Tidak terhitung helaan napas panjang Indah siang ini. Di depannya sudah berdiri ayah dan mamanya yang baru saja datang dari Bone, kota kelahirannya. Indah senang mereka datang, tidak bertemu selama hampir dua tahun jelas saja membuatnya menabung rindu. Hanya saja dia khawatir apa yang ditakutkannya terjadi.
Indah bahkan tidak tahu kalau orang tuanya akan datang. Tidak ada seorang pun yang mengabari, bahkan kakaknya tidak mengatakan apa-apa. Hal ini membuat Indah berpikir yang tidak-tidak. Tadi sebelum orang tuanya datang, dia tengah asyik membalas pesan Gie di ruang tamu. Tahu-tahu sosok ayah dan mamanya muncul di depan pintu, membuat Indah menganga.
"Kok Ayah sama Mama di sini? Kenapa?" ucapnya. Orang tuanya bahkan lebih terkejut lagi ketika Indah tiba-tiba mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya muncul saat itu.
"Kenapa? Memang tidak boleh. Mama rindu, memangnya kamu tidak?"
Indah segera mendekati mamanya dan menyalami tangan sang mama, lantas memeluk. Meskipun sebenarnya masih ada perasaan jengkel di hati, Indah tetap rindu dan bahagia bisa melihat mereka di sini. Akan tetapi, kenapa?
Momen yang paling Indah benci datang juga, yaitu hadirnya Sultan di antara mereka. Dia benci jika melihat kakaknya karena Sultan lah hubungannya dengan Gie jadi berantakan.
Sultan yang baru pulang dari proyek, langsung menyalami kedua orang tuanya di ruang tengah. Dia duduk di samping sang ayah dan menatap Indah sekilas yang duduk di sebelah mamanya sambil main HP.
"Baru aja sampainya, Yah?" Sultan berbasa-basi seraya melonggarkan dasi.
Halim menggeleng, lalu menyalakan TV. "Semalam. Tapi ngingap di hotel dulu, habisnya capek kalau langsung ke sini."
Sultan mengangguk. "Mama sama Ayah kalau pengen istirahat di kamar atas aja, udah diberesin tadi sama asisten."
Indah mendelik ke arah Sultan. "Jadi Kakak udah tau kalau ayah sama mama pengen datang?"
Sultan mengerutkan kening, bingung mendapati ekspresi kesal adiknya. "Memangnya kenapa kalau Kakak tau?"
"Kenapa gak bilang sama aku?"
"Harus Kakak bilang? Lagian bagus, kan, ayah sama mama datang tiba-tiba buat surprise-in kamu. Lagian udah lama juga gak ketemu."
"Nyebelin banget." Indah menjawab dengan sinis. Dia semakin kesulitan mengatur emosinya.
"Indah? Kenapa ngomong begitu?" tegur sang mama seraya menepuk-nepuk paha anaknya.
Sultan tersenyum miring, menatap Indah dengan tatapan seolah-olah memenangkan sesuatu. "Lihat, Ma, si anak manja ini udah berani ngelawan. Dulu Indah gak pernah ngomong kasar-kasar sama aku."
Halim berdeham, bermaksud melerai keributan yang sebentar lagi semakin membara. Halim tahu itu karena kedatangannya kemari untuk menjemput Indah atas permintaan istrinya. "Udah-udah, ayah baru ketemu kalian lagi, lho, masa udah harus lihat kalian kelahi."
"Lagian Kak Sultan yang duluan cari masalah. Aku gak pernah gangguin dia, tapi kenapa dia selalu ganggu aku, gak biarin aku bahagia." Indah semakin tidak dapat mengendalikan perasaannya yang menggebu-gebu. Jujur saja, Indah dekat dengan orang tuanya, terlebih sang ayah. Jadi, ketika melihat mereka ada di sini, perasaan untuk membagikan apa yang dirasakannya sangat mudah terungkap meskipun dia tidak ingin, misalnya seperti sekarang.
Indah tidak mau membahas apapun yang bisa menyeret pembahasan tentang Gie. Dia tidak mau Gie diungkit lagi untuk sekarang. Indah tidak ingin membiarkan kebahagian yang baru saja didapatkannya lenyap begitu saja. Akan tetapi, Sultan dengan gampangnya menggiring topik cerita ke arah Gie.
Halim bangkit, lantas berdiri di depan Indah. Halim merentangkan tangannya, meminta Indah agar datang kepelukannya. "Anak Ayah kenapa?"
Detik itu juga, Indah langsung memeluk ayahnya sambil menangis. Rasa sesak yang begitu mencekik seketika menguap perlahan. Bunga, mamanya, sampai terkejut mendengar tangisan Indah yang terdengar memilukan.
