Indah sudah bosan menghela napas berulang kali. Matanya terus menatap lurus taman di sebelah gedung tempatnya mendengarkan mata kuliah beberapa menit lalu. Sudah seminggu dia tidak pernah mendapat pesan masuk Gie sampai-sampai Indah ragu mengirimkan pesan kepada cowok itu. Selama ini, Gie yang selalu mengabarinya lebih dulu.
Sekarang dia terus berharap agar mendapati kehadiran Gie di kursi taman, mengirimkan pesan bahwa cowok itu sudah kelelahan menunggu. Indah kembali menghela napas, kali ini helaan itu mengganggu Mesya yang tengah kesulitan menghafalkan sesuatu dari buku catatannya.
"Kenapa, Neng Bugis dari tadi hela napas terus? Gelisah gak ketemu Gie?" Mesya menarik kursinya agar lebih dekat dengan teman pertamanya semenjak memasuki dunia perkuliahan.
Indah tersenyum kecut, berulang kali meminta maaf. Dia tahu kalau tindakannya memang sedikit mengganggu. Namun, tidak dapat dipungkuri kalau ucapan Mesya benar. Sepertinya ada yang salah setelah pertemuan terakhir dengan Gie malam itu.
"Udah sedekat apa kamu sama Gie, Ndah? Udah hampir selesai semester satu loh kita dan kamu ternyata masih selalu bareng dia." Kali ini Mesya betul-betul ingin tahu hubungan dua manusia berbeda fakultas ini. Pertemuan mereka di kantin waktu itu ternyata berlanjut hingga sekarang.
Karena tidak kunjung mendapat jawaban, gadis berambut panjang dan berwajah khas cewek-cewek Sunda itu pun kembali meluncurkan pertanyaan yang membuat Indah kalang kabut. "Jangan-jangan kamu udah pacaran sama Gie, ya?"
Wajah tengil Mesya sungguh membuat Indah kesal. Memang benar dia dekat dengan Gie, tapi untuk pacaran rasanya tidak mungkin. Gie bisa saja menyukai gadis lain di fakultasnya, bukan? Buktinya saja seminggu ini cowok itu tidak pernah mengunjunginya lagi.
"Gak, Sya. Gak mungkin aku pacaran sama Gie. Kita cuma teman, sebatas mendiskusikan hal yang kita suka aja." Jika boleh jujur, sebenarnya Indah tidak rela mengatakan itu semua. Rasanya seperti mengkhianati diri sendiri.
Mesya tersenyum miring seraya memicing. "Gitu, ya. Yahhh, padahal Gie udah nunggu di sana, Ndah, liatin kamu."
Indah yang dari tadi menghadap Mesya seketika memegang kaca jendela di sebelahnya, mencari keberadaan Gie. Satu detik, dua detik, Indah memperlihatkan wajah kesalnya pada Mesya. "Gak lucu, Sya. Lain kali kalau pengen bohong, ending-nya lucuan dikit lah, jangan bikin nyesek."
"Lah! Kamu ngaku suka sama Gie barusan." Mesya terbahak-bahak juga akhirnya. Beruntung hanya ada mereka berdua saat ini dalam ruangan. Teman-temannya sudah berada di kantin mengisi energi sebelum mata kuliah berikutnya.
Indah memelotot, kepalanya tambah berat, dan entah mengapa telingnya ikut memanas. Dia sudah menghitung di dalam hati, memastikan dalam hitungan kesepuluh, kepalanya akan meledak. Namun, saat yang ditunggu malah tidak jadi ketika notif ponselnya memunculkan nama Gie di sana. Jantungnya lebih heboh lagi ketika membaca isi pesan singkat itu kalau Gie sekarang berada di taman. Indah langsung memalingkan wajah ke arah tempat Gie berada dan menemukan cowok itu duduk sambil memegang sebuah buku. Selalu, Gie selalu terlihat memegang satu buku yang berbeda tiap mereka bertemu.
"Sya, aku duluan. Jangan lupa kabarin kalau jadwal kuliah udah mau dimulai. Aku takut lupa waktu." Indah memasukkan barang-barang secara asal, melesat secepat kilat hingga membuat Mesya kehabisan kata-kata.
Tidak butuh waktu lama, Indah sudah berada dia lantai satu. Sebelum muncul di hadapan cowok itu, dia mengatur napas, takut ketahuan berlari karena ngos-ngosan. Bukannya apa, Indah tidak mau dibilang sangat bahagia melihat kehadiran Gie setelah menghilang. Setelah dirasa aman, Indah berjalan ogah-ogahan menghampiri Gie yang sudah tersenyum lima jari menyambutnya.
"Cepet banget nyampenya. Kamu lari?" tanya Gie sambil memperbaiki tali tasnya yang melorot.
Indah membulatkan mata dan merutuki dirinya detik itu juga. "Enak aja!" Tangannya memukul punggung cowok itu lumayan keras hingga Gie kaget. "Siapa juga yang lari. Emangnya kamu siapa harus disamperin pakai cepet-cepet segala!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...