sama mama dan ayah kalau kamu sudah tidak bisa diatur."
Indah meraih bantal, melempar Sultan keras-keras. Dia tidak tahan lagi. Entah sebuta apa keluarganya sampai-sampai tidak bisa melihat kesedihan dan bahagianya. Harus dengan cara apa Indah mengekspresikan agar mereka paham, dengan cara apa lagi jika marah-marah begini saja mereka tetap keras kepala menahannya seperti anak kecil, tidak membiarkan Indah memilih apa yang ingin dia pilih.
"Indah!" Sultan berteriak marah, kali ini tangannya benar-benar melayang di pipi adiknya. Namun, sebelum sempat meracau, snag istri sigap menariknya keluar kamar.
Indah memegang pipinya yang memanas. Dia menatap nanar jendela kamar yang terbuka lebar hingga menyibak pelan rambut hitamnya. Seharusnya dia merasa dingin karena angin malam, tapi perihnya pipi dan sakit hati lebih menguasainya. Indah terduduk di lantai seraya terisak, air matanya menggenang di ubin.
Gadis itu sama sekali tidak peduli ponselnya yang terus bergetar sedari tadi. Dia yakin Gie sedang bertanya-tanya di sana, khawatir dengan kondisinya sekarang. Indah sudah tidak bisa menutupi apa-apa lagi di hadapan Gie. Jika bertemu nanti, Indah mau tidak mau harus menceritakan bahwa dia akan pulang.
Hanya karena berteman, semua jadi sulit. Semakin pelik ketika mereka berkomitmen untuk bersama suatu saat nanti. Indah semakin sesegukan ketika membayangkan penderitaan yang akan dilaluinya nanti. Pergantian semester hanya sisa dua minggu, berarti sisa waktu itulah yang dia punya untuk bertemu Gie, itu pun jika kakaknya tidak mencari gara-gara.
"Aku cuma pengen bahagia, Tuhan. Kenapa aku gak bisa bahagia dengan pilihanku sendiri," lirihnya sambil menumpukan kedua tangan di lantai.
Sementara itu di kafe, Gie tidak henti-hentinya menghubungi Indah. Sesekali dia harus meninggalkan ponselnya sejenak untuk mengurus pembayaran pelanggan. Gie hampir memaki pengunjung yang terus berdatangan malam ini. Semakin banyak yang datang, dia akan semakin lama mendekam di sini. Gie ingin memastikan Indah baik-baik saja.
Gie berulang kali mendekatkan ponsel ke telinga, tidak sanggup membiarkan ponselnya menganggur barang sejenak. Melihat kelakuannya, manager kafe sampai-sampai menegur agar tidak membagi fokusnya ke hal lain, tapi Gie tidak bisa.
"Bang, aku ada hal mendesak, apa gak ada yang bisa gantiin aku malam ini?" pinta Gie pada manager kafe yang biasa dipanggil Imam.
Imam menggeleng sambil membalik badan Gie menghadap kasir. "Gak ada, Gie. Ini shift terkahir, gak ada pergantian shift lagi. Lagian lo kenapa, sih, gelisah dari tadi."
Gie membuang napas berat sambil terus menelpon Indah, berharap gadis itu menjawab. "Ada masalah, Bang."
"Masalah sama siapa? Pacar? Emang lo punya pacar."
"Dia lebih dari calon pacar, Bang," jawab Gie pelan.
Imam menganga, tidak percaya Gie memberi jawaban seperti itu. "Lo serius?"
"Serius. Aku boleh pergi sebentar?"
Imam menggeleng kencang. "Gak boleh, Gie. Bos nanti marah kalau tau gue gantiin lo dikasir. Lo pengen dipecat?"
"Bentar doang, Bang," mohon Gie, tapi Imam tetap menolak. Gie mendesah kasar. "Ya udah kalau gitu, kasih aku waktu beberapa menit buat nelepon di belakang. Boleh?"
Imam berdecak. Sebenarnya dia tidak mau, tapi melihat wajah nelangsa Gie, dia jadi kasihan. "Lima menit."
"Ya elang, Bang, gak cukup."
"Ya udah, tujuh menit. Gak lebih."
Wajah tegas Imam sudah tidak mau mendengar protes, mau tidak mau Gie mengangguk daripada tidak sama sekali. Dengan diberi waktu, setidaknya dia bisa fokus menghubungi Indah. Gie segera ke belakang, dekat tempat cuci piring. Telinganya masih siap sedia mendengar nada sambung yang terus bergema. Tangannya tidak mau kalah, dia juga membanjiri kontak Indah dengan pesan yang jumlahnya puluhan.
"Indah, kamu kenapa, angkat dong." Gie tahu Sultan memang membencinya, tapi Gie juga tidak menduga Indah semarah itu dengan kakaknya. Jika seperti ini, dia tidak boleh lari. Bagaimanapun juga, dia berhak menyelesaikan masalah ini.
Nada sambung berganti menjadi suara Indah. Gie langsung menanyakan keadaan gadis itu. Suara sumbang di seberang sana menjawab semua tanya mengapa Indah begitu lama menjawab panggilannya, pasti gadis itu habis menangis.
"Indah ... maafin aku. Gara-gara aku, kamu berantem sama kakak kamu." Gie menunduk dalam-dalam.
Di seberang, Indah tertawa sumbang. "Bukan kamu doang, kok, Gie. Gara-gara aku juga, aku berantem sama kakakku. Kamu jangan nyalahin diri sendiri, lagian Kak Sultan emang salah."
Gie menggeleng kuat-kuat. Banyak hal yang ingin dia katakan pada Indah, tapi semua hilang ketika mendengar suara gadis itu. Sampai akhirnya Indah semakin membuatnya kehabisan kata-kata.
"Gie, sehabis final semester, aku pengen ketemu kamu. Aku pengen jalan-jalan, aku pengen habisin waktu sama kamu kayak dulu ... untuk terakhir kalinya."
Gie mengerutkan kening, kini dia berdiri tegak setelah tadi bersandar pada dinding. "Terkahir kali? Maksud kamu apa, Indah? Kenapa bilang kayak gitu?"
Indah lagi-lagi tertawa. "Aku gak mau ini yang jadi terakhir kali, Gie. Tapi aku gak tau gimana caranya buat kita jadi selamanya." Akhirnya tangis Indah pecah saat itu juga.
Gie bersandar dengan lemah pada tembok di belakangnya. Tidak ada kalimat yang mampu dia utarakan saat ini. Dia tidak tahu apa yang membuat Indah berkata seperti itu, tapi satu yang pasti bahwa semua yang terdengar olehnya malam ini sangat berpeluang terjadi. Gie meremas ponselnya, memukul tembok keras-keras. Air matanya luruh itu juga. Apa karena dia miskin jadi dia berada di posisi ini? Apa karena dia bercita-cita jadi sastrawan jadi dia tidak seberuntung orang lain? Apa karena mereka beda suku sampai-sampai menderita seperti ini? Apa karena itu semua hidupnya seperti tidak adil. Gie tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...