Bunga memandang Sultan, meminta penjelasan. "Adikmu kenapa, Sul?"
"Mikiran cowoknya kali, Ma," jawab Sultan ogah-ogahan.
"Siapa lagi namanya? Mama lupa."
"Ma, udah. Gak usah dibahas," cegah Halim. Dia tidak tega mendengar tangisan Indah semakin kencang.
Indah sendiri tidak bisa meredakan tangisannya. Semua yang dia tahan belakangan ini meluap begitu saja. Indah bahkan tidak menduga dia akan menangis sekencang ini.
"Indah? Kenapa, Nak?" Halim masih berusaha menenangkan anaknya. Halim tahu apa yang menjadi sumber kesedihan anak gadisnya. Hanya saja, dia tidak ingin memulai membahas Gie jika bukan Indah yang mengatakannya lebih dulu.
"Ayah kenapa, sih, selalu manjain Indah?" protes Sultan.
"Sultan, diam. Adikmu lagi nangis." Halim pun sebenarnya kesal juga dengan Sultan.
"Gie itu ber—"
Ucapan Sultan terpotong saat Indah berteriak kencang ke arahnya. "Jangan pernah sebut dia lagi. Kakak gak berhak sebut nama Gie dan berakhir merendahkan dia. Gie manusia, Kak. Tidak pantas direndahkan hanya karena kita manusia berada."
"Indah, Mama perlu ngomong sama kamu sekarang." Bunga berujar tegas seraya berdiri dari sofa.
"Jangan dulu, Ma. Tidak capek ki habis perjalanan jauh? Istirahat mi dulu," cegah Halim.
Bunga menghela napas, memilih mengalah. Namun, Indah malah melepaskan pelukannya dari sang ayah lalu menatap mamanya sambil berurai air mata.
"Mama pasti gak suka, kan, aku dekat sama Gie?" ucap Indah dengan sedih. Dia tidak mau menunda pembahasan ini sebab Sultan sudah menyulut api lebih dulu.
Bunga yang tadinya hendak ke kamar jadi urung. Dia berbalik menatap anaknya. Dia membuang napas pendek sebelum menjawab. "Kamu sudah tau jawabannya, Indah. Mama tidak perlu menjelaskan lagi."
"Kenapa, Ma? Gie baik, dia ngerti aku pengennya apa. Gie juga gak pernah rendahin orang." Entah apa yang Indah lakukan sekarang. Dia tahu dia salah, tapi semua sudah terlanjur.
"Gie tidak perlu merendahkan orang lain karena dia sudah rendah," celetul Sultan yang malah asyik memindahkan siaran di TV.
Wajah Indah memerah, tangannya mengepal kuat. Apakah dia harus diam saja sekarang ketika Gie dihina lagi? Indah tersiksa tidak bisa melakukan apa-apa sebelumnya, dan sekarang makin tersiksa karena Sultan semakin menjadi-jadi.
"Sekali lagi Kakak ngomong kayak gitu, aku gak mau anggap Kak Sultan sebagai Kak—"
Bunga langsung melayangkan tamparan ke wajah Indah, membuat kalimatnya terputus. Indah menunduk dalam, membiarkan air matanya ya g semakin deras berjatuhan di lantai. Untuk pertama kali mamanya menamparnya.
Indah tertawa pelan sambil meringis. Tangannya meraba pipinya yang kebas. "Lebih baik aku ditampar, Ma, daripada harus dengerin penghinaan itu terus-menerus. Aku bilang kayak gini bukan semata karena aku suka sama Gie, Ma, tapi karena Gie itu manusia. Kita semua manusia. Gak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua sama!"
Halim sigap merengkuh badan anaknya, menenggelamkan kepala Indah di dadanya. Halim setuju pendapat Indah. Sebagai manusia yang pernah berada di posisi Gie, dia tahu rasanya. Bunga pun seharusnya tahu bagaimana perasaan Indah dan Gie sekarang. Sebab mereka pernah berada di keadaan yang sama.
"Ayo, Indah. Anterin Ayah istirahat di kamar," ajak Halim semata karena tidak ingin membiarkan ruang tengah semakin memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bugis Kamu Jawa: Bisakah kita bersama?
General Fiction"Aku akan jadi sastrawan hebat, dan menjemput kamu sesuai janjiku." Kata orang, jangan pernah percaya seratus persen pada janji karena tidak semua orang yang berjanji akan menepati. Namun, Indah selalu yakin, Gie tidak akan menyerah. Sama seperti di...