Keputusan: 18

13 0 0
                                    

Akhir pekan yang cukup tenang. Gie kebosanan di kost seharian, menatap laptop, tidur, makan, begitu seterusnya sampai siang menjelang sore. Hari ini dia mendapatkan jam kerja malam, jadi waktu luangnya pun digunakan untuk menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan, salah satunya novel yang sedikit lagi selesai. Dia ingin bertemu Indah untuk membahas akhir cerita yang telah mereka buat bersama.

Mengingat Indah, Gie kembali menghela napas. Sudah beberapa hari dia tidak mendapati pesan masuk gadis itu, bahkan pesannya pun belum Indah baca. Dia jadi khawatir mengingat pertemuan mereka yang cukup membuat Gie tidak bisa mengatakan semua baik-baik saja. Nyatanya, tidak ada yang berjalan sesuai dengan kemauan mereka berdua.

Gie menghela napas seraya membuka pintu kost, melihat ruang tamu yang sepi menarik Gie untuk menghirup udara segar di ruangan itu. Dia berjalab lesu ke salah satu sofa lalu membaringkan diri di sana seraya mengutak-atik ponsel. Gie memutuskan menelepon Indah, tapi tidak ada jawaban sama sekali.

"Apa aku salah suka sama Indah?" Matanya menatap langit-langit ruang tamu dengan sayu. Tiba-tiba ucapan mamanya sebelum dia merantau terbesit di kepala. Dia mengucapkan kalimat itu dengan pelan. "Carilah orang setara, di mana kehadiranmu tidak direndahkan, mimpimu tidak disepelekan, dan kesetianmu tidak dipertanyakan karena semua sudah tampak dari keseriusan." Gie tertawa kecil seraya menutup matanya menggunakan salah satu lengan. "Tapi aku bahagia ketemu sama dia, Ma."

Gie tidak menyangka akan mengalami keadaan seperti ini. Dia tidak pernah setuju mimpinya direndahkan, bahkan dia ditolak oleh keluarga Indah padahal belum menyampaikan niat serius. Gie masih tidak mau percaya bahwa dia dan Indah tidak akan pernah bersama. Semua bisa jadi mungkin.

Saat sedang asyik berdebat dengan kepalanya, tiba-tiba ponselnya berdering, dan memperlihatkan nama Indah di sana. Gie langsung menjawab panggilan itu. "Halo, Indah."

Gie spontan tersenyum lima jari untuk menyambut suara Indah di seberang sana, tapi suara itu tidak kunjung terdengar. Satu menit, dua menit, tiga menit barulah Indah menjawab sapaannya.

"Halo, Gie. Kamu baik?"

Gie mengerutkan kening, tidak biasanya Indah berbasa-basi. "Baik. Kenapa nanya gitu?"

Indah tertawa. "Emang gak boleh aku nanya kamu baik apa enggak?"

Gie menggaruk dagunya, bingung menjawab apa karena Indah seperti bukan Indah. Gie menertawai dirinya, tidak perlu memikiran itu terlalu dalam. "Baik. Kamu baik?"

Lagi, Indah tidak langsung menjawab. Butuh waktu sekitar dua menit kemudian suara gadis itu baru terdengar lagi. Gie merasakan sesuatu yang aneh.

"Aku kurang baik, Gie. Mungkin karena kecapean kemas-kemas barang."

Gie mengernyit, dalam hati bertanya-tanya tentang kemas-kemas barang yang dimaksud Indah. "Kamu ngemas apa emangnya?"

"Barang-barang aku. Buku, baju, tas, semuanya."

Detik itu juga Gie kembali mengingat percakapannya bersama Indah malam itu. Indah memang seakan memberi tanda akan pergi, tapi Gie tidak mau percaya dan Indah tidak pernah mengatakan secara jelas bahwa dia benar-benar akan meninggalkannya.

"Kamu mau ke mana, Indah?" tanya Gie dengan nada datar. Jujur saja, Gie ingin sekali ke rumah Indah detik ini juga.

Indah kembali tertawa, tapi kalimat selanjutnya tidak berhasil membuat Gie menemukan hal lucu yang patut untuk ditertawakan. Di seberang sana, Indah menghela napas pendek. "Aku bakalan pulang ke kotaku malam ini, Gie."

Gie langsung bangkit dari duduknya, tanpa pikir panjang dia memutuskan sambungan sepihak. Dia berlari memasuki kamar, mengambil jaket dan kunci motornya. Tidak butuh waktu lama, Gie sudah berada di depan motornya dan langsung tancap gas begitu saja. Sudah dia duga, Indah akan pergi. Namun, Gie tidak aka pernah siap menghadapi ini.

Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